Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Karena Ahok Masih “Gila”

9 April 2015   10:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 2965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_359892" align="aligncenter" width="542" caption="(Sumber: Twitter)"][/caption]

Panitia Angket DPRD DKI Jakarta telah mengumumkan hasil pemeriksaan mereka terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Hasilnya mereka menetapkan bahwa Ahok bersalah melanggar dua hal sekaligus, yaitu, pertama, telah melakukan pelanggaran Undang-Undang, terutama mengenai proses penyampaian RAPBD 2015 DKI Jakarta, dan yang kedua, telah melakukan pelanggaran etika sebagai pejabat tinggi negara.

Tentang yang pertama, Ahok dipersalahkan karena telah menyampaikan RAPBD 2015 DKI Jakarta yang bukan merupakan hasil pembahasan antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI Jakarta kepada Kemendagri. Untuk itu DPRD DKI menyebutkan Ahok telah menyerahkan dokumen palsu kepada Kemendagri. Sedangkan yang kedua adalah karena Ahok kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan kasar, terutama sekali yang terbaru adalah “bahasa toilet” Ahok saat diwawancarai Kompas TV beberapa waktu lalu.

Ketua Tim Hak Angket, Muhammad Sangaji alias Ongen telah menyerahkan dokumen hasil pemeriksaan mereka mengenai yang mereka sebut bukti pelanggaran yang telah dilakukan oleh Ahok itu kepada Ketua DPRD DKI Jakarta, untuk selanjutkan akan diadakan rapat paripurna untuk membahasnya; apakah akan dilanjutkan dengan hak menyatakan pendapat (HMP) ataukah tidak (berhenti sampai di paripurna saja). Dari hasil HMP itulah DPRD DKI ingin mencapai cita-citanya untuk memakzulkan Ahok dari kursi DKI-1.

Lazimnya pejabat yang terancam kedudukannya ini akan keder, gentar menghadapi ancaman pemakzulan seperti ini.

Tetapi, anehnya, yang tampak menjadi keder bukan Ahok, malah sebaliknya mereka anggota DPRD DKI Jakarta yang sangat antusias untuk memakzulkan Ahok itu. Setelah sampai ke tahapan hasil hak angket yang memutuskan Ahok bersalah itu, DPRD DKI malah terlihat menjadi gamang atas keputusan mereka sendiri itu. Sebaliknya, dasar Ahok yang “gila” ia malah terus memanas-manasi DPRD DKI untuk meneruskan proses hak angket itu ke tahapan berikutnya, ke tahapan HMP, seterusnya sampai ke Mahkamah Agung (MA).

"Makanya, saya menantang DPRD, (kalau mau ajukan) HMP, ya HMP. Jangan pengecut gitu lho," ucap Ahok di Balai Kota, Rabu (8/4/2015).

Kegamangan DPRD DKI itu terjadi karena meskipun telah menyatakan Ahok bersalah, sejatinya mereka tidak bakal bisa membuktikan secara hukum bahwa Ahok memang bersalah. Mereka hanya bisa secara solidaritas politik demi kepentingan bersama menjatuhkan vonis Ahok bersalah. Tentu saja ini  jika kasus ini sampai ke MA, tak cukup bukti untuk meyakini MA secara hukum menyatakan Ahok bersalah dan harus dimakzulkan.

Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Selamat Nurdin, misalnya, malah menyayangkan sikap Ahok yang malah menantang DPRD DKI untuk meneruskan proses upaya pemakzulan dirinya itu.. Ia menganggap Ahok hanya menyindir saja.

"Childish, ya, sayang. Kalau sudah kapasitas Gubernur, seharusnya enggak mengarah seperti itu," kata Selamat, Rabu (8/4/2015).

"Sudahilah hal-hal yang sifatnya kontroversi. Belajar sama-sama menghargai mekanisme organisasi dan kelembagaan. Cari solusi yang baik untuk Jakarta ... ", katanya lagi.

"HMP dan hak angket enggak seram kok. Jadi kita pengin santai saja. Jangan dijadikan aspek yang mencekamlah," ujar Selamat. Padahal tampaknya dia dan kawan-kawannya di DPRD DKI-lah yang  kini merasa seram dan tercekam dari konsekuensi hasil angket yang mereka buat sendiri itu. Upaya pemakzulan Ahok lewat mekanisme hak angket itu kini tampaknya mulai menjadi bumerang bagi mereka.

Sedangkan sang ketua tim angket, Muhammad Sangaji alias Ongen sepertinya malah kendur dengan semangat memakzulkan Ahok itu, dia malah mengharapkan Ahok meminta maaf kepada DPRD DKI, sehingga masalah tersebut bisa selesai sampai di situ saja. Kalau Ahok mau minta maaf kepada DPRD DKI, maka ia tetap akan dijatuhi sanksi karena sudah bersalah, tetapi sanksinya bisa berupa teguran keras saja. “Mudah-mudahan Ahok mau minta maaf (kepada DPRD DKI)”, katanya.

"Kalau orang salah, pasti ada sanksinya. Mungkin teguran keras, minta maaf, kan kita negara santun. Kesantunan harus kita jaga. Mudah-mudahan Pak Gubernur mau minta maaf, jadi bisa clear permasalahan," kata Ongen.

Sedangkan seperti yang pernah Ahok ucapkan, menurutnya makna dari santun yang paling hakiki adalah tidak pernah melakukan korupsi, termasuk korupsi anggaran. Apakah anggota DPRD DKI yang hendak memakzulkan dirinya itu tidak termasuk di dalam gerombolan mafia anggaran di DKI Jakarta?

Tetapi, bukan Ahok namanya kalau sampai bersedia kompromi apalagi meminta maaf kepada DPRD DKI (dengan imbalan permasahalannya dengan DPRD DKI akan selesai sampai di situ saja, sama-sama aman, win-win solution). Salah saja dia tak merasa, kok ia disuruh minta maaf.

Kalau Ahok sudah “waras” mungkin sekali ia akan menuruti kehendak DPRD DKI itu, tetapi berhubung karena Ahok masih “gila”, maka ia malah menantang DPRD DKI agar segera meneruskan upaya pemakzulan dirinya itu.Maksudnya agar semua menjadi jelas, tidak lalu menggantung masalahnya, kemudian hilang lenyap dilupakan orang, seperti banyak kasus-kasus serupa lainnya.

"Makanya, saya sarankan DPRD, anda kalau malu enggak usah suruh saya minta maaf. Teruskan saja hak menyatakan pendapat!" katanya, di Balai Kota, Rabu (8/4/2015).

Menurut Ahok, seharusnya, anggota DPRD yang memangkas anggaran program unggulan DKI dan menyelipkan pokok pikiran (pokir) hingga Rp 12,1 triliun dan Rp 40 triliun dari tahun 2012 meminta maaf kepada warga DKI Jakarta.

Ahok mengatakan, karena DPRD DKI sudah menyatakan dia bersalah, maka mereka wajib membuktikan tuduhan mereka itu melalui mekanisme HMP tersebut, tidak malah menggantung sampai di kesimpulan hak angket tersebut. Sedangkan ia sendiri sudah membuktikan bahwa memang ada yang namanya anggaran siluman senilai Rp. 12,1 triliun itu, termasuk telah terjadi praktek korupsi anggaran di tahun sebelumnya, khususnya 2012-2014, yang diduga kuat melibatkan anggota DPRD DKI, pejabat pengguna anggaran di Pemprov DKI, dan pihak swasta pemilik perusahaan abal-abal yang memang khusus didirikan hanya untuk dipakai namanya untuk memuluskan proyek-proyek siluman dengan meng-mark-up harga dan nilai proyeknya secara gila-gilaan itu.

