"Tidak ada seorang pun tahu siapa dia," kata Giustino Bonci, wartawan televisi lokal. "Dia mengenakan kemeja biru dan celana biru. Dia tampak seperti turis Inggris pada umumnya."
Keluarga Cameron tinggal di sebuah villa abad ke-18 yang terletak beberapa mil dari Montevarchi bersama keluarga pemilik vila itu. Para pejabat Downing Street mengatakan, ia tidak punya agenda yang berkaitan dengan publik selama dua minggu liburannya. Biaya vila sebesar 9.700 poundsterling seminggu dan para ajudan mengatakan, Cameron membayar tagihan untuk keluarganya, 5.800 pounds, dari kantongnya sendiri (Kompas.com).
Dengan kata lain, biaya liburan mereka yang ditanggung negara hanyalah biaya untuk David Cameron dan istrinya saja. Sedangkan selebihnya untuk anak-anaknya, dia membayar dari kocek pribadinya sendiri.
Bagaimana dengan perilaku pejabat tinggi negara kita sendiri? Termasuk orang nomor satu saat ini di Republik ini?
*
Anda pernah melihat istri pejabat Indonesia kalau lagi jalan-jalan sambil belanja di mall, atau bepergian di mana saja? Pemandangan yang lazim terlihat adalah, menggunakan mobil mewah lengkap dengan sopirnya. Ajudan merangkap bodyguard selalu setia di sampingnya. Juga merangkap sebagai pelayan, yang menenteng barang-barang belanjaan sang “Nyonya Besar.”
Sedangkan untuk pejabatnya sendiri, mulai level bupati sampai menteri, biasanya ke mana-mana selain dengan sopir dan ajudan, juga jalan raya untuk sesaat seolah-olah menjadi milik mereka ketika melintas di sana. Rakyat biasa harus mengalah di tengah-tengah kemacetan jalan demi sang pejabat lewat dengan voorijder-nya dengan sirene meraung-raung.
Di tempat-tempat publik pun para pejabat dan istrinya itu biasanya selalu minta dilayani dan diistimewakan. Bilamana perlu melangkahi hak orang lain, misalnya ketika harus mengantri.
Memang tidak semua pejabat dan istrinya seperti itu. Profil pejabat tinggi negara semacam Dahlan Iskan adalah suatu pengecualian.
Tetapi secara umum itulah gambaran karakteristik pejabat tinggi negara kita yang masih kuat dengan budaya feodalismenya. Selalu minta diistimewakan dan dilayani.
Seperti raja-raja kecil adalah merupakan fenomena yang biasa terjadi di daerah-daerah pada pejabat setingkat bupati atau walikota. Rakyat yang dianggap berani melawan, atau menghalangi, siap-siap menerima akibatnya diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi.
Misalnya, wartawan yang dianiaya, karena meliput berita yang dianggap tidak menguntungkan sang kepala daerah tertentu. Kameranya dirampas dan dirusak oleh pengawal si bupati. Tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun. Seolah-olah mereka memang berhak melakukan hal itu.
Rakyat yang dianggap menghalangi “sang raja” ketika sedang melintas di jalan raya, juga harus siap menerima akibatnya. Minimal dibentak oleh petugas yang mengiringi “raja”-nya, atau mobilnya digebrak karena dianggap kurang minggir.