Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika BG Tidak Tersangka, Apakah KPK Juga Tidak "Dihabisi"? (Bagian Pertama)

11 Februari 2015   06:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14235850381754151395

 

[caption id="attachment_350449" align="aligncenter" width="648" caption="Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kritiyanto ketika mengadakan konferensi pers pada 22 Januari 2015 dengan menyatakan Ketua KPK Abraham Samad telah melakukan beberapa kali pertemuan politik rahasia dengan beberapa petinggi PDI-P, termasuk dirinya, untuk mebahas peluang Abraham menjadi calon wakil presiden pendamping Jokowi di Pilpres 2014 lalu (Tribunnews.com)"][/caption]

Apa sebenarnya berada di balik perseteruan PDI-P vs KPK selain KPK vs Polri? Kenapa para pembeking Budi Gunawan, terutama sekali PDI-P begitu ngotot mempertahankan Budi Gunawan, seolah-olah tidak ada lagi perwira polisi lain lagi yang lebih pantas, sampai-sampai “tega” ikut menyerang para para pimpinan KPK? Apakah seandainya Budi Gunawan tidak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, penyerangan terhadap KPK tidak akan terjadi?

Hasto Kristiyanto  = PDI-P

Ya, sulit untuk tidak mengatakan bahwa telah terjadi pula perseteruan hebat antara PDI-P dengan KPK, di samping KPK vs Polri. Terutama ketika Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto, pada 22 Januari 2015, mengadakan jumpa pers khusus untuk membeberkan kesaksiannya bahwa di masa Pilpres 2014, Ketua KPK Abraham Samad telah melakukan pertemuan-pertemuan politik rahasia dengan beberapa petinggi PDI-P, termasuk dirinya, untuk menawarkan dirinya menjadi calon wakil presiden pendamping Jokowi, dengan imbalan perlakuan hukum khusus bagi para kader PDI-P yang terjerat tindak pidana korupsi. Setelah, ternyata gagal, menurut Hasto, Abraham pun murka, dan bertekad membalas dendamnya kepada PDI-P. Wujud dari balas dendam Abraham itu adalah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, hanya empat hari setelah dia diumumkan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Jokowi pada 9 Januari 2015.

Kesaksian Hasto itu hanya sembilan hari setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, sehingga sulit untuk mengatakan tidak ada keterkaitan antara kesaksiannya itu dengan penetapan tersangka mantan ajudan Megawati ketika Megawati menjadi presiden (2001-2004) itu. Menurut pengakuan Hasto, apa yang dialakukannya itu adalah atas nama pribadi, tidak ada kaitannya dengan PDI-P, tetapi siapa yang mau percaya, mengingat jabatannya yang begitu penting dan strategis di PDI-P? Juga, kenapa baru sekarang, setelah Budi ditetapkan sebagai tersangka, baru apa yang diasebut sebagai perilaku tercela Abraham samad itu diungkapkan?

Hasto mengaku pengungkapan itu terpaksa disampaikan setelah dirinya tak tahan melihat sikap dan perilaku Abraham Samad ketika mengumumkan status Budi Gunawan sebagai tersangka, katanya ia melihat ekspresi penuh dendam yang keluar dari Abraham ketika dia mengumumkan status tersangka Budi tersebut.

“Sorot matanya, gerak bibirnya, sangat emosional. Saya melihat itu merupakan dendam pribadi. Ada motif. …” ujar Hasto ketika diwawancarai Tempo.

Apakah benar ekspresi Abraham Samad seperti yang disebutkan Hasto itu? Silakan Anda lihat di rekaman video  di sini

Dorongannya untuk segera membuka kedok Abraham Samad itu (sesungguhnya, kalau benar ada pertemuan itu, ya, dia juga membuka kedok dirinya sendiri dan para petinggi PDI-P itu) semakin kuat setelah dia menyaksikan Abraham yang membantah dan mengatakan fitnah isi artikel di Kompasiana yang berjudul Rumah Kaca Abraham Samad yang ditulis oleh Sawito Kartowibowo itu. Dia mengaku tak tahan lagi dengan kebohongan-kebohongan yahg dilontarkan Abraham, maka itu dia terpaksa membongkar rahasia kebobrokan Abraham tersebut. “Pejabat publik tidak boleh bohong!” kata Hasto.

Siapa yang percaya bahwa Hasto menyangkal pihaknyalah yang menulis artikel itu, dia juga mengatakan bahwa dia tidak tahu menahu tentang siapa yang menulis artikel tersebut di Kompasiana? Sama sekali tidak tahu, dan tidak kenal, katanya (Majalah Tempo, 9-15 Februari 2015). Bagaimana mungkin penulis itu bisa menulis begitu detail semua pertemuan rahasia itu, dan Hasto sendiri mengaku semua itu benar adanya, tetapi bukan dia yang menulisnya, dan dia sama sekali tidak kenal penulis itu?

