“Mekanisme satu tungku tiga batu kembali berjalan,” tulis Kardono.
Yang membuat pusing justru pemberitaan beberapa media tertertentu, kata Kabes. "Kami sempat dengar, katanya ada Muslim Jawa yang mau ke sini. Ngapain? Malah hanya memperkeruh suasana.
“Biar diselesaikan di sini sudah. Kalau dari luar ikut-ikut, bisa tidak selesai itu dorang pe perkara," tegasnya dengan sedikit dialek Papua.
Yang dimaksud Kabes mungkin merujuk pada pemberitaan beberapa media online yang mengutip pernyataan-pernyatan yang memang sangat provokastif membakar emosi dari Ketua FPI Habib Rizieq tentang kerusuhan di Tolikara, Papua itu. Seperti biasa, ia menyerukan kutukannya terhadap “para kafir harbi” di Tolikara, dan siap mengirim ribuan pasukannya untuk berjihad di sana. “Nyawa harus dibayar nyawa!” serunya juga. Padahal tidak ada umat Muslim yang menjadi korban tewas di sana.
Lintasnasional.com salah satu media online yang mengutip pernyataan-pernyataan menghasut dari Ketua FPI itu, juga menulis berita itu dengan judul yang tak kalah provokatifnya: “Masjid Dibakar, FPI Siap Jihad ke Papua ‘Nyawa dibayar nyawa’ “.
Selain Fakfak, tulis Kardono, di Kaimana dan Bintuni, situasi harmonis seperti di Fakfak juga terjadi. Mereka juga menganut ideologi yang sama, yakni satu tungku tiga batu.
Demikian juga di di Raja Ampat. Meski tidak mengenal prinsip satu tungku tiga batu seperti di Fakfak, masyarakat Raja Ampat mempunyai tingkat kerukunan beragama yang tidak kalah akrab. "Di sini memang biasa jika ada satu keluarga yang campur-campur. Tidak hanya di Raja Ampat, tetapi hampir di semua tempat di Papua," tutur Imam Masjid Agung Waisai Raja Ampat H M. Hanafing.
Kardono juga beranalisa bahwa meski mempunyai tingkat toleransi beragama yang besar, tetap saja susunan sosial masyarakat di Indonesia Timur, khususnya Maluku dan Papua, masih rapuh. Bukti paling nyata, selalu ada pemuda-pemuda -yang nyaris tidak punya pekerjaan dan tidak punya penghasilan yang berkumpul, minum minuman keras, dan lantas melakukan hal-hal yang kerap tidak baik.
Perkelahian antar pemuda, antarkampung, atau antarsuku kerap terjadi karena para pemuda. Itu pun disebabkan masalah yang sangat sepele. Misalnya, senggolan di pentas musik atau hanya karena saling pandang. Selain itu, para pemuda tersebut umumnya masih menganggap dirinya anak adat sehingga mudah diprovokasi untuk melakukan sesuatu.
Jangan hanya karena Tolikara lantas semua orang Papua dianggap barbar dan tidak punya empati beragama. Papua sangat luas. Jika disamakan dengan di Jawa, skala Tolikara mungkin setingkat kecamatan di kabupaten paling terpencil.
"Kami memang masih mempunyai masalah sosial. Tetapi, jangan seret kami seperti yang terjadi di Ambon," tegas Achmad Hindom, Warnemen (wakil ketua kampung) dari Petuaan Fatagar (Jawa Pos, Minggu, 19/07/2015).