Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasak-Kusuk Calon Tunggal Kepala Daerah, Jika Perppu adalah Solusinya

6 Agustus 2015   21:52 Diperbarui: 7 Agustus 2015   07:07 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditundanya pilkada di 7 kabupaten/kota oleh KPU dikarenakan pasangan calon yang ada di daerah-daerah tersebut hanya satu sedangkan Undang-Undang mensyaratkan harus minimal ada dua pasangan calon, sudah pasti akan berdampak pada banyak sekali kerugian yang sangat besar nilainya, baik dari aspek materi, maupun hak dan politik kepentingan rakyat di daerah-daerah tersebut yang terabaikan.

Tujuh daerah yang hanya punya satu pasangan calon kepala daerah adalah:

  1. Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat.
  2. Kabupaten Blitar di Jawa Timur.
  3. Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat.
  4. Kota Samarinda di Kalimantan Timur.
  5. Kabupaten Timor Tengah Utara. di Nusa Tenggara Timur.
  6. Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
  7. Kota Surabaya, Jawa Timur.

Kerugian-kerugian Besar Jika Pilkada Ditunda

Poin-poin paling krusial dari akibat ditundanya pilkada adalah sebagai berikut (Jawa Pos, 06/08/2015)

  1. Semua tahapan pilkada, mulai pendaftaran calon, penetapan, sampai tanggal pencoblosan, harus disusun ulang.
  2. Daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) harus di-update karena data kependudukan selalu berubah.
  3. Rekrutmen anggota panitia pemilih kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS) yang butuh waktu dan biaya besar harus diulang.
  4. Anggaran yang sudah digunakan terbuang sia-sia, sedangkan dana yang tidak dipakai dikembalikan ke daerah.
  5. Pembangunan daerah/kota terhambat. Sebab, sampai agenda pilkada serentak berikutnya daerah/kota dipimpin pelaksana tugas (plt) dengan kewenangan terbatas.
  6. Situasi politik dan ekonomi tidak pasti karena pilkada serentak berikutnya tetap ada kemungkinan terjadinya calon tunggal lagi.

Dampak kerugian yang luar biasa besarnya itu akan semakin menjadi apabila dari 83 daerah lainnya yang hanya punya dua pasangan bakal calon, salah satunya bermasalah atau tidak lolos verifikasi KPU, maka akan bertambah banyak pula daerah yang hanya punya satu pasangan calon.  

Hal yang dikhawatirkan itu berpotensi besar terjadi di Kabupaten Musi, Rawas, Sumatera Selatan. Seorang bakal calon bupati dan wakil bupati di Kabupaten itu dinyatakan tidak lolos tes kesehatan. Oleh karena dua bakal calon yang tak lolos itu tidak berada salam satu pasangan, akibatnya dari tiga pasang bakal calon yang telah mendaftar di daerah itu, kini hanya terisa satu pasangan bakal calon.

Sesuai dengan aturan, KPU Sumatera Selatan memberi waktu tiga hari hingga 7 Agustus bagi partai pendukung partai yang tak lolos untuk mengajukan calon pengganti. Jika hingga 7 Agustus partai pendukung tak mengajukan calon pengganti, KPU Sumatera Selatan membuka pendaftaran kembali bagi peserta baru hingga tiga hari selanjutnya. Jika hingga proses itu dijalankan tetap hanya ada satu pasangan calon, Pilkada Musi Rawas ditunda pada 2017. Berarti akan bertambah lagi satu daerah yang akan ditunda pilkadanya sampai dengan waktu tersebut.

Anggota KPU, Ida Budhiati mengatakan, KPU memang akan membuka kembali masa pendaftaran bagi daerah-daerah tersebut. Namun, jika selama masa pendaftaran itu tidak ada pasangan calon yang mendaftar, harus ada solusi apabila pemerintah tetap ingin pilkada digelar serentak di 269 daerah pada tahun ini (Koran Kompas, 06/08/2015).

Menghadapi masalah pelik ini, Presiden Jokowi menyatakan belum akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu), dia masih merasa perlu untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Sedangkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berdasarkan kewenangannya yang diberikan kepadanya oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilu, merekomendasikan kepada KPU agar membuka kembali pendaftaran bakal calon kepala daerah di tujuh daerah yang bermasalah itu.

 

KPU pun dengan segera melaksanakan rekomendasi Bawaslu itu, dengan mencabut Peraturan KPU yang menunda pelaksanaan pilkada di tujuh daerah itu, kemudian membuka pendaftaran baru bakal calon pasangan kepala daerah khusus untuk daerah-daerah itu, yang mulai berlangsung dari tanggal 9 - 11 Agustus 2015. 

Pertanyaannya adalah apakah nanti parpol-parpol itu memanfaatkan masa perpanjangan pendaftaran itu dengan mengajukan bakal calon pasangannya di KPU, sehingga tidak terjadi lagi calon tunggal? Jika mereka ada yang mendaftar, bagaimana dengan verifikasi KPU? Bagaimana jika ada yang tak lolos verifikasi itu?  Jika tetap tidak ada yang mendaftar lagi dan lulus verifikasi KPU, berarti di daerah itu sudah pasti akan ditunda penyelenggara pilkada-nya, dengan kerugian sebagaimana disebutkan di atas.

Pertanyaan lain, jika pun dengan tempo yang sedemikian singkatnya akan ada parpol atau gabungan parpol yang mengajukan pasangan bakal calon kepala daerah di tujuh daerah itu, bagaimanakah dengan kwalitas, kemampuan dan integritas mereka untuk menjadi kepala daerah? Kalau ini hanya sesuatu yang dipaksakan, cuma untuk memenuhi suatu syarat formalitas belaka, untuk apa?

Mencurigakan

Sungguh ini merupakan akibat dari suatu kecerobohan dari para pembuat undang-undang yang sama sekali tidak mengantisipasi kondisi seperti ini. Padahal kondisi seperti ini juga merupakan akibat dari kwalitas partai-partai politik yang juga merupakan bagian dari pembuat undang-undang ini.

Inilah bagian dari sikap pragmatisme dan sangat minimnya integritas dan rasa tanggung jawab partai politik terhadap rakyat. Kekalutan ini tak mungkin bisa terjadi jika parpol-parpol itu punya integritas dan rasa tanggung jawab yang tinggi kepada rakyatnya. Setiap parpol seharusnya sudah jauh-jauh hari sebelumnya sudah mempersiapkan sebanyak mungkin kader-kader terbaiknya untuk dijadikan calon kepala daerah sampai waktunya pilkada tiba. Jika ada parpol yang sampai tak punya kader-kader potensial untuk dijadikan calon kepala daerah, berarti parpol-parpol itu telah gagal menjalankan tugasnya demi menjadi bagian dari (partisipasi) penyelenggara negara yang baik, yang pada akhirnya demi kepentingan rakyat. Lalu, apa saja kerja para elitnya selama ini? Apakah karena selama ini terlalu sibuk mencari kedudukan, jabatan, dan uang, sehingga tugasnya yang sangat penting itu menjadi terabaikan?

Satu hal yang mencurigakan dari sikap parpol-parpol yang gagal atau tidak mencalonkan kadernya itu sampai di tujuh daerah itu adalah adanya kemungkinan hal tersebut memang merupakan suatu kesengajaan dan merupakan strategi licik yang dijalankan oleh sejumlah parpol, dikarenakan bakal calon kepala pesaingnya terlalu kuat untuk dilawan. Seperti yang diduga terjadi di Kota Surabaya.

Kalau di masa pilkada yang sekarang mereka tetap mengajukan pasangan bakal calonnya, hampir pasti kalah. Bersamaan dengan itu merekla tidak mau pasangan calon pesaingnya itu akhirnya yang menjadi pasangan kepala daerah tersebut. Cara untuk mengagalkan pasangan lawannya itu menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif adalah dengan strategi “menciptakan” terjadinya pasangan calon tunggal di pilkada di daerah itu

Menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, jika itu terjadi, maka pilkada tak dapat diselenggarakan di daerah itu, harus ditunda. Pasangan kepala daerah pertahana setelah masa jabatannya berakhir akan berubah menjadi pelaksana tugas kepala daerah dengan kewenangan yang terbatas. Seperti itulah yang kini terancam terjadi. Dan itupula yang memang tampaknya diinginkan oleh parpol-parpol itu supaya terjadi. Jika itu akhirnya terjadi, berarti skenario politik mereka berjalan sesuai dengan direncanakan.

