Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kerusuhan di Tolikara, Bercermin pada Konsep "Satu Tungku Tiga Batu" di Fakfak

25 Juli 2015   17:26 Diperbarui: 25 Juli 2015   17:26 1999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koran Jawa Pos edisi Rabu, 15 Juli 2015 menurunkan sebuah artikel berjudul “Fakfak, Kota Tertua Sekaligus Paling Damai di Papua: Berkaca dari Konsep Satu Tungku Tiga Batu” oleh Kardono Setyorakhmadi, tentang konsep toleransi beragama yang sudah berusia ratusan tahun yang sangat unik bahkan terbilang radikal di Fakfak, Papua Barat.

Dua hari kemudian, Jumat, 17 Juli 2015, tepat di Hari Raya Idul Fitri, pecah kerusuhan sosial bernuansa agama di Kabupaten Tolikara, Papua. Akibat dari kesalapahaman antara umat dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dengan umat Islam yang sedang menjalani sholat Ied, dan tindakan aparat yang represif, dan adanya provokator dari kalangan GIDI, meletuslah kerusuhan itu. Massa lalu membakar kios-kios yang ada di dekat itu, api langsung melalap enam puluhan kios merambat sampai membakar juga sebuah mushala. Isu kerusuhan bernuansa agama pun mulai merebak sampai ke seluruh Indonesia.

Pemerintah, TNI dan Polri bersama para pemuka agama di Tolikara, dan di Ibukota segera bereaksi cepat, dengan melakukan langkah-lagkah hukum dan persuasif untuk meredam isu tersebut. Polisi juga sudah maju dalam melakukan tindakan penyelidikan dengan hasil sementara berhasil menemukan dan menetapkan dua tersangka provokatornya yang berasal dari kalangan GIDI. Sehingga kerusuhan tersebut tidak berhasil dimanfaatkan oleh para provokator untuk meledakkan kerusuhan yang lebih luas dan besar lagi di wilayah Indonesia lainnya. Semoga memang demikian untuk selamanya, karena masyarakat kita kini semakin banyak yang berwawasan luas dan berpikiran maju.

Masyarakat yang berwawasan luas dan terbiasa hidup dalam alam demokrasi akan semakin terbiasa hidup dalam bertoleransi satu terhadap yang lainnya, termasuk di dalamnya menjalani kehidupan sehari-hari dengan sesamanya yang berbeda agama dan keyakinan.

Terjadinya kerusuhan sosial di Tolikara, yang diikuti dengan isu sentimen agama dan adanya indikasi mulai bergeraknya para provokator kerusuhan yang kemudian diredam oleh pemerintah, Polri, TNI, dan para pemuka agama itu, menjadikan semakin relevan untuk berbicara lagi tentang konsep toleransi beragama di Fakfak yang terkenal dengan sebutan “Satu Tungku Tiga Batu” sebagaimana dimuat di artikel di koran Jawa Pos tersebut di atas.

Konsep ini sudah cukup banyak kali ditulis di berbagai media, termasuk di Kompasiana. Koran Jawa Pos di edisi 15 Juli 2015 yang saya sebutkan di awal artikel ini kembali menurunkan artikel dengan thema yang sama, dua hari kemudian pecah kerusuhan sosial di Tolikara itu. Apabila kehidupan masyarakat di sana sudah lama seperti di Fakfak, mungkin saja kejadian buruk itu tidak bakal terjadi.

Umumnya yang paling dikhawatirkan itu adalah pendatang-pendatang dari luar, terutama dari Jawa yang berupaya meracuni dan merusak kehidupan sosial dan beragama dengan konsep “satu tungku tiga batu” itu. Apa yang dikhawatirkan itu bukan tidak pernah terjadi, tetapi syukurlah mereka selalu gagal, karena sudah sedemikin berakar dan tingginya kehidupan toleransi beragama di Fakfak itu.

Saya sendiri pernah mendengar di waktu kerusuhan berdarah di Maluku, ada sekelompok orang dari Laskar Jihad yang hendak masuk ke Fakfak dengan menggunakan kapal penumpang, tetapi aparat dan masyarakat Fakfak sudah menciumnya terlebih dahulu. Sehingga ketika kapal merapat di pelabuhan Fakfak, para Laskar Jihad itu dilarang turun, disuruh kembali ke tempat asalnya.

