Kini, tentu saja tidak mudah untuk mencari solusinya. Apalagi jika meskipun telah diperpanjang waktu pendaftarannya, tetap saja tidak ada partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calonnya. Maka, satu-satu solusi jika ingin pilkada serentak tetap bisa berjalan lancar tanpa ada yang ditunda adalah dibuat ketentuan bahwa pilkada tetap bisa dijalankan meskipun hanya ada satu pasangan calon.
Karena hanya ada satu pasangan calon, maka tak perlu lagi ada pilkada di daerah yang bersangkutan. Tidak ada anggaran yang harus dikucurkan untuk penyelengaraan pilkada itu, sehingga bisa terjadi penghematan anggaran. Â KPU bisa langsung saja menyatakan pasangan calon tunggal itu sebagai pasangan kepala daerah yang baru. Anggap saja mereka itu menang walk-out, w.o.
Meskipun ini juga terkesan kurang baik bagi demokrasi, karena rakyat tidak dapat menggunakan hak pilihnya, tetapi dibandingkan dengan menunda pilkada di daerah itu sampai dua tahun ke depan tanpa ada kepastian apakah di saat itu  sudah pasti ada pasangan calon lebih dari satu, dan juga jumlah kerugiannya yang sangat besar baik dari aspek materi, maupun kepentingan rakyat setempat untuk memperoleh pimpinannya yang berwenang penuh (definitif).
Lagipula bukankah ini hanya diterapkan di daerah yang hanya ada calon tunggalnya saja. Sedangkan sisanya, 262 daerah lainnya tetap berlangsung pilkada secara normal.
Parpol-parpol yang tidak mengusungkan calonnya pun akan melongo dan menyesal atas tindakannya itu, sedangkan mereka yang memang sengaja tidak mengajukan calonnya agar terjadi calon tunggal, dan pilkada ditunda pun terpaksa gigit jari karena skenarionya gagal total.
Mengenai bagaimana mekanismenya kita serahkan saja kepada KPU dan Bawaslu untuk membuatnya.
Tentu saja ketentuan tersebut baru mungkin terjadi jika Presiden menerbitkan Perppu yang mengatur hal tersebut untuk mengatasi masalah calon tunggal di tujuh daerah tersebut.
Diharapkan Presiden juga tidak terlalu bersikap kaku,  legalistis dan formalistis dalam menyikapi kondisi yang sebenarnya sudah genting ini – suatu syarat untuk terbitnya suatu Perppu. Dia harus bisa menilai manakah yang lebih merugikan dan manakah lebih menguntungkan bagi rakyat jika pilkada itu ditunda, dan jika pilkada itu tetap dijalankan meskipun hanya ada satu pasangan calon kepala daerahnya. Jika ternyata hal yang kedualah yang lebih baik bagi rakyat di daerah-daerah yang bersangkutan bukankah sebaiknya Presiden menerbitkan Perppu yang isinya mengatur bahwa pilkada tetap bisa diselenggarakan meskipun hanya ada satu pasangan calon.
Akan Dijegal DPR
Namun masalah belum selesai. Karena jika Presiden menerbitkan Perppu, masih ada kemungkinan akan kembali dijegal oleh partai-partai politik di DPR. Karena kelanjutan dari Perppu itu adalah harus juga mendapat persetujuan dari DPR. Jika DPR tak setuju, maka Perppu itu batal. Padahal waktu penyelenggaraan pilkada itu sudah sangat pendek, yakni 9 Desember 2015. Mungkin karena mempertimbangkan hal inilah maka Presiden Jokowi memutuskan untuk tidak menerbitkan Perppu.
Kemungkinan ini memang sangat mungkin terjadi mengingat sikap pragmatis politik yang masih sangat kuat di DPR. Mereka hanya memikirkan kepentingan jangka pendek mereka, bukan kepentingan rakyat mereka.