Secara logika, pengakuan Hasto bahwa motivasinya mengungkapkan pertemuan-pertemuan tersebut karena didorong oleh perasaan yang tidak tahan melihat pejabat negara seperti Abraham berbohong itu sangat diragukan. Apa benar, apa iya, begitu idealisnya Hasto sampai sedemikian rupa? Saking idealisnya melihat seorang Ketua KPK berbohong ke publik dia pun segera bertindak membongkar aibnya tersebut?

Sebagai pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDI-P, posisi yang sangat penting dan strategis setelah Ketua Umum, siapakah yang mau percaya bahwa tindakannya itu adalah tindakan pribadi, semata-mata demi penegakan rasa keadilan berlandaskan idealisme dari seorang Hasto? Tak ada kaitan apapun dengan ditetapkan Budi Gunawan, orangnya Megawati/PDI-P?

Maka tak heran dari rakyat biasa sampai para pakar politik pun tak percaya kalau kesaksian Hasto itu tak ada kaitannya dengan PDI-P. Apalagi pasca penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK itu, terungkap juga adanya pertemuan Hasto dengan Budi Gunawan di kantor Budi, di Lembaga Pendidikan Kepolisian, di Jakarta Selatan. Sebelumnya lagi, Tempo, menemukan informasi bahwa tak lama setelah Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka, Hasto Kristiyanto, bersama dengan seorang polisi mantan penyidik KPK, Komisaris Besar Karyoto, melakukan pertemuan dengan mantan Ketua Badan Intelijen Negara di masa pemerintahan Megawati, A.M Hendropriyono, di rumahnya, diduga pertemuan itu membicarakan strategi untuk melakukan serangan balasan kepada KPK, yang saat ini sudah dilakukan oleh Hastio itu. Hendropriyono mebantah informasi Tempo itu (Majalah Tempo, 9-15 Februari 2015).

Sebelumnya, terungkap pula, penangkapan dan ditetapkannya Bambang Widjojanto sebagai tersangka dengan tuduhan telah menyuruh orang lain memberi kesaksian palsu pada 2010 itu, berdasarkan laporan dari Sugianto Sabran, mantan calon bupati Kotawaringin Barat, dia adalah kader PDI-P, yang saat ini adalah anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI. Sugianto sendiri mengaku pelaporan terhadap Bambang untuk kasus lama itu dilakukan setelah disuruh oleh pengacara dari PDI-P, dan juga sebelumnya dia melakukan konsultasi hukum juga dengan  Ketua Bidang Hukum DPP PDI-P, Trimedya Panjaitan.

Jadi, tidak ada yang salah, kalau publik pun menyebutkan perseteruan ini juga merupakan persetujuan PDI-P vs KPK. Itulah sebabnya juga yang diduga membuat Presiden Jokowi masih berat untuk memilih setia kepada partai (Megawati) atau kepada negara, akibatnya kasus pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri menjadi sedemikian pelik, ruwet, kacau, berbelit-belit, dan sebagainya.

*

Seperti latar belakang perseteruan KPK vs Polri, demikian juga perseteruan antara PDI-P dengan KPK, semuanya berkaitan erat dengan ditetapkannya Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka penerima gratifikasi oleh KPK. Bahkan dalam serangan terhadap KPK kali ini, PDI-P dan Polri telah menjalin “kerjasama” untuk bersama-sama menyerang KPK dari berbagai penjuru dengan berbagai cara.

Sementara itu Presiden Jokowi yang diharapkan publik untuk bisa menjadi penengah yang baik untuk menyelesaikan sesegera mungkin perseteruan tersebut, malah terkesan sengaja membiarkan, atau malah memberi waktu seluas-luasnya agar serangan-serangan kepada KPK itu bisa dilancarkan secara efektif dan maksimal.

Akibatnya, KPK pun sekarat, setelah semua pimpinannya dibidik dan terancam dijadikan tersangka semuanya (sampai saat ini baru Bambang Widjojanto yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja meskipun sudah di-sprindik-kan, masih belum tersangka). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, jika pimpinan KPK menjadi tersangka, maka ia diberhentikan sementara oleh Presiden. Mempersangkakan semua pimpinan KPK, rupanya memang sudah menjadi sasaran dari Polri, yang secara tak langsung didukung oleh PDI-P, dan diberi ruang oleh Jokowi. Sekarang, mereka sedang menunggu dan melihat situasi dan kondisi, kapan melakukan serangan terakhir yang mematikan itu, keluarnya surat penetapan tersangka kepada semua pimpinan KPK itu.