Kejadian inilah yang mungkin yang dimaksud oleh seorang wernemen (wakil kepala kampung) yang juga tokoh adat Fakfak yang beragama Islam, Achmad Hindom, saat diwawancarai Jawa Pos pasca kerusuhan di Tolikara dihubungkan dengan konsep “satu tungku tiga batu” di Fakfak .

Achmad Hindom mengatakan, prinsip “satu tungku tiga batu” di Fakfak adalah harga mati. “Pernah waktu zaman kerusuhan Maluku, ada yang coba-coba provokasi di sini. Tapi tidak berhasil,” katanya kepada Jawa Pos.

Kardono Setyorakhmadi, wartawan Jawa Pos yang secara khusus datang ke Fakfak mendalami kehidupan antaragama di Fakfak menulis di artikelnya bahwa Fakfak sungguh layak dikandidatkan sebagai kota terbaik se-Indonesia dalam kehidupan toleransi beragamanya.

Intisari dari konsep “satu tungku tiga batu” tersebut berdasarkan adanya tiga agama besar di Fakfak, yaitu Islam, Kristen Protestan, dan Katholik.

Achmad Hindom menuturkan bahwa pandangan satu tungku tiga batu merupakan penjabaran dari idu-idu, sebuah konsep orang Papua yang berarti baku sayang atau saling mengasihi. “Itu semua merupakan pemikiran leluhur yang harus kami hormati. Kami percaya, jika tidak melakukannya, akan kena kutuk.” (Jawa Pos, 15/07/2015).

Sapaan “assalamualaikum” dari warga Kristen kepada saudara atau tamunya yang muslim merupakan hal yang sudah biasa di Fakfak.

Konsep adat masyarakat Fakfak menyangkut toleransi beragama memang terbilang unik bahkan radikal. Disebut demikian karena di sana berlaku kebiasaan di dalam keluarga-keluarga besarnya (marga/pertuanan), jika dalam satu keluarga besar itu sudah “terlalu banyak” anggota keluarga yang menganut Islam, maka anggota keluarga lainnya didorong untuk memeluk agama Kristen/Katholik. Begitu juga sebaliknya.

Di keluarga Kristen Fakfak bahkan mempunyai dua alat masak dan piring. Yang satu untuk sehari-hari dan satu lagi khusus untuk menjamu saudara mereka yang Muslim. Hal itu ditujukan untuk melindungi tamu agar tetap menyantap makanan dari piring dan gelas yang tidak pernah dipakai menghidangkan masakan yang tidak halal.

Adalah hal biasa bagi masyarakat Papua di Fakfak, jika ada warga Muslim ikut menghadiri misa Natal, dan warga Kristen mengikuti khotbah Idul Fitri. Juga jika warga Kristen menjadi ketua panitia pembangunan masjid, dan sebaliknya, warga muslim ikut dalam panitia pembangunan gereja.

“Memang sulit dipercaya. Tetapi, itu betul-betul saya temui dan saya lihat sendiri selama liputan sepanjang Ramadan lalu (di sana),” tulis Kardono Setyorakhmadi di tulisannya yang kedua di Jawa Pos, Minggu, 19 Juli 2015.

“Coba bandingkan dengan di Jawa. Jangankan untuk mengucapkan selamat Natal, wacana Islam Nusantara saja sudah menjadi kontroversi hebat. Dalam konteks toleransi dan kerukunan umat beragama, Jawa jauh tertinggal dari Indonesia Timur,” tambah Kardono di tulisannya itu.

Kardono kembali melakukan liputan di Fakfak untuk mengetahui reaksi masyarakat Fakfak pasca kerusuhan di Tolikara itu.

Menurut Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Fakfak, Papua Barat, Falentinus Kabes, sampai saat ini imbas kerusuhan di Tolikara tidak terasa sama sekali di Fakfak, padahal mayoritas penduduk Fakfak adalah Muslim. Di artikelnya itu Kardono menulis bahwa dari 100.000-an warga Fakfak, 80 persennya Muslim. Sedangkan menurut Wikipedia di Kabupaten Fakfak yang memeluk Islam (63,2 %), Kristen (25,1 %), Katholik (11,4 %), lain-lain (0,30 %).