Jika Perppu adalah Solusinya

Seperti yang saya sebutkan di atas kekacauan ini bisa terjadi karena para pembuat Undang Undang tidak bisa mengantisipasi keadaan seperti ini. Seharusnya sedari awal sudah bisa memikirkan, jika ditentukan pilkada harus diikuti oleh minimal dua pasangan calon, harus dipikirkan dan dibuat ketentuannya pula; bagaimana jika syarat itu tidak tercapai. Sekarang sudah terjadi, baru mau dipikirkan.

Dengan kasus “calon tunggal” ini, seharusnya juga diantisipasi, bagaimana juga jika di suatu daerah ternyata tidak ada satu pun pasangan calon yang mengajukan diri saat pilkada hendak diselenggarakan? Sementara itu pasangan kepala daerah sedang menjabat tidak bisa mencalonkan diri lagi, karena sudah menjabat selama dua periode. Sebelum kejadian seperti ini terjadi juga, maka seharusnya hal seperti ini diantisipasi sejak sekarang.

Kini, tentu saja tidak mudah untuk mencari solusinya. Apalagi jika meskipun telah diperpanjang waktu pendaftarannya, tetap saja tidak ada partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calonnya. Maka, satu-satu solusi jika ingin pilkada serentak tetap bisa berjalan lancar tanpa ada yang ditunda adalah dibuat ketentuan bahwa pilkada tetap bisa dijalankan meskipun hanya ada satu pasangan calon.

Karena hanya ada satu pasangan calon, maka tak perlu lagi ada pilkada di daerah yang bersangkutan. Tidak ada anggaran yang harus dikucurkan untuk penyelengaraan pilkada itu, sehingga bisa terjadi penghematan anggaran.  KPU bisa langsung saja menyatakan pasangan calon tunggal itu sebagai pasangan kepala daerah yang baru. Anggap saja mereka itu menang walk-out, w.o.

Meskipun ini juga terkesan kurang baik bagi demokrasi, karena rakyat tidak dapat menggunakan hak pilihnya, tetapi dibandingkan dengan menunda pilkada di daerah itu sampai dua tahun ke depan tanpa ada kepastian apakah di saat itu  sudah pasti ada pasangan calon lebih dari satu, dan juga jumlah kerugiannya yang sangat besar baik dari aspek materi, maupun kepentingan rakyat setempat untuk memperoleh pimpinannya yang berwenang penuh (definitif).

Lagipula bukankah ini hanya diterapkan di daerah yang hanya ada calon tunggalnya saja. Sedangkan sisanya, 262 daerah lainnya tetap berlangsung pilkada secara normal.

Parpol-parpol yang tidak mengusungkan calonnya pun akan melongo dan menyesal atas tindakannya itu, sedangkan mereka yang memang sengaja tidak mengajukan calonnya agar terjadi calon tunggal, dan pilkada ditunda pun terpaksa gigit jari karena skenarionya gagal total.

Mengenai bagaimana mekanismenya kita serahkan saja kepada KPU dan Bawaslu untuk membuatnya.

Tentu saja ketentuan tersebut baru mungkin terjadi jika Presiden menerbitkan Perppu yang mengatur hal tersebut untuk mengatasi masalah calon tunggal di tujuh daerah tersebut.

Diharapkan Presiden juga tidak terlalu bersikap kaku,  legalistis dan formalistis dalam menyikapi kondisi yang sebenarnya sudah genting ini – suatu syarat untuk terbitnya suatu Perppu. Dia harus bisa menilai manakah yang lebih merugikan dan manakah lebih menguntungkan bagi rakyat jika pilkada itu ditunda, dan jika pilkada itu tetap dijalankan meskipun hanya ada satu pasangan calon kepala daerahnya. Jika ternyata hal yang kedualah yang lebih baik bagi rakyat di daerah-daerah yang bersangkutan bukankah sebaiknya Presiden menerbitkan Perppu yang isinya mengatur bahwa pilkada tetap bisa diselenggarakan meskipun hanya ada satu pasangan calon.

Akan Dijegal DPR

Namun masalah belum selesai. Karena jika Presiden menerbitkan Perppu, masih ada kemungkinan akan kembali dijegal oleh partai-partai politik di DPR. Karena kelanjutan dari Perppu itu adalah harus juga mendapat persetujuan dari DPR. Jika DPR tak setuju, maka Perppu itu batal. Padahal waktu penyelenggaraan pilkada itu sudah sangat pendek, yakni 9 Desember 2015. Mungkin karena mempertimbangkan hal inilah maka Presiden Jokowi memutuskan untuk tidak menerbitkan Perppu.

Kemungkinan ini memang sangat mungkin terjadi mengingat sikap pragmatis politik yang masih sangat kuat di DPR. Mereka hanya memikirkan kepentingan jangka pendek mereka, bukan kepentingan rakyat mereka.

Demikian juga dengan wacana untuk memasukkan pasal yang menjatuhkan sanksi kepada parpol yang sebenarnya dapat mengajukan bakal calon kepala daerahnya, tetapi tidak mau melakukan hal itu tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan,  di saat revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik hanya mengatur bahwa salah satu tanggung jawab partai politik adalah melakukan perekrutan untuk bakal calon kepala dan wakil kepala daerah, tetapi tidak mengatur sanksi jika parpol yang sebenarnya mampu mengajukan calon, tetapi tidak mau melakukannya.

Jika wacana agar dalam revisi Undang-Undang itu dimasukkan sanksi bagi partai politik, besar kemungkinan akan ditolak juga oleh partai-partai politik itu di DPR. Sebab dengan karakteristiknya seperti sekarang ini mana mau mereka mengatur suatu sanksi kepada mereka sendiri atas suatu perilaku yang sudah merupakan karakter mereka itu?

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Arif Wibowo, mengatakan, jika pasal sanksi itu menjadi bagian dari undang-undang setelah direvisi, maka  besar kemungkinan pasal itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. "Soalnya, itu menyangkut aspek konstitusional. Partai mengajukan calon atau tidak dalam pilkada bukanlah kewajiban, tetapi hak partai. Artinya, jika partai tidak mengajukan calon, ya, tidak apa-apa karena partai tidak berwajib," ujarnya.

Nah, justru itu, perlu ada revisi dari ketentuan tersebut, yang isinya mengubah pengajuan calon itu adalah hak partai politik menjadi merupakan kewajiban partai politik. Tentu saja dengan disertai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat lainnya yang membuat partai politik mempunyai kewajiban untuk itu.

Mempermudah Calon Perorangan (Independen)

Salah satu faktor penting dari terjadinya calon tunggal di 7 daerah itu, bisa jadi juga karena begitu sangat terlalu ketatnya syarat yang harus dipenuhi oleh pasangan calon kepala daerah dari jalur perorangan (independen). Bisa jadi, fraksi-fraksi di DPR itu sengaja membuat syarat-syarat itu menjadi sangat berat karena mereka takut dikalahkan oleh calon independen yang kharismatik. Halmana sudah ada indikasi-indikasinya ketika di Pilkada DKI Jakarta, gabungan 11 partai besar yang mengusung calon pertahana dikalahkan secara telak pasangan calon (Jokowi-Ahok) yang hanya diusung 2 partai, yaitu PDIP dan Gerindra.

Jika syarat-syarat pasangan calon kepala daerah dari jalur perorangan itu dipermudah, bisa jadi hal itu mengatasi atau paling tidak mengurangi secara signifikan terjadi lagi calon tunggal di pilkada-pilkada berikutnya.

Syarat-syarat bagi pasangan calon kepala daerah dari jalur perorangan diatur di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, yang mengacu pada jumlah penduduk di daerah tersebut dan besarannya persentasi minimal dukungan rakyat di daerah tersebut kepadanya.

  • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa harus didukung paling sedikit 10% penduduknya;
  • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 sampai dengan 500.000 jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% penduduknya;
  • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 sampai dengan 1.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% penduduknya;
  • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% penduduknya.

Syarat berikutnya:

  • Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud di atas harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
  • Dukungan tersebut harus dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi KTP Elektronik, Kartu Keluarga, paspor dan/atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
  • Dukungan satu orang penduduk hanya boleh terhadap satu pasangan calon perorangan.

Yang paling berat dari syarat-syarat ini adalah besaran persentasi dibandingkan dengan jumlah penduduknya, dan syarat penyebaran dukungan yang harus lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud. ******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun