Memperingati HUT ke-50 Koran Kompas, yang jatuh pada Minggu, 28 Juni 2015 ini, saya ingin berbagi pengalaman masa kecil saya dengan koran ini.
Sejak kecil (Sekolah Dasar) saya sudah suka membaca dan mendengar berita. Namun, ketika itu, di tahun 1970-an -1982, saya tinggal di Fakfak, sebuah kota kabupaten kecil di Irian Jaya (sekarang Papua Barat). Di masa itu di Fakfak sangat miskin informasi. Buku dan koran adalah barang langka. Televisi belum ada. Informasi paling aktual yang bisa diperoleh hanya dari siaran radio-radio luar negeri. Saya paling senang mendengar berita-berita dari Radio Australia, VOA, Radio Nederland, dan BBC, yang berbahasa Indonesia.
Seingat saya, di masa itu, hobi membaca saya benar-benar mulai tersalurkan dari tumpukan koran bekas di gudang toko kami. Koran-koran bekas itu digunakan sebagai pembungkus barang-barang yang dijual di toko kami itu.
Di antara tumpukan koran itu yang terbanyak adalah koran Kompas. Rasanya nama Kompas juga saya pertama kali kenal dari gudang itu. Dari tumpukan koran-koran Kompas bekas itu saya mencari-cari artikel-artikel yang menarik untuk dibaca. Terutama rubrik khusus anak-anaknya, ada cerita pendek, puisi, dan cerita bergambarnya (cergam).
Seiingat saya, cergam-cergam anak-anak yang ada di koran Kompas waktu itu adalah “Bobo” dan “Donal Bebek”, sebelum kemudian masing-masing menjadi majalah anak-anak tersendiri. Selain itu saya juga suka membaca cergam action bersambung: “Garth”, meskipun secara sepotong-potong tidak berurutan (namanya saja dari koran-koran) bekas. Sudah lama cergam Garth sudah ditiadakan dari koran Kompas.
Oom Pasikom karya G.M. Sudarta juga merupakan karikatur kegemaran saja sejak kecil. Dari sejarah berdirinya koran Kompas, kemudian saya ketahui Oom Pasikom sudah ada di Kompas sejak koran ini baru berusia dua tahun (1967).
Oom Pasikom adalah tokoh karikatur yang paling legendaris dan fenomenal dengan ciri khasnya yang kebelanda-belandaan, yang tak bisa lagi dipisahkan dari Kompas. Ia sudah menjadi “merek dagang” dari Kompas. Saking fenomenalnya Oom Pasikom, ia sampai difilmkan pada 1990 dengan aktor Didi Petet (alm.) sebagai Oom Pasikom, bersama dengan bintang-bintang film papan atas lainnya ketika itu, antara lian, Lenny Marlina, Niniek L Karim, Desy Ratnasari, dan Rachmat Hidayat (meninggal 14 Juni 2015).
Dari alamat Tata Usaha-nya yang tercantum di koran itu, saya kemudian berlangganan koran Kompas. Caranya dengan mengirim uang langganan via Wesel Pos Dalam Negeri. Sekali langganan sekaligus beberapa bulan ke depan. Koran Kompas dikirim langsung dari Jakarta via Kantor Pos dengan trasportasi udara.
Selain koran Kompas, ketika itu saya juga berlangganan majalah Bobo dan Album Walt Disney, dan majalah Remaja Hai , yang semuanya merupakan “spin-off” dari koran Kompas.
Dari media-media ini pula, meskipun ketika itu belum pernah keluar dari Fakfak, apalagi ke Jakarta, nama jalan alamat kantor Redaksi dan Tata Usaha Kompas dan majalah Bobo, Album Walt Disney di Jakarta sudah sangat akrab bagi saya, yaitu Jalan Palmerah Selatan dan Jalan Gajah Mada.
Setelah tamat SMP di Fakfak, saya pindah ke Sorong kemudian ke Ujung Pandang (Makassar). Di Makassar, saya melanjutkan langganan koran Kompas. Di kota inilah untuk pertama kali saya merasakan koran Kompas yang datang sesuai dengan hari terbitnya, meskipun datangnya siang hari.
Dari Ujung Pandang saya melanjutkan kuliah di Bandung, setelah itu ke Surabaya, sampai sekarang. Dari masa-masa itu, sampai sekarang pula saya masih tetap berlangganan Kompas.
Di Surabaya, dengan mengandalkan teknologi cetak jarak jauh yang baru diizinkan setelah era Orde Baru tumbang, Kompas pernah berjuang bersaing dengan koran Jawa Pos. Dengan berbagai triknya Kompas berusaha menyaingi Jawa Pos di kandangnya. Misalnya, dengan menerbitkan koran Kompas edisi Jawa Timur. Namun, semua upaya itu tidak berhasil. Jawa Pos tetap dominan di Surabaya dan Jawa Timur, dengan gaya pemberitaannya yang khas masyarakat Jawa Timur.
Pengalaman yang sama dialami Jawa Pos ketika berambisi memasuki Jakarta dengan Harian Indo Pos-nya, bersaing dengan Kompas, mengalami kegagalan yang lebih parah daripada Kompas di Surabaya.
Akhirnya Kompas memutuskan kembali ke “fitrahnya”, dengan ciri khasnya sebagai koran berskala nasional. Untuk Surabaya dan Jawa Timur hanya ada lembaran “Klasika Jawa Timur”, yang berisi iklan-iklan usaha di Jawa Timur.
Keputusannya ini merupakan keputusan yang tepat, karena dengan demikian eksistensi Kompas justru lebih baik di Surabaya, meskipun tetap tidak bisa mengalahkan Jawa Pos di kandangnya.
Di rumah, saya berlangganan dua koran sekaligus, yaitu Kompas dan Jawa Pos. Hal yang tidak bisa disangkal, untuk bisa mengetahui perkembangan kota Surabaya dan sekitarnya secara komprehensif melalui media cetak, tidak ada media yang selengkap Harian Jawa Pos. Inilah salah satu faktor utama, Kompas dengan predikat nasionalnya sulit mengalahkan Jawa Pos di Surabaya dan Jawa Timur.
Keuntungan dari berlangganan Harian Kompas adalah sudah termasuk langganan gratis Harian Kompas edisi internetnya, yaitu Kompas E-paper dan Kompas-print.com, sehingga dari mana saja dan kapan saja kita bisa membaca Kompas dengan menggunakan berbagai gawai (gadget). Tidak demikian dengan Harian Jawa Pos, yang bagi saya lebih “mata duitan”, karena meskipun kita sudah berlangganan korannya, untuk mengakses edisi internetnya, kita harus bayar lagi uang langganannya. *****
Sumber gambar 1: Harian Kompas.
Gambar 2: Bobo dan cerpen anak-anak di Kompas 1970-an (twicsy.com)
Gambar 3: Cergam Garth (bookscomics.blogspot.com)
Gambar 4: Oom Pasikom (Harian Kompas)
Gambar 5: Wesel Pos Dalam Negeri zaman dahulu yang digunakan untuk mentransfer uang langganan koran Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H