Memang kenakalan Timbul sangat keterlaluan. Ya, Timbul Pandapotan, nama yang dia berikan kepada putranya itu ketika lahir, yang berarti terbit atau bangkitlah pendapatan dalam segala hal, baik materi maupun kesejahteraan.
Sejak kecil dia sudah berani mencuri uang maupun barang barang milik kakaknya, bahkan anak anak sekolah yang banyak kost di daerah Sakkar Ni Huta, kampungnya tidak luput dari incarannya. Sudah tidak terhitung lagi kepala lorong (semacam RT) Sakkar Ni Huta mendatangi rumahnya, menuntut kelakuan Timbul yang selalu berbuat onar.
Ompu ni Jonggara pun sudah beberapa kali harus membayar atau mengganti Ayam, Telor Ayam, Entok, bahkan anak Babi yang di curi Timbul dengan teman temannya. Yang lebih merusak perasaan Ompu Jonggara adalah ketika Timbul pergi kerumah Tulangnya Silalahi di Sibodiala, dipuncak Dolok Tolong.
Hula hulanya itu datang berjalan kaki berjam jam, dari Sibodiala, karena memang saat itu hanya jalan kakilah transportasi satu satunya ke Sibodiala, walaupun letaknya tidak begitu jauh dari Soposurung Balige. Mereka menyampaikan keluhannya bahwa Timbul mencuri anak Babi milik parhangir GKPI Sibodiala, juga bermarga Silalahi. Timbul dan kawan kawan memanggangnya di tengah sawah dan memakannya beramai ramai.
Kedatangan Hula hulanya sangat membuat perasaan Ompuni Jonggara patah arang, maklum bagi orang Batak, Hula hula (pihak keluarga istri) adalah sumber pasu pasu (berkah), sehingga dia benar benar emosi dan putus asa. Dia menunggu Timbul pulang ke rumah dengan hati yang membara, tak ada kata maaf lagi darinya.
“Holan na pailahon do ho tu au, holanna paurakkon… sonnari pe lao maho sian jabu on… lao maho maup….” (kamu hanya membuat saya malu, membuat tercemar… sekarang pergilah dari rumah ini… pergilah kamu kemana saja)
“Mulai sadarion… huetong ma ho naung tilahakku…!!!” (mulai hari ini kamu kuanggap sudah mati) Ompu ni Jonggara membentak putra satu satunya itu dengan emosi, ketika Timbul pulang sore harinya.
Dia tidak memperdulikan lagi tangisan Istri dan anak perempuannya memohon agar dia merubah keputusannya, juga tetangga yang masih ada hubungan kerabat sudah tidak didengarnya. Ompu ni Jonggara memungut pakaian Timbul seadanya dan melemparkannya ke halaman.
Hari telah menjelang malam. Timbul melangkah tak pasti sambil memeluk pakaiannya seadanya diiringi tangisan Ibu dan dua orang Itonya.
Ke esokannya, Ompu Jonggara sudah bangun pagi pagi, hatinyapun sudah reda. Dia mengira bahwa Timbul tidak akan kemana mana, paling paling dia menompang tidur di rumahnya Marlon Hutabarat anak Hutabarat polisi, tetangganya. Ketika dia bertemu dengan Marlon dia bertanya; “Ai na di jabumuna do modom si Timbul, Marlon…?” (apakah si Timbul tidur di rumah kalian)
“Daong Tulang, ai naeng lao do ibana mangaranto ninna…” (tidak Paman, katanya dia akan pergi merantau) sahut Marlon Hutabarat sahabat Timbul.