Namanya saja pemberhentian sementara, tetapi dampaknya sama saja dengan pemberhentian permanen. Karena mereka tak mungkin lagi bisa kembali menjabat karena proses hukum terhadap mereka pasti masih panjang, sedangkan masa jabatannya hanya sampai Desember 2015.
Awal Kesalahan Fatal Jokowi
Setelah itu Jokowi “lepas tangan”, menyerahkan semuanya kepada Bareskrim Polri, dengan alasan tidak mau intervensi hukum demi penegakan hukum itu sendiri. Inilah awal dari kesalahan fatal Jokowi yang berdampak pada terjadinya kerusakan sistem penegakan hukum selanjutnya dengan menjadikan KPK terlemah sepanjang sejarahnya. Yang kemudian diikuti dengan ancaman berikutnya bagi lembaga penegak hukum lainnya, yaitu sampai saat ini: Komisi Yudisial.
Seharusnya saat KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, maka segera Jokowi menangguhkan pencalonan dia sebagai calon Kapolri, dengan mempersilakannya untuk menyelesaikan persoalan hukumnya dengan KPK. Biarlah pengadilan nanti yang menentukan apakah Budi Gunawan itu bersalah atau tidak.
Entah, Jokowi itu terlalu awam dalam memahami hukum dan/atau karena dipengaruhi kekuatan politik di belakangnya, yang terjadi kemudian bukan proses penegakan hukum yang baik, tetapi sarat dengan indikasi pemanfaatan hukum demi kepentingan kelompok/pribadi. Hukum digunakan sebagai alat pembenaran dan kamuflase dari kepentingan politik.
Sebagai seorang Kepala Negara yang bijak, Jokowi harus bisa melihat bahwa kasus KPK vs Polri, sama sekali tidak sebatas terpenuhinya syarat-syarat formalnya, tetapi harus bisa melihat lebih dalam daripada semua itu.
Jokowi harus bisa melihat apakah semua yang sedang terjadi itu adalah sesuatu yang normal ataukah tidak, apakah jika semua itu dibiarkan terjadi akan berdampak positif atau malah berbahaya bagi kelangsungan penegakan hukum di Indonesia. Intinya, Jokowi harus bisa melihat apakah proses penegakan hukum sekarang ini adalah suatu penegakan hukum yang murni ataukah hanya merupakan suatu kamuflase/manipulasi hukum demi kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Ingat, kejahatan yang paling mengerikan adalah jika kejahatan itu dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, dan menjadi lebih berbahaya lagi jika hukum pun diperalat untuk melindungi kejahatannya itu, dan sekaligus untuk menghajar siapa saja yang ingin membongkar kejahatan itu. Bertambah parah lagi jika Kepala Negara entah karena terlalu lugu dan/atau karena dipengaruhi kekuatan politik di belakangnya, malah membiarkannya semua itu terjadi dengan alasan klise: tidak mau mengintervensi hukum.
Abdillah Toha, seorang pemerhati politik, di artikelnya yang berjudul Memimpin dalam Krisis, Harian Kompas, Rabu, 25 Februari 2015, antara lain menulis: “(seorang) pemimpin harus bisa membaca dan membedakan antara gejala yang bersifat normal dengan gejala berbahaya yang dapat menjurus ke krisis berkepanjangan dan lebih dalam jika dibiarkan. Keraguan bertindak segera bisa berakibat pada situasi lebih rumit untuk ambil keputusan.”
Sedangkan Aldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, di Harian Kompas, Selasa, 14 Juli 2015, juga menulis: “... Pasca menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, KPK dibiarkan porak poranda. Jokowi tidak hanya gagal memaknai dan memenuhi janji penegakan hukum dalam Nawacita, tetapi juga seperti tidak memiliki imajinasi desain besar pemberantasan korupsi. Jika memang hendak mewujudkan Nawacita, harusnya semua langkah darurat diambil demi menyelamatkan KPK.”
Jokowi Takut?