Seolah-olah untuk menyempurnakan kehancuran KPK, Selasa, 10 Februari 2015, giliran Deputi Bidang Pencegahan KPK Johan Budi yang dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Government Against Corruption and Discrimination (GACD) Andar Situmorang, dengan tuduhan pada 2011 bersama dengan Wakil Ketua KPK ketika itu, Chandra Hamzah, pernah melakukan beberapakali pertemuan dengan Muhammad Nazaruddin, padahal saat itu Nazaruddin sedang diperiksa kasusnya oleh KPK.

Alasan bahwa Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka secara tiba-tiba pun sudah terbantahkan, karena faktanya sejak 2010, atau sejak KPK belum diketuai Abraham Samad, Budi Gunawan sudah diincar KPK, dikarenakan terutama sebagai salah satu pemilik rekening gendut perwira Polri. Laporan dari transaksi keuangan Budi Gunawan dari PPATK kepada KPK pun memperlihatkan banyak fakta bahwa memang terjadi banyak sekali transaksi yang mencurigakan di rekening-rekening (baca artikel saya: Ketika JK Berhadapan dengan KPK, Membela Budi Gunawan).

Lagi-lagi menimbulkan pertanyaan, kenapa PDI-P sedemikian mati-matian melakukan serangan kepada KPK, semata-mata demi seorang Budi Gunawan? Seandainya, KPK tidak menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, apakah tidak akan ada juga serangan yang sedemikian sistematis, struktural dan masif kepada KPK seperti sekarang ini?

Tim Independen vs Pembeking Budi Gunawan

Majalah Tempo mendapat sebuah informasi penting bahwa saat Presiden Jokowi bermaksud membentuk sebuah tim independen, yang kemudian dinamakan Tim Sembilan, yang di antaranya terdiri dari tokoh-tokoh seperti Syafii Maarif, Jimly Ashiddique, Oegroseno, dan Bambang Widodo Umar, seorang mantan petinggi Badan Intelijen Negara,  yang sedang berada di Singapura, bergegas kembali ke Jakarta. Dia berusaha mendahulu para tokoh itu menemui Presiden agar pembentukan tim sembilan itu dibatalkan Jokowi.

Ketika tim independen itu akhirnya dibentuk Jokowi, juga terdengar protes keras dari PDI-P, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Mabes Polri.  Megawati dikabarkan tidak senang dengan langkah yang diambil Jokowi itu. Mabes Polri berkeberatan Jokowi memilih mantan Wakapolri Oegroseno dan Bambang Widodo Umar, pensiunan perwira polisi yang sangat kritis terhadap institusi mereka itu, masuk di dalam tim itu.

Politisi PDI-P Pramono Anung membantah informasi tentang keberatan Megawati karena Jokowi membentuk tim independen itu, sedangkan Jusuf Kalla mengakui, dia adalah salah satu orang dekat Jokowi yang tidak setuju pembentukan tim independen itu.

Jadi, meskipun akhirnya Presiden Jokowi tetap saja membentuk tim independen itu, tetapi tetap saja dia tak kuasa berhadapan dengan begitu banyaknya kekuatan besar yang menekannya. Alhasil, ia pun batal menerbitkan Keputusan Presiden untuk memberi landasan hukum yang kuat dan jelas bagi tim independen ini. Akibatnya keberadaan, tugas, dan kewenangan tim ini menjadi tak jelas. Rekomendasi-rekomendasinya pun seolah-olah tak didengar Presiden lagi.

Rupanya, oleh para pembeking Budi Gunawan, tim independen ini dianggap sebagai penganggu kendali mereka kepada Presiden Jokowi. Hal ini terungkap dari kecaman A.M. Hendropriyono kepada tim tersebut, sebagaimana dikutip Tempo.  Hendro menyatakan tim independen itu “bukan pengganti Menteri Hukum dan Jaksa Agung” serta “hanya memberi tambahan masukan bagi Presiden”.

Kepala Badan Intelijen Negara pada masa pemerintahan Megawati itu bahkan menuduh, “Di antara tokoh-tokoh itu ada yang mempunyai catatan sangat buruk dan tidak tidak tepat menjadi sumber informasi bagi Presiden. “Padahal,” kata dia, “Setiap anggota tim seharusnya bernilai A (mempunyai latar belakang baik) dan bernilai 1 (jujur dan dapat dikonfirmasi).” Ia tak menjelaskan siapa tokoh yang dimaksud.

Seolah-olah dia hendak mendikte Presiden Jokowi itu, yang dianggap tidak tahu apa-apa ketika membentuk tim independen, yang seharusnya tidak usah dibentuk itu.

Apapun yang terjadi, tampaknya pembeking Budi Gunawan di lingkaran Presiden Jokowi telah berhasil mengesampingkan tim independen yang ompong itu.

Bersambung ke Bagian Kedua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun