Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

“Tersangka”, Senjata Ampuh yang Melumpuhkan Lawan  

14 Juli 2015   17:59 Diperbarui: 14 Juli 2015   17:59 4911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“KPK adalah lembaga penegakan hukum superbodi”?

Itu dulu, sekarang, di masa pemerintahan Jokowi-JK itu hanyalah mitos.

Siapa yang bisa membantah bahwa justru di masa pemerintahan Jokowi-JK inilah KPK berada dalam posisi yang paling lemah sejak didirikan pada 2002. Hanya dalam tempo sekitar tiga bulan pemerintahan baru ini, KPK sudah mampu dibuat sekarat. Memang bukan langsung oleh tangan Presiden Jokowi, tetapi tragedi hukum yang kemudian diikuti dengan tragei-tragedi hukum lainnya itu terjadi di bawah pemerintahannya yang baru seumur jagung, sampai hari ini (baca artikel: Presiden Super Sakti).

Sebelumnya, selama bertahun-tahun, mereka yang sangat berhasrat melemahkan KPK mungkin tak terpikirkan dan/atau tak punya akses/wewenang untuk melakukannya bahwa jantung kelemahan KPK itu justru ada di Undang-Undang tentang KPK itu sendiri. Persisnya di Pasal 32 ayat (2) yang menentukan: Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Selanjutnya ayat (3)-nya mengatur: Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Ternyata, dengan hanya menetapkan para pimpinannya sebagai tersangka, sudah cukup membuat mereka terpental dari kursi pimpinan KPK. KPK tanpa ketua dan pimpinan yang cukup sama saja dengan harimau ompong yang dicabut juga kuku-kukunya. Semudah itu, seperti menyentik jari saja!

Yang terpenting adalah punya kewenangan untuk itu (menetapkan seseorang sebagai tersangka), dan kewenangan itu dimiliki oleh Polri, khususnya dalam konteks ini adalah berperannya Bareskrim Polri di bawah Komjen Budi Waseso.

“Harimau” yang Dicabut Gigi dan Kukunya

Saat KPK di bawah kepimpinan Abraham Samad dengan nyali harimaunya  berani mengusut calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yang diduga bermasalah dengan kasus korupsi dan kemudian menetapkannya sebagai tersangka justru setelah ditunjuk sebagai calon tunggal Kapolri, saat itulah senjata ampuh itu digunakan. Maka dengan cepat rontoklah gigi dan tercabutlah kuku-kuku “sang harimau” KPK, seketika itu juga ia lemas dan sekarat.

Keampuhan luar biasa Pasal ini telah terbukti saat melalui kriminalisasi lalu penetapan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri terhadap Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, yang dinilai paling bertanggung jawab atas penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka.

Kesalahan kedua komisioner KPK itupun dicari-cari, setelah ditemukan atau diada-adakan, kesalahan itu pun dijadikan dasar untuk menetapkan mereka sebagai tersangka kejahatan. Kesalahan Abraham di masa lalu adalah melakukan pemalsuan dokumen kependudukan, dan Bambang dibuat bersalah telah memerintah para saksi membuat kesaksian palsu saat ia menjadi pengacara di suatu sidang gugatan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, maka sesuai dengan hukum, presiden yang entah karena terlalu naif atau karena karena pengaruh kuat kekuatan partai politik di belakangnya, atau kombinasinya, dengan begitu cepatnya, dengan alasan sesuai dengan undang-undang, memberhentikan sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto itu.

Namanya saja pemberhentian sementara, tetapi dampaknya sama saja dengan pemberhentian permanen. Karena mereka tak mungkin lagi bisa kembali menjabat karena proses hukum terhadap mereka pasti masih panjang, sedangkan masa jabatannya hanya sampai Desember 2015.

Awal Kesalahan Fatal Jokowi

Setelah itu Jokowi “lepas tangan”, menyerahkan semuanya kepada Bareskrim Polri, dengan alasan tidak mau intervensi hukum demi penegakan hukum itu sendiri. Inilah awal dari kesalahan fatal Jokowi yang berdampak pada terjadinya kerusakan sistem penegakan hukum selanjutnya dengan menjadikan KPK terlemah sepanjang sejarahnya. Yang kemudian diikuti dengan ancaman berikutnya bagi lembaga penegak hukum lainnya, yaitu sampai saat ini: Komisi Yudisial.