Sesungguhnya yang dipermasalahkan DPRD DKI itu bukan tentang Ahok yang menyalahi aturan menyampaikan RAPBD 2015 DKI yang bukan hasil pembahasan itu, tetapi intinya adalah karena Ahok telah mencoret anggaran siluman yang disisipkan di RAPBD itu sebelum diserahkan ke Kemendagri. Seandainya anggaran siluman itu tidak dicoret Ahok, pasti mereka tidak mempermasalahkannya. Mereka marah kepada Ahok karena “sumber pendapatannya” yang selama ini lancar-lancar saja dari tahun ke tahun, begitu saja dicoret Ahok.

Bagaimana bisa Ahok dituduh telah melakukan pemalsuan dokumen, kalau toh penyerahan dokumen RAPBD DKI tersebut akhirnya sudah dapat dipastikan akan disetujui Kemendagri?

Direktur Jenderal (Dirjen) Kemendagri, Reydonnyzar Moenek telah menyatakan kepastian itu. Kata dia,  dalam waktu dekat akan merampungkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, tentang Pengesahan Rancangan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta tentang APBD 2015.

"Dalam waktu satu dua hari. Maksimal tanggal 10 bisa SK Mendagri sudah diteken," ujar Reydonnyzer kepada wartawan di Jakarta, Rabu (9/4).

Kejanggalan lain dalam kasus ini juga adalah DPRD DKI yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasannya terhadap penggunaan anggaran oleh Pemprov DKI Jakarta, malah tidak menjalankan fungsinya itu. Yang menemukan kasus korupsi anggaran itu seharusnya DPRD DKI, tetapi yang terjadi malah Ahok-lah sebagai pihak eksekutiflah yang membongkarnya.

Selama ini adakah pernah kita dengar DPRD DKI begitu perduli secara nyata mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, yang seharusnya merupakan bagian dari tugas dan wewenang mereka sebagai lembaga legistlatif pengawas eksekutif?

Ketidaktulusan DPRD DKI dalam menyukseskan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi itu juga terlihat dari resistensi mereka terhadap sistem e-budgeting yang mulai diterapkan Ahok pada 2015 ini. Padahal sistem e-budgeting ini menutup peluang-peluang korupsi anggaran.

Sedangkan mengenai “bahasa toilet” yang pernah diucapkan saat diwawancarai Kompas TV itu, Ahok mengaku ia sudah meminta maaf kepada masyarakat, dan memang demikian adanya, kita sendiri sudah mendengar permintaan maaf Ahok tersebut. Selain meminta maaf kepada masyarakat, ia juga sudah meminta maaf kepada Kompas TV, karena akibat dari “bahasa toilet”-nya itu, Kompas TV telah mendapat teguran dari KPI. KPI yang dalam kasus Ahok ini, seolah menjadi pahlawan pelajaran etika di media TV, padahal selama ini sampai sekarang mereka membiarkan terus generasi muda kita diracuni moral dan etikanya melalui sinetron-sinetron sampahnya.

Panitia hak angket DPRD DKI menyatakan Ahok bersalah dengan “bahasa toilet” dan sejenisnya itu, tetapi mereka sendiri tidak mempermasalah umpatan-umpatan yang sama yang pernah mereka lontarkan saat rapat mediasi di Kemendagri beberapa waktu lalu. Kalau Ahok menggunakan “bahasa toilet” untuk mengumpat para pelaku korupsi anggaran yang sok santun dan suci, maka anggota-anggota DPRD DKI itu mengumpat dengan “bahasa kebun binatang” dan rasis terhadap Ahok, karena ia membongkar adanya anggaran siluman itu.

Betapa anehnya, Prabowo Soenirman  yang jelas-jelas sudah mengaku memaki Ahok dengan umpatan “gubernur goblok”, malah termasuk di dalam anggota tim angket yang mempermasalahkan etika Ahok dalam bertutur kata itu.

Jika para anggota DPRD DKI itu berada dalam tekanan yang sama dengan Ahok bisa jadi umpatan-umpatan “kebun binatang” dan kebencian rasis mereka akan lebih diumbar mereka itu jauh lebih kasar daripada yang mereka ucapkan di rapat mediasi itu.

"Yang harus minta maaf ke warga DKI itu mereka yang beli USB fungsinya UPS. Ya, aku menolak untuk minta maaflah, mereka juga harus minta maaf, dong sudah ngajuin pokir Rp 12,1 triliun. Sudah benar tuh sekarang polisi periksa (anggota) DPRD, tangkapin saja mereka, baru deh harusnya mereka yang minta maaf," nyata Ahok dengan gaya ceplas-ceplos khasnya itu.

"Enggak ada hak menyatakan minta maaf. Berarti kalau anda tidak menggulirkan HMP, ya Anda malu hanya berhenti di angket," tantang Ahok.

Dia bilang, sebetulnya dia bukan mau menantang DPRD DKI, tetapi hendak memberi pelajaran kepada mereka tentang pemahaman terhadap konstitusi.

"Makanya, saya pikir DPRD belajar dari mana enggak mengerti undang-undang. Saya menantang, bukan menantang-lah, tetapi mengajari supaya mereka mengerti konstitusi kalau sudah sampai paripurna angket, ya harus HMP. Enggak berani kayaknya mereka takut, ayo dong saya panas-panasin supaya tambah jelas," kata Ahok yang tampaknya semakin “gila” itu.

Hak angket DPRD DKI itu sejatinya adalah hak yang bisa mereka gunakan dalam mengontrol penggunaan anggaran oleh Pemprov DKI Jakarta, demi kepentingan warganya. Kepentingan warga DKI Jakarta itu di antaranya adalah agar penggunaan anggaran daerahnya harus benar-benar sepenuhnya digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan warga DKI Jakarta, bukan demi kepentingan wakilnya di DPRD DKI.

Faktanya, dari apa yang dilakukan oleh DPRD DKI Jakarta dengan hak angketnya itu, sangat kelihatan sama sekali bukan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan anggota Dewan. Hak angket digunakan sebagai alat untuk menyingkirkan lawan politiknya, dalam hal ini Ahok, Gubernur DKI Jakarta yang telah menggagalkan mereka meneruskan tradisinya selama ini dalam menggunakan anggaran siluman, yang tahun 2015 ini besarnya mencapai Rp 12,1 triliun itu.

Ahok harus disingkirkan lewat mekanisme rekayasa pemakzulan,  karena ia adalah Gubernur DKI yang untuk pertamakalinya menghentikan kebiasaan DPRD DKI bersama dengan pejabat-pejabat tertentu di Pemprov DKI Jakarta dalam memainkan anggaran, yang disebutkan Ahok dengan nama “anggaran siluman” itu. Padahal, kebiasaan ini sudah berlangsung lama sekali, sehingga seolah-olah sudah bukan bagian dari korupsi lagi. Selama ini, sebelum Ahok dan Jokowi, gubernurnya diduga pura-pura tidak tahu adanya permainan anggaran itu, supaya kedudukannya juga bisa aman-aman saja tidak diusik DPRD.

Kini, Ahok datang sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan sangat perduli dengan permainan kotor tersebut, dan bertekad baja untuk menghentikannya, apa pun taruhannya, meskipun untuk itu ia harus kehilangan jabatannya.

Dari proses pengggunaan hak angket itu saja sudah terasa janggal. Selama sebulan proses itu berlangsung, Ahok yang menjadi obyek pemeriksaan, malah sama sekali tidak dipanggil untuk diminta keterangannya secara langsung. Penyebabnya, kemungkinan besar apa yang dikatakan Ahok itu benar adanya, yaitu, tim angket itu takut kalau mereka langsung memeriksa Ahok, ia malah akan semakin membongkar modus dan praktek penggunaan anggaran siluman itu secara lebih mendetail.

Ahok bilang, "Anda (DPRD DKI)  sudah menyatakan saya melanggar undang-undang walaupun secara pribadi menurut saya itu tidak adil. Saya enggak punya hak angket kan, kalau (dokumen RAPBD) saya palsu, kenapa enggak panggil saya, katanya mau hak interpelasi, eh enggak mau, enggak jadi, malah langsung angket. Angket juga saya sudah minta dipanggil biar saya jelaskan, biar saya kasih muka kalian malu, enggak (dipanggil) juga".

Tanpa meminta keterangan Ahok secara langsung, tim angket begitu saja berkesimpulan Ahok telah melakukan dua pelanggaran: pelanggaran terhadap Undang-Undang dan pelanggaran terhadap etika itu.

Sebenarnya, sejak semula DPRD DKI itu hendak mengajak Ahok berkompromi, dengan cara membiarkan atau pura-pura tidak tahu tentang adanya anggaran siluman Rp. 12,1 triliun itu. Kalau kompromi itu disepakati, maka DPRD juga tidak akan mengganggu Ahok, tidak akan ada hak angket bagi Ahok, syaratnya pokok pikiran (pokir) DPRD DKI bernilai Rp. 12,1 triliun itu harus diloloskan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

Ahok itu memang “gila”, tetapi bukan gila jabatan, oleh karena itu ia menolak mentah-mentah kompromi tersebut. Katanya, satu sen pun anggaran tak sudi ia relakan untuk dimasukkan di dalam anggaran siluman itu.

Anggota DPD RI dari DKI Jakarta AM Fatwa pun bilang, Ahok tidak peduli mau dimakzulkan. Tidak apa-apa. Asal prinsip pembaruan yang mencegah penyimpangan-penyimpangan, yang sebenarnya budaya penyimpangan seperti ini itu terjadi hampir di seluruh Indonesia. Hanya, biasa terjadi kompromi. Dalam hal ini, Ahok tidak mau kompromi".

Dia mengaku sebagai orang yang mendukung Ahok. Untuk melakukan perubahan seperti yang dilakukan Ahok, lanjutnya, perlu keberanian.

"Ya, memang kadang diperlukan orang dalam tanda petik agak gila sedikit," ujar dia. Dia juga berharap Presiden Jokowi memberlakukan sistem e-budgeting tidak hanya di DKI, tetapi juga secara nasional sehingga praktik penyimpangan anggaran dapat dihilangkan.

Selama Ahok masih Gubernur DKI Jakarta, dan masih  “gila”,  jangan harap ia akan mau berkompromi dengan segala macam modus penyalahgunaan anggaran dari APBD DKI Jakarta.

Sebaliknya, mereka yang gila jabatan dan harta, sudah pasti tidak bisa menerima begitu saja “kegilaan” Ahok itu merampas “rezeki” mereka selama ini. Berbagai upaya dengan segala cara Ahok pasti akan terus diganggu, diserang, untuk bagaimana bisa menyingkirkannya dari Balaikota DKI Jakarta.

Yang namanya korupsi tidak mungkin hanya melibatkan satu pihak. Dalam hal ini korupsi anggaran melibatkan pihak anggota DPRD DKI, pihak pejabat pengguna anggaran di Pemprov DKI, dan pihak swasta yg perusahaan abal-abalnya digunakan untuk mewujudkan praktek korupsi anggaran itu. Modusnya menciptakan proyek yang sebetulnya tidak dibutuhkan dan meng-mark-up-kan harganya atau nilai proyeknya secara gila-gilaan, dan dari proyek yang memang ada/sah, tetapi dalam pelaksanaannya pembelian barang dan bahan-bahannya jauh di bawah standar spesifikasi yang sudah ditetapkan sehingga harganya pasti jauh lebih murah, tetapi penggunaan anggarannya tetap dilaporkan sesuai dengan anggaran aslinya. Selisihnya itu yang pasti sangat banyak itulah yang dikorupsi.



Ahok sudah  beberapa kali menyatakan seperti itu. Investigasi majalah Tempo juga membuktikan hal tersebut memang sangat nyata. Tugas polisi/KPK -lah yang akan menyelidiki siapa saja mereka itu. ***

Sumber informasi: Kompas.com dan Indopos.com

Artikel terkait:

Nasihat Cinderella kepada DPRD DKI Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun