Bahwa dugaan ada konspirasi di balik kriminalisasi kepada Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, yang saat ini berstatus non-aktif, sudah diduga banyak orang. Saya sendiri pernah menulis dugaan tersebut di Kompasiana di dalam tiga tulisan berseri dengan judul Jika BG Tidak Tersangka, Apakah KPK Juga Tidak “Dihabisi”? bagian pertama, kedua, dan ketiga.
Di dalam artikel itu saya menulis kecurigaan saya tentang peran penting Hasto Kristiyanto yang ketika itu menjabat sebagai pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDIP, politisi PDIP lainnya, oknum perwira di Mabes Polri, dan beberapa pihak lainnya.
Selain tiga artikel itu, saya juga menulis beberapa artikel yang pada intinya meragukan integritas Taufiequrachman Ruki sebagai pelaksana tugas Ketua KPK saat ini. Saya melihat, ia malah berpotensi melemahkan KPK dari dalam. Misalnya, tidak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung atas putusan praperadilan Budi Gunawan. Sebaliknya atas prakarsanya pula sebagai Ketua KPK melimpahkan perkara Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung, yang kemudian oleh Kejaksaan Agung dilimpahkan pula kembali ke Mabes Polri, dan seperti yang sudah diduga akhirnya keluarlah SP-3 untuk kasus tersebut.
Padahal jelas-jelas sebelum ia diangkat sebagai pelaksana tugas Ketua KPK oleh Presiden Jokowi, Ruki sendiri dengan sangat tegas mengatakan di dalam Undang-Undang KPK hanya mengatur tentang pelimpahan perkara dari Kejaksaan ke KPK, bukan sebaliknya.
“Sekarang pengadilan telah memutuskan bahwa Saudara Budi Gunawan dikabukan permohonannya, berarti statusnya sebagai tersangka harus dicabut. Perkara ini mau diapakan? Itu pertanyaannya, perkara ini mau diapakan? Oh, diserahkan saja ke Kejaksaan! Enak sekali! KPK itu kewenangannya adalah mengambil-alih, bukan menyerahkan perkara!” demikian kutipan pernyataannya Ruki di acara Indonesia Lawyer Club, TV One, pada 17 Februari 2015.
Sekarang, apa yang saya tulis di artikel saya mengenai dugaan adanya konspirasi di balik kriminalisasi terhadap Bambang Widjojanto dan Abraham Samad semakin kuat menunjukkan indikasi kebenarannya.
Kesaksian Novel Baswedan
Saat menjadi saksi di sidang uji materi Pasal 23 Undang-Undang KPK tentang pemberhentian sementara pimpinan KPK, yang diajukan Bambang Widjojanto ke Mahkamah Konstitusi, penyidik KPK Novel Baswedan, -- yang juga diduga kuat menjadi korban dari kriminalisasi tersebut --, mengatakan KPK punya bukti rekaman percakapan yang bisa membuktikan adanya intimidasi dan rancangan kriminalisasi terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Oleh karena itu Bambang meminta Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman tersebut di sidang tersebut.
Hakim Konstitusi pun memerintahkan pemimpin KPK agar menyerahkan rekaman dimaksud. Tetapi, Ketua sementara KPK Taufiqurachman Ruki menjawab secara tertulis kepada MK bahwa rekaman yang dimaksud itu sama sekali tidak ada di KPK. Yang sama artinya, dengan Ruki mengatakan kesaksian Novel dan Bambang itu adalah bohong!
Siapa yang berbohong, dan siapa yang lebih layak dipercaya?
Bambang yang saat kejadian masih aktif dan Novel yang mengetahui tentang kegiatan penyadapan yang menghasilkan rekaman-rekaman itu, ataukah Ruki yang baru menjabat setelah Bambang dan Abraham dinonaktifkan oleh Presiden Jokowi?
Majalah Tempo edisi terbaru: "Kriminalisasi KPK" (13-19 Juli 2015) menurunkan laporan utama (investigasi) mengenai rekaman tersebut, menyebutkan berdasarkan penelusuran mereka terhadap transkrip sadapan memperkuat keterangan Bambang dan Novel. Hasto Kristiyanto dan anggota DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan, yang diduga terekam komunikasinya itu, mengakui adanya percakapan tersebut. Demikian juga dengan Komisi Nasional (Komnas) HAM, membenarkan bahwa mereka juga pernah menerima rekaman hasil sadapan.
Meskipun Hasto, Arteria, dan pihak lainnya yang diduga suaranya terekam di sadapan itu mengakui isi percakapan itu menyangkal percakapan mereka itu dimaksud untuk menyusun strategi rekayasa kriminalisasi terhadap Bambang dan Abraham, namun pengakuan mereka itu sendiri membuktikan bahwa rekaman penyadapan itu memang ada. Tidak mungkin Novel dan Bambang bisa tahu tentang adanya komunikasi anraea Hasto cs itu, jika rekaman sadapan itu tak pernah ada.
Dengan pengakuan Hasto dan kawan-kawannya itu tentang adanya komunikasi di antara mereka itu, sudah jelas Novel dan Bambang tidak berbohong saat mengatakan adanya rekaman sadapan komunikasi tersebut.
Jauh sebelum Novel memberi kesaksiannya di MK tentang adanya rekaman sadapan tentang upaya intimidasi dan kriminalisasi kepada KPK itu, di Februari 2015, saat Abraham dan Bambang masih aktif, mereka pernah memperdengarkan sejumlah rekaman teror dan intimidasi terhadap para penyidik dan pimpinan KPK kepada Tim Sembilan yang diketuai oleh Ahmad Syafii Maarif. Sebagaimana diketahui, Tim Sembilan dibentuk untuk mencari solusi dari perseteruan KPK versus Polri saat itu (“cicak vs buaya jilid 3”).
Jika KPK di bawah kepemimpinan Ruki mengakui keberadaan rekaman itu dan bersedia menyerahkannya ke MK untuk diperdengarkan di sidang, tentu akan sangat membantu membuka hal-hal apa sebenarnya yang terjadi di balik kriminalisasi Polri terhadap KPK itu. Sebagaimana pernah terjadi saat rekaman sadapan percakapan Anggodo Widjojo dengan jaksa, pengacara, dan beberapa pihak diperdengarkan di MK, pada Oktober 2009, yang sekaligus membuktikan adanya kriminalisasi dua pimpinan KPK saat itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Kalau itu sampai terungkap di MK, maka semua orang yang terlibat dalam rekayasa dan kriminalisasi terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, juga Novel Baswedan, akan berpeluang besar mengikuti jejak Anggodo Widjojo yang atas perbuatannya itu di pengadilan terbukti bersalah menghalang-halangi proses penegakan hukum pemberantasan korupsi, dengan dihukum sepuluh tahun penjara.
Itu jika penegakan hukum yang merupakan bagian dari Nawa Cita pemerintahan Jokowi itu sungguh-sungguh hendak dilaksanakan secara konsekuen, efektif dan efesien. Jangan ada kesan karena Anggodo hanyalah seorang pengusaha swasta maka ia dengan mudah dijatuhi hukuman, sebaliknya jika perbuatan yang sama diduga dilakukan oleh para politisi, apalagi politisi dari partai politik yang sedang berkuasa, maka hal tersebut dikecualikan, bahkan sudah diproteksi sejak awal.
Logika Penyangkalan KPK
Atas perintah MK kepada KPK agar menyerahkan rekaman sadapan yang dimaksud oleh Novel Baswedan itu, pelaksana tugas Ketua KPK Taufiqurachman Ruki menjawabnya dengan surat resminya sebagai Ketua KPK. Bahwa berdasarkan hasil rapat pada 30 Juni 2015, yang dipimpin oleh Ketua KPK Taufiqurachman Ruki, KPK menyatakan
Pertama, KPK tidak memiliki rekaman sadapan bukti kriminalisasi dan intimidasi (sebagaimana dimaksud Novel Baswedan).
Kedua, pemimpin KPK menyatakan tidak pernah memerintahkan penyadapan yang berkaitan dengan dugaan kriminalisasi dan intimidasi.
Ketiga, jika terdapat rekaman, kriminalisasi, intimidasi, ataupun ancaman, menurut kelima pemimpin sementara KPK, hal itu dilakukan perorangan.
Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Aji menegaskan, rapat telah mengklarifikasi kebenaran rekaman hasil penyadapan. “Sama sekali tidak pernah ada sadapan dan rekaman,” katanya.
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, sekarang, kita mau percaya siapa? Novel dan Bambang dengan rekam jejak kredibilitas mereka yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi, ataukah terhadap Taufiqurachman Ruki dan Indriyanto Seno Aji yang diragukan kredibilitas pemberantasan korupsinya dan hasrat untuk menyelamatkan dan membuat KPK kembali menjadi semakin kuat?
Ruki yang malah melimpahkan perkara Budi Gunawan ke Kejaksaan, yang juga mengusulkan agar di dalam revisi Undang Undang KPK, KPK diberi kewenangan menghentikan perkara dengan menerbitkan semacam SP3 di Kepolisian.
Ruki yang membawa para pimpinan KPK lainnya ternyata diam-diam telah melimpahkan perkara kasus Hambalang kepada Kejaksaan Agung, sehingga menimbulkan rasa curiga bahwa itu pun demi menyelamatkan politisi PDIP Olly Dondokambey, yang sebelumnya sudah ditetapkan KPK di masa Abraham Samad masih aktif, sebagai salah satu tersangka dalam kasus tersebut (Jawa Pos.com).
Indriyanto yang sebelum menjadi salah satu pemimpin KPK, selalu membela Budi Gunawan dan Hakim Sarpin Rizaldi. Rekam jejaknya juga menunjukkan ia adalah sosok anti-KPK, karena beberapakali pernah mewakili koruptor untuk mempreteli kewenangan KPK, termasuk tentang penyadapan, melalui uji materi Undang-Undang KPK di Mahkamah Konstitusi. Misalnya, saat ia mewakili Paulus Efendi beserta 31 hakim agung lainnya dalam uji materi Undang-Undang KPK melawan Komisi Yudisial pada 2006 lalu.
Indriyanto juga pernah menjadi pengacara mantan Presiden Soeharto, dan pengacara mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh dalam kasus korupsi pengadaan helikopter M1-2 merek PLC Rostov Rusia. Atas rekam jejaknya itu, April 2011, Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) pernah menyampaikan keberatan penujukkan Indriyanto sebagai anggota tim penyusun Draft UU Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan tiga pemimpin KPK lainnya, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, dan Johan Budi, tampaknya sudah mati kutu di bawah pengaruh Ruki dan Indriyanto, memilih yang aman saja bagi mereka (baca artikel: Menantang Adnan, Zulkarnain, dan Johan Budi)/
Rekaman Penyadapan dan Dugaan Rancangan Kriminalisasi
Kalau memang betul rekaman sadapan itu tidak pernah ada tentu saja Novel Baswedan dan Bambang Widjojanto tidak pernah tahu adanya komunikasi yang jelas-jelas diakui juga oleh Hasto dan kawan-kawannya, meskipun dengan catatan mereka bahwa percakapan itu bukan dimaksud mengkriminalisasi Bambang dan Abraham sebagai pemimpin KPK terkait ditersangkakannya Budi Gunawan.
Pada saat rekaman sadapan itu dilakukan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto masih aktif di KPK, bisa jadi merekalah yang memerintahkan penyadapan itu. Sedangkan Novel Baswedan sebagai penyidik utama KPK tentu juga mengetahui hal itu, bukan tak mungkin juga bahwa dialah yang memimpin penyadapan tersebut. Maka itu mereka tahu rekaman itu memang ada dan disimpan di KPK.
Jadi, bagaimana mungkin Ruki dan Indriyanto bisa mengatakan bahwa pimpinan KPK tidak pernah memerintahkan penyadapan dimaksud, sedangkan saat itu mereka belum menjadi pimpinan KPK?!
Menjawab klarifikasi Tempo, Komisaris Besar Karyoto mengakui adanya percakapan antara dia dengan Hasto Kristiyanto sebagaimana tercantum di transkripnya, yang diapersoalkan adalah kewenangan KPK melakukan penyadapan tersebut. “Itu sudah melanggar aturan. KPK sewenang-wenang menyadap. Apa ada kasus korupsi yang disadap?” Ia juga menyatakan tidak ada kriminalisasi terhadap Abraham dan Bambang.
Kemungkinan inilah sebabnya yang membuat Hasto begitu bersemangat melakukan serangan balik terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Diduga Hasto juga punya peran penting yang melaksanakan perintah atasannya untuk menempatkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, yang kemudian langsung bermasalah saat Abraham Samad dan Bambang Widjojanto atas nama KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi. Segera setelah itu, penyadapan memperdengarkan percakapan orang mirip Hasto dengan beberapa orang lainnya yang mengarah kepada rancangan-rancangan penyusunan strategi untuk mengkriminalkan Bambang dan Abraham.
Begitu Abraham dan Bambang mengumumkan sendiri penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka pada 13 Januari 2015, para penyidik KPK yang kebetulan sedang menyadap Hasto demi kepentingan dugaan jual beli jabatan sebagaimana dimaksudkan di atas itu, segera mendengar terjadinya komunikasi intensif antara Hasto dengan sesama politisi PDIP, Arteria Dahlan.
Dalam pilkada 2010 Kotawaringin, KPU setempat menyatakan kemenangan calon bupati dari PDIP, Sugianto Sabran. Calon bupati dari Partai Demokrat Ujang Iskandar menggugat KPU ke MK, meminta MK membatalkan kemenangan Sugianto Sabran tersebut. Gugatan itu dikabulkan oleh MK.
Dalam kasus sengketa pilkada Kotawaringin itu, posisi Arteria Dahlan dengan Bambang Widjanato saling berhadapan. Arteria menjadi pengacara dari KPU, sedangkan Bambang menjadi pengacara dari Ujang.
Saat setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, kasus inilah yang kemudian diungkit kembali, dengan menuduh Bambang telah memerintahkan para saksinya yang menguntungkan kliennya untuk memberi kesaksian palsu di sidang MK itu. Bambang pun dinyatakan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.
Dalam transkrip penyadapan tersebut diketahui sesaat setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, Arteria menghubungi Hasto. “Kotawaringin semua sudah bergerak,” pesannya, yang dibalas Hasto dengan memberi alamat surelnya. “Segera, agar bisa dilempar cepat.”
Dalam transkrip lain antara suara yang mirip dengan Hasto dengan suara seorang dekat Budi Gunawan, suara itu melaporkan kepada Hasto bahwa Bambang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Budi enggan menjawab saat dimintai konfirmasi Tempo di sela rapat dengan DPR, Senin (06/07/2015). Pengacaranya, Fredrich Yunadi, menampik adanya percakapan tersebut, malah mengancam. "Jika ada pihak yang masih berani menyadap Pak BG, itu jelas perbuatan tindak pidana," katanya.
Hasto menyangkal pernah berkomunikasi dengan orang dekat Wakil Kepala Polri itu.
“Rumah Kaca Abraham Samad” di Kompasiana
Artikel di Kompasiana yang sempat menghebohkan di tengah-tengah perseteruan seru antara KPK versus Polri: Rumah Kaca Abraham Samad, oleh Sawito Katowibowo, rupanya diduga juga disebut-sebut di transkrip rekaman penyadapan percakapan seseorang yang diduga Hasto Kristiyanto denganseseorang yang diduga Presiden Direktur PT Maknapedia Pusaran Utama Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto. Keduanya membicarakan rencana membuat tulisan yang akan ditayangkan di Kompasiana untuk menyerang Abraham Samad.
Ketika Tempo mengkonfirmasi kepada kedua orang itu, Anton membantahnya mentah-mentah. “Saya enggak tahu soal itu. Saya enggak ngerti apa apa yang kamu bicarakan!” Sedangkan Hasto mengatakan, “Saya akan jawab setelah KPK mengumumkan secara resmi bahwa mereka menyadap saya.”
Sesuatu yang Hasto pasti tahu mustahil dilakukan KPK di bawah kepemimpinan Taufiqurachman Ruki ini, karena bukankah mereka sudah menyangkal tentang keberadaan rekaman penyadapan tersebut. ***
Sumber utama data: Majalah Tempo edisi 13-19 Juli 2015.
Artikel terkait:
Kontradiksi Calon Pimpinan KPK dari Polri dan Kejagung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H