Seharusnya saat KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, maka segera Jokowi menangguhkan pencalonan dia sebagai calon Kapolri, dengan mempersilakannya untuk menyelesaikan persoalan hukumnya dengan KPK. Biarlah pengadilan nanti yang menentukan apakah Budi Gunawan itu bersalah atau tidak.

Entah, Jokowi itu terlalu awam dalam memahami hukum dan/atau karena dipengaruhi kekuatan politik di belakangnya, yang terjadi kemudian bukan proses penegakan hukum yang baik, tetapi sarat dengan indikasi pemanfaatan hukum demi kepentingan kelompok/pribadi. Hukum digunakan sebagai alat pembenaran dan kamuflase dari kepentingan politik.

Sebagai seorang Kepala Negara yang bijak, Jokowi harus bisa melihat bahwa kasus KPK vs Polri, sama sekali tidak sebatas terpenuhinya syarat-syarat formalnya, tetapi harus bisa melihat lebih dalam daripada semua itu.

Jokowi harus bisa melihat apakah semua yang sedang terjadi itu adalah sesuatu yang normal ataukah tidak, apakah jika semua itu dibiarkan terjadi akan berdampak positif atau malah berbahaya bagi kelangsungan penegakan hukum di Indonesia.  Intinya, Jokowi harus bisa melihat apakah proses penegakan hukum sekarang ini adalah suatu penegakan hukum yang murni ataukah hanya merupakan suatu kamuflase/manipulasi hukum demi kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Ingat, kejahatan yang paling mengerikan adalah jika kejahatan itu dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, dan menjadi lebih berbahaya lagi jika hukum pun diperalat untuk melindungi kejahatannya itu, dan sekaligus untuk menghajar siapa saja yang ingin membongkar kejahatan itu. Bertambah parah lagi jika Kepala Negara entah karena terlalu lugu dan/atau karena dipengaruhi kekuatan politik di belakangnya, malah membiarkannya semua itu terjadi dengan alasan klise: tidak mau mengintervensi hukum.

Abdillah Toha, seorang pemerhati politik, di artikelnya yang berjudul Memimpin dalam Krisis, Harian Kompas, Rabu, 25 Februari 2015, antara lain menulis: “(seorang) pemimpin harus bisa membaca dan membedakan antara gejala yang bersifat normal dengan gejala berbahaya yang dapat menjurus ke krisis berkepanjangan dan lebih dalam jika dibiarkan. Keraguan bertindak segera bisa berakibat pada situasi lebih rumit untuk ambil keputusan.”

Sedangkan Aldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, di Harian Kompas, Selasa, 14 Juli 2015, juga menulis: “... Pasca menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, KPK dibiarkan porak poranda. Jokowi tidak hanya gagal memaknai dan memenuhi janji penegakan hukum dalam Nawacita, tetapi juga seperti tidak memiliki imajinasi desain besar pemberantasan korupsi. Jika memang hendak mewujudkan Nawacita, harusnya semua langkah darurat diambil demi menyelamatkan KPK.”

Jokowi Takut?

Di dalam pertandingan resmi sepakbola, wasit juga punya kewenangan penuh dalam memimpin setiap pertandingan, apapun keputusannya, sekontroversial apapun keputusannya, tidak ada satu pihak pun yang bisa mengintervensinya, termasuk FIFA sekali pun. Tetapi setelah itu otoritas organisasi sepakbola selanjutnya punya kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada wasit yang bersangkutan, misalnya dengan memecatnya sebagai wasit, agar ia tidak lagi bisa memimpin pertandingan selanjutnya yang berpotensi merusak sportifitas pertandingan sepakbola.

Seharusnya seperti analogi ini, maka Jokowi seharusnya berani bertindak dengan memerintahkan Kapolri untuk menggantikan bawahannya yang masih terus saja membuat ricuhnya penegakan hukum di negeri ini.

Demikianlah, maka tak heran jika mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafii Maarif, merasa sangat heran, kenapa Presiden Jokowi begitu sulit untuk memerintahkan Kapolri mengganti bawahannya yang diduga terus menjalankan “kegemarannya” mengkriminalkan dan mengtersangkakan para pemimpin lembaga penegak hukum lainnya di negeri ini.

Setelah KPK, kini giliran Komisi Yudisial, yaitu Ketua KY Suparman Marzuki dan komisioner Taufiqurahman Syahuri yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Sebelumnya, Bareskrim Polri juga sempat menyasar komisoner Komnas HAM, dan Redaksi Majalah Tempo, semuanya punya keterkaitan erat dengan kasus Budi Gunawan, tetapi kemudian batal.