Antarwarga yang berbeda agam itu justru sudah saling berkomunikasi. "Kami sudah saling menjaga. Salat Ied dan tradisi Lebaran muslim di sini justru dijaga orang Nasrani. Begitu pula misa. Nanti  dan besok  giliran misa yang dijaga saudara kami yang Muslim," jelas Kabes, Sabtu, 18 Juli 2015.

“Mekanisme satu tungku tiga batu kembali berjalan,” tulis Kardono.

Yang membuat pusing justru pemberitaan beberapa media tertertentu, kata Kabes. "Kami sempat dengar, katanya ada Muslim Jawa yang mau ke sini. Ngapain? Malah hanya memperkeruh suasana.

“Biar diselesaikan di sini sudah. Kalau dari luar ikut-ikut, bisa tidak selesai itu dorang pe perkara," tegasnya dengan sedikit dialek Papua.

Yang dimaksud Kabes mungkin merujuk pada pemberitaan beberapa media online yang mengutip pernyataan-pernyatan yang memang sangat provokastif membakar emosi dari Ketua FPI Habib Rizieq tentang kerusuhan di Tolikara, Papua itu. Seperti biasa, ia menyerukan kutukannya terhadap “para kafir harbi” di Tolikara, dan siap mengirim ribuan pasukannya untuk berjihad di sana. “Nyawa harus dibayar nyawa!” serunya juga. Padahal tidak ada umat Muslim yang menjadi korban tewas  di sana.

Lintasnasional.com salah satu media online yang mengutip pernyataan-pernyataan menghasut dari Ketua FPI itu, juga menulis berita itu dengan judul yang tak kalah provokatifnya: “Masjid Dibakar, FPI Siap Jihad ke Papua ‘Nyawa dibayar nyawa’ “.

Selain Fakfak, tulis Kardono, di Kaimana dan Bintuni, situasi harmonis seperti di Fakfak juga terjadi. Mereka juga menganut ideologi yang sama, yakni satu tungku tiga batu.

Demikian juga di di Raja Ampat. Meski tidak mengenal prinsip satu tungku tiga batu seperti di Fakfak, masyarakat Raja Ampat mempunyai tingkat kerukunan beragama yang tidak kalah akrab. "Di sini memang biasa jika ada satu keluarga yang campur-campur. Tidak hanya di Raja Ampat, tetapi hampir di semua tempat di Papua," tutur Imam Masjid Agung Waisai Raja Ampat H M. Hanafing.

Kardono juga beranalisa bahwa meski mempunyai tingkat toleransi beragama yang besar, tetap saja susunan sosial masyarakat di Indonesia Timur, khususnya Maluku dan Papua, masih rapuh. Bukti paling nyata, selalu ada pemuda-pemuda -yang nyaris tidak punya pekerjaan dan tidak punya penghasilan yang berkumpul, minum minuman keras, dan lantas melakukan hal-hal yang kerap tidak baik.

Perkelahian antar pemuda, antarkampung, atau antarsuku kerap terjadi karena para pemuda. Itu pun disebabkan masalah yang sangat sepele. Misalnya, senggolan di pentas musik atau hanya karena saling pandang. Selain itu, para pemuda tersebut umumnya masih menganggap dirinya anak adat sehingga mudah diprovokasi untuk melakukan sesuatu.

Jangan hanya karena Tolikara lantas semua orang Papua dianggap barbar dan tidak punya empati beragama. Papua sangat luas. Jika disamakan dengan di Jawa, skala Tolikara mungkin setingkat kecamatan di kabupaten paling terpencil.

"Kami memang masih mempunyai masalah sosial. Tetapi, jangan seret kami seperti yang terjadi di Ambon," tegas Achmad Hindom, Warnemen (wakil ketua kampung) dari Petuaan Fatagar (Jawa Pos, Minggu, 19/07/2015).

Achmad Hindom sendiri adalah keponakan dari Simon Bruno Hindom, Ketua Dewan Adat Fakfak. “Marga saya Hindom, saya beragama Katholik, tetapi saudara saya ada yang Muslim, dan ada yang Kristen Protestan...Anak saya ingin kawin dengan anak yang berkeyakinan lain, maka kami harus saling menghormati,” ungkap Simon di Insight Papua, di Metro TV, Agustus 2013.

Kebetulan, baru-baru ini, 19 Juli 2015, artinya dua hari sesudah terjadi kerusuhan di Tolikara, ada sebuah acara keagamaan (misa) di Gereja Katholik Santo Yosep di Distrik Brongkendik, Fakfak. Di dalam acara tersebut turut berpartisipasi tokoh agama Islam dan para remaja Muslim di daerah tersebut (Masjid Kampung Pasir Putih). Mereka berperan aktif mengiringi jalannya prosesi misa dari luar gereja sampai selesai, lengkap dengan busana Muslim dan perangkat musik tifanya yang dimainkan sepanjang jalannya prosesi mengantar pastor sampai masuk ke dalam gereja.

Sahabat baik saya di Fakfak, Jefry (Jeje) Hindom yang tak lain adalah anak kandung dari Ketua Adat Fakfak Simon Bruno Hindom (Katholik), yang masih mempunyai hubungan saudara dekat dengan tokoh adat Fakfak lainnya yang beragama Islam, Achmad Hindom (adik sepupu dari Simon Hindom) yang dikutip beberapa pernyataannya oleh Jawa Pos tersebut di atas, mengabadikan beberapa momen penting perayaan misa di Gereja Santo Yosep yang dipartisipasi juga oleh tokoh dan para remaja Muslim setempat itu.

Foto-foto yang diabadikan itu dipasang Jeje Hindom di tembok Face Book-nya. Jeje menulis penjelasan untuk foto-foto itu: “Terlihat Saudara2 Remaja Mesjid Kampung Pasir Putih, mengiringi Pastor dlm prosesi Missa Pembukaan Temu OMK Se TPW Fakfak Tahun 2015, di Gereja St. Yosep Brongkendik.”

 

 

 

 

Untuk kesekian kali, Fakfak membuktikan bahwa konsep “satu tungku tiga batu” bukan hanya sekadar slogan semata. Juga bukan hanya merupakan suatu pencitraan, tetapi hal seperti ini sudah terbiasa dijalankan oleh para pemeluk tiga agama, Islam, Protestan, dan Katholik sejak zaman leluhur mereka.

Fakfak juga dikenal sebagai pusat Islam di Papua, hal ini dapat dilihat dari terdapat masjid-masjid tua peninggalan zaman dahulu, yang menunjukkan bahwa Islam sudah ada di Fakfak sejak beberapa abad lampau. Beberapa ahli sejarah Fakfak mengatakan, Islam sudah masuk di Fakfak sekitar abad ke-15-17. Salah satu buktinya adalah Masjid Patimburak yang berada di Kecamatan Kokas. Masjid ini merupakan masjid tertua di Fakfak, didirikan pada 1870.

[caption caption="Silahturahmi keluarga Hinom (Kristen) dgn keluarga Besar Salawati (Islam) di Kampung Gewerpe, di sebuah acara sunatan (foto: Jeje Hinom)"]

[/caption]

[caption caption="Jefry (Jeje) Hinom (tengah) yang Katholik saat menghadiri sebuah acara sunatan dari keluarga besar Salawati (foto: Jeje Hinom)"]

[/caption]

Keunikan bangunan masjid kuno ini adalah bentuknya yang ada kemiripan dengan bangunan gereja abad pertengahan di Eropa. Menurut penjaga Masjid Patimburak, Ahmad Kudah, memang benar masjid itu ada kemiripannya dengan bangunan gereja, karena menurut sejarahnya masjid itu dibangun atas kerjasama Raja Wertuar dengan umat Kristen Protestan di Kokas.

Marga Ihab, Patiran Kabes, yang merupakan penganut agama Islam dan Protestan, yang ketika itu gotong-royong membangun masjid itu, diabadikan di dalam ruang ibadahnya. Di dekat mimbar masjid itu juga terdapat lambang kerukunan beragama: Islam, Protestan dan Katholik.

Itulah salah satu lambang tertua dari “satu tungku tiga batu” yang ada di Kabupaten Fakfak, terdapat di dalam sebuah masjid tertua yang sekaligus juga merupakan perwujudan dari konsep yang unik namun sangat tinggi nilai falsafahnya itu. *****

 

 

Artikel terkait:

Jangan Merusak Harmoni Umat Beragama di Fakfak 

 

 

 

[caption caption="Artikel di Jawa Pos, 15 Juli 2015"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun