Secara logika, pengakuan Hasto bahwa motivasinya mengungkapkan pertemuan-pertemuan tersebut karena didorong oleh perasaan yang tidak tahan melihat pejabat negara seperti Abraham berbohong itu sangat diragukan. Apa benar, apa iya, begitu idealisnya Hasto sampai sedemikian rupa? Saking idealisnya melihat seorang Ketua KPK berbohong ke publik dia pun segera bertindak membongkar aibnya tersebut?
Sebagai pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDI-P, posisi yang sangat penting dan strategis setelah Ketua Umum, siapakah yang mau percaya bahwa tindakannya itu adalah tindakan pribadi, semata-mata demi penegakan rasa keadilan berlandaskan idealisme dari seorang Hasto? Tak ada kaitan apapun dengan ditetapkan Budi Gunawan, orangnya Megawati/PDI-P?
Maka tak heran dari rakyat biasa sampai para pakar politik pun tak percaya kalau kesaksian Hasto itu tak ada kaitannya dengan PDI-P. Apalagi pasca penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK itu, terungkap juga adanya pertemuan Hasto dengan Budi Gunawan di kantor Budi, di Lembaga Pendidikan Kepolisian, di Jakarta Selatan. Sebelumnya lagi, Tempo, menemukan informasi bahwa tak lama setelah Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka, Hasto Kristiyanto, bersama dengan seorang polisi mantan penyidik KPK, Komisaris Besar Karyoto, melakukan pertemuan dengan mantan Ketua Badan Intelijen Negara di masa pemerintahan Megawati, A.M Hendropriyono, di rumahnya, diduga pertemuan itu membicarakan strategi untuk melakukan serangan balasan kepada KPK, yang saat ini sudah dilakukan oleh Hastio itu. Hendropriyono mebantah informasi Tempo itu (Majalah Tempo, 9-15 Februari 2015).
Sebelumnya, terungkap pula, penangkapan dan ditetapkannya Bambang Widjojanto sebagai tersangka dengan tuduhan telah menyuruh orang lain memberi kesaksian palsu pada 2010 itu, berdasarkan laporan dari Sugianto Sabran, mantan calon bupati Kotawaringin Barat, dia adalah kader PDI-P, yang saat ini adalah anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI. Sugianto sendiri mengaku pelaporan terhadap Bambang untuk kasus lama itu dilakukan setelah disuruh oleh pengacara dari PDI-P, dan juga sebelumnya dia melakukan konsultasi hukum juga dengan Ketua Bidang Hukum DPP PDI-P, Trimedya Panjaitan.
Jadi, tidak ada yang salah, kalau publik pun menyebutkan perseteruan ini juga merupakan persetujuan PDI-P vs KPK. Itulah sebabnya juga yang diduga membuat Presiden Jokowi masih berat untuk memilih setia kepada partai (Megawati) atau kepada negara, akibatnya kasus pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri menjadi sedemikian pelik, ruwet, kacau, berbelit-belit, dan sebagainya.
*
Seperti latar belakang perseteruan KPK vs Polri, demikian juga perseteruan antara PDI-P dengan KPK, semuanya berkaitan erat dengan ditetapkannya Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka penerima gratifikasi oleh KPK. Bahkan dalam serangan terhadap KPK kali ini, PDI-P dan Polri telah menjalin “kerjasama” untuk bersama-sama menyerang KPK dari berbagai penjuru dengan berbagai cara.
Sementara itu Presiden Jokowi yang diharapkan publik untuk bisa menjadi penengah yang baik untuk menyelesaikan sesegera mungkin perseteruan tersebut, malah terkesan sengaja membiarkan, atau malah memberi waktu seluas-luasnya agar serangan-serangan kepada KPK itu bisa dilancarkan secara efektif dan maksimal.
Akibatnya, KPK pun sekarat, setelah semua pimpinannya dibidik dan terancam dijadikan tersangka semuanya (sampai saat ini baru Bambang Widjojanto yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja meskipun sudah di-sprindik-kan, masih belum tersangka). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, jika pimpinan KPK menjadi tersangka, maka ia diberhentikan sementara oleh Presiden. Mempersangkakan semua pimpinan KPK, rupanya memang sudah menjadi sasaran dari Polri, yang secara tak langsung didukung oleh PDI-P, dan diberi ruang oleh Jokowi. Sekarang, mereka sedang menunggu dan melihat situasi dan kondisi, kapan melakukan serangan terakhir yang mematikan itu, keluarnya surat penetapan tersangka kepada semua pimpinan KPK itu.
Seolah-olah untuk menyempurnakan kehancuran KPK, Selasa, 10 Februari 2015, giliran Deputi Bidang Pencegahan KPK Johan Budi yang dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Government Against Corruption and Discrimination (GACD) Andar Situmorang, dengan tuduhan pada 2011 bersama dengan Wakil Ketua KPK ketika itu, Chandra Hamzah, pernah melakukan beberapakali pertemuan dengan Muhammad Nazaruddin, padahal saat itu Nazaruddin sedang diperiksa kasusnya oleh KPK.
Alasan bahwa Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka secara tiba-tiba pun sudah terbantahkan, karena faktanya sejak 2010, atau sejak KPK belum diketuai Abraham Samad, Budi Gunawan sudah diincar KPK, dikarenakan terutama sebagai salah satu pemilik rekening gendut perwira Polri. Laporan dari transaksi keuangan Budi Gunawan dari PPATK kepada KPK pun memperlihatkan banyak fakta bahwa memang terjadi banyak sekali transaksi yang mencurigakan di rekening-rekening (baca artikel saya: Ketika JK Berhadapan dengan KPK, Membela Budi Gunawan).