"Kok mudah sekali menjadikan tersangka. Saya berharap bangsa ini jangan dipimpin oleh orang yang tidak karu-karuan ini," ujar Syafii di Gedung KPK, Jakarta, Senin (13/7/2015).

Menurut dia, Polri harus melakukan reformasi dengan mengganti orang-orang yang terlihat ingin melemahkan instansi penegak hukum lainnya. Ia mengatakan, seharusnya Jokowi memerintahkan Kepala Polri Badrodin Haiti untuk segera mengganti oknum-oknum tersebut.

"Ada aparat yang jelas itu melukai publik, melukai hukum, diganti. Kenapa sulit amat, perintahkan Pak Haiti mengganti?" kata Syafii.

Ia menyayangkan upaya hukum yang dilakukan Bareskrim Polri atas penetapan tersangka Komisioner KPK dan KY. Oleh karena itu, Syafii meminta Jokowi segera turun tangan menghadapi situasi ini.

"Antara penegak hukum itu main kucing-kucingan, itu menurut saya tidak sehat bagi republik ini. Dan semestinya Presiden tegas gitu lho," katanya (Kompas.com).

Tetapi setelah ditunggu-tunggu, Presiden Jokowi kembali membuat pernyataan yang serupa dengan sikapnya saat dua pimpinan dan seorang penyidik senior KPK ditetapkan sebagai tersangka, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada Polri, karena tidak mau melakukan intervensi hukum.

"Presiden ingin masalah tak berkepanjangan. Selanjutnya, penanganan ini diserahkan kepada Polri, mereka yang paham masalahnya," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Istana Negara, Jakarta, Senin, 13 Juli 2015.

Pratikno mengatakan, tidak ada arahan lain yang lebih detail dari Presiden terkait hal ini. (Harian Kompas, Selasa, 14/07/2015.

Sama dengan kasus ditersangkakannya Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, yang terlalu dibuat-buat, demikian juga dengan kasus ditersangkakannya Suparman Marzuki dan Taufiqurahman Syahuri, juga terkesan kuat terlalu dibuat-buat, apalagi penetapan itu ditetapkan setelah tujuh komisoner Komisi Yudisial dengan suara bulat memutuskan Hakim Sarpin Rizaldi telah melakukan pelanggaran saat menyidangkan sidang praperadilan Budi Gunawan, dan merekokemnadsaikan ke Mahkamah Agung untuk menjatuhkan sanksi kepadanya sebagai hakim non-palu selama 6 bulan.

Kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno, bahwa pemerintah akan melobi Hakim Sarpin Rizaldi untuk mencabut laporannya itu di polisi. Namun sampai tulisan ini dibuat, Sarpin belum mau mempertimbangkannya. Semoga saja nanti bukan malah menjadi tawar-menawar hukum: Sarpin bersedia cabut laporannya, asalkan KY juga bersedia mencabut rekomendasinya ke Mahkamah Agung yang berupa ia dijatuhi sanksi sebagai hakim non-palu selama 6 bulan itu.

Ketika Pengawas Dijadikan Tersangka

Dari rentetan kasus dari KPK sampai KY, rasanya sulit untuk tidak mengatakan bahwa penetapan kedua pimpinan KY sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri ini pun ada kaitannya dengan kasus Budi Gunawan. Yakni, diduga kuat hal tersebut merupakan bentuk balas budi Mabes Polri kepada Hakim Sarpin, yang di sidang praperadilan Februari lalu telah memenangkan Budi Gunawan saat melawan KPK. Apalagi saat ini Budi Gunawan sudah menjadi Wakapolri, dan berpotensi besar kelak akan menjadi Kapolri, mengganti Badrodin Haiti yang akan pensiun Agustus 2016. Jadi, bisa jadi ini adalah bentuk dari balas budi dari Budi Gunawan kepada Hakim Sarpin, yang dilaksanakan oleh Budi Waseso dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Kabareskrim Polri.

Seperti diketahui dasar dari penetapan Ketua KY Suparman Marzuki dan komisoner KY Taufiqurahman Syahuri sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri itu adalah laporan Hakim Sarpin Rizaldi, yang menuduh kedua pimpinan KY itu telah membuat pernyataan di media massa yang dinilai telah mencemarkan nama baik dan merusak harkat dan martabatnya.

Padahal pernyataan Suparman dan Taufiqurahman itu adalah jawaban atas pertanyaan wartawan mengenai keputusan yang diambil Hakim Sarpin di sidang praperadilan Budi Gunawan itu, yang dianggap menyalahi hukum acara pidana dan kewenangannya sebagai hakim. Pernyataan mereka masih ada kaitannya dengan jabatan mereka sebagai komisioner KY yang fungsi utamanya memang menyangkut pengawasan terhadap kinerja dan perilaku hakim. Sama sekali bukan mengenai diri pribadi Sarpin. Lain halnya jika mereka membuat pernyataan yang, misalnya, menuding Hakim Sarpin ditenggarai menerima suap, dan sejenisnya.

 

Komisi Yudisial diadakan berdasarkan konstitusi negara, yaitu UUD 1945, yaitu Pasal 24B, yang dijabarkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang pada pokoknya menyebutkan: Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.

Tajuk Rencana Harian Kompas, Selasa, 14/07/2015 menulis:

“... KY memang diberi tugas dan wewenang oleh UUD 1945 untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Pimpinan KY dan anggota KY juga punya hak protokol layaknya pejabat negara. Respons atau tanggapan dari KY di media massa terhadap perilaku hakim seharusnya ditempatkan dalam kerangka tujuan tersebut.

Tuduhan pencemaran nama baik, termasuk dalam kasus KY melawan Sarpin, Romli melawan ICW, Maruly melawan majalah Tempo, selalu menggunakan medium media massa. Kita berharap Polri tidak hanya menggunakan Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP, tetapi juga mempertimbangkan eksistensi UUD 1945, Pasal 50 KUHP, UU Komisi Yudisial dan UU Pers. Pasal 50 KUH Pidana mengatakan, ”barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.”

KY dibentuk sebagai amanat reformasi untuk menjaga kehormatan, keluhuran hakim. Kita yakin masih ada solusi demokratis lain guna menyelesaikan tuduhan pencemaran nama baik Sarpin oleh pimpinan KY. Penyelesaian di luar pengadilan akan lebih elegan.”

Di acara Prime Time News Berita Satu TV kemarin (Senin, 13/07/2015) ada seorang pakar hukum pidana yang berkomentar, seharusnya antara sesama hakim tidak boleh memberi penilaian terhadap putusan hakim lainnya, demikian juga dengan hakim dari KY. Setahu saya ketua dan pimpinan KY tidak berstatus sebagai hakim. Undang-Undang Komisi Yudisial tidak menyebutkan mereka sebagai hakim. Karena mereka memang tidak bertugas dan berwenang sebagaimana layaknya hakim dalam menyidangkan suatu kasus dan menjatuhkan vonis. Tujuh komisoner KY berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan melakukan pengawasan, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Seandainya pun mereka adalah hakim, jika dianggap salah karena menilai putusan hakim lainnya, maka kesalahan itu pasti lebih pada masalah kode etik semata, bukan soal kejahatan yang harus berurusan dengan polisi.

Logika Balas Budi

Seusai Hakim Sarpin membaca putusannya yang menerima gugatan praperadilan Budi Gunawan kepada KPK, Selasa, 17 Februari 2015, saat dimintai pendapatnya oleh para wartawan, Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki menjawab bahwa vonis Hakim Sarpin Rizaldi tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan pada sistem hukum pidana, dan bertentangan semangat reformasi Mahkamah Agung.

"Kami bisa simpulkan apa yang terjadi, secara permukaan putusan ini memang mengguncangkan, menimbulkan keruwetan hukum, dan bertentangan dengan semangat  untuk melakukan reformasi MA," kata Suparman di gedung KY, Jakarta Pusat, Selasa (17/2/2015).

Secara pribadi dia juga menyesalkan adanya aparat peradilan di bawah tidak dapat menjaga amanah dan semangat MA.

Meski begitu, dia mengaku belum ada kesimpulan dari KY apakah Sarpin melanggar kode etik atau tidak. Sejauh ini pihaknya masih mengumpulkan informasi serta mengkaji bahan investigasi timnya di lapangan (Tribunnews.com).

Apakah pernyataan kritik seperti ini sama dengan pencemaran nama baik, serta merusak martabat dan harkat Hakim Sarpin Rizaldi?

Sungguh demokrasi negara ini berada dalam keadaan sangat berbahaya jika setiap ada orang yang memberi penilaiannya atau tanggapannya terhadap suatu putusan hakim akan disamakan dengan melakukan pencemaran nama baik, serta merusak harkat dan martabat sang hakim, lalu dijadikan tersangka dan berpotensi masuk penjara!  

Akibat dari ditersangkakannya Ketua KY dan komisioner KY itu telah membuat komisioner lainnya pada was-was dalam menjalankan tugasnya.  Hal itu diakui oleh komisioner KY Imam Anshori saat jumpa pers di Gedung KY, Jakarta, Minggu (12/7/2015). "Ini tidak hanya mengganggu KY, tapi lembaga pengawas lainnya. Jadi mudah-mudahan petinggi negara ini memberi perhatian. Jangan sampai ada preseden buruk," ucap Imam (Harian Kompas, Senin, 13/07/2015).

Lembaga pengawas lainnya yang dimaksud itu adalah Ombudsman dan Komnas HAM. Jadi, kedua lembaga ini pun bisa bernasib sama jika saja kasus ditersangkakannya Ketua KY dan komisioner KY itu menjadi preseden.

Bukan hanya itu, kelak KPK pun semakin mudah dilemahkan. Cukup jika ada pimpinan KPK yang membuat pernyataan tentang suatu kasus korupsi yang sedang ditangani KPK, lalu koruptornya tidak terima, menganggap pimpinan KPK itu telah mencemarkan nama baiknya, lalu lapor polisi, kemudian polisi menetapkan pimpinan KPK itu sebagai tersangka. Maka sesuai dengan Undang-Undang KPK, presiden pun memberhentikan sementara pimpinan KPK itu. Selanjutnya, akan terjadi lagi seperti KPK sekarang ini.

Selain Suparman dan Taufiqurahman dari KY, sebenarnya masih ada beberapa pakar dan mantan hakim agung yang mengeluarkan pendapat yang senada tentang putusan Hakim Sarpin Rizaldi, misalnya, pernyataan dari mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa.

Harifin menilai, banyak pertimbangan yang ngawur dalam putusan sidang praperadilan oleh Hakim Sarpin itu. Salah satunya mengenai status tersangka yang dijadikan obyek sidang praperadilan itu.

"Dari yang saya amati, banyak pertimbangan yang ngawur.  Pertama, hakim memperluas kewenangan praperadilan dengan memasukkkan penetapan tersangka dengan alasan yang mengada-ada. Putusan ini mengacau karena memberikan penafsiran begitu luas," tegas Harifin Tumpa, Senin, 16 Februari 2015 (sindonews.com).

Ada juga mantan Ketua Mahkamah Agung lainnya, Bagir Manan yang menilai, putusan Hakim Sarpin Rizaldi itu adalah keputusan yang nekad. Menurut dia, putusan tersebut bukan merupakan hasil penafsiran hukum, melainkan menambahkan obyek hukum dalam praperadilan.

"Dari putusan itu, Sarpin tidak langsung mengatakan, obyek praperadilan boleh ditambahkan. Itu kan bukan penafsiran. Jadi, dia nekat benar. ... Dia gunakan dalih penemuan hukum untuk memutuskan itu. Ini agak nekat lagi karena menemukan hukum tidak sama dengan menciptakan hukum," kata Bagir, 23 April 2015 (Kompas.com).

Bandingkan dengan pernyataan lain yang dikemukan oleh mantan Hakim Agung Komariah Emong Sapardjaja yang bunyi pernyataannya jauh lebih keras dan kasar.

"Putusan Sarpin bukan penemuan hukum tapi unprofesional conduct alias bodoh atau kemasukan angin," katanya (detikcom, 20/02/2015).

Jika mau dipersoalkan, seharusnya Komariah lebih pantas dijadikan tersangka ketimbang Ketua KY dan komisioner KY itu. Tetapi kenapa justru dua pimpinan KY itu yang “dipilih” untuk dijadikan tersangka?

Maka tak perlu heran jika lebih banyak orang yang menduga bahwa penetapan dua pimpinan KY sebagai tersangka setelah dilaporkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi itu lebih pada suatu urusan balas budi semata. Karena hakim itu telah berjasa besar kepada Budi Gunawan, hingga bisa lolos dari jerat hukum KPK, maka sudah sepantasnya Budi Gunawan melalui Budi Waseso membalas budi baik Hakim Sarpin Rizaldi itu.

Dengan senjata “tersangka”, mereka bisa membalas dendam dan menyerang kepada siapa saja yang dianggap merugikan mereka dan kawan-kawannya.

Maka, potensi semakin lama semakin rusak sistem hukum di negeri ini pun kian membesar. *****

 

Artikel terkait:

Transkrip Sadapan Dugaan Kriminalisasi KPK (AS dan BW); Mau Percaya Siapa?

Kontradiksi Calon Pimpinan KPK dari Polri dan Kejagung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun