Kami memasuki gedung sekolah lama, seketika bulu kudukku berdiri. Something's not right, ucapku dalam hati. Masuk lebih lagi ke dalam gedung sekolah lama, bau tidak enak bercampur amis keluar dari dinding sekolah yang sudah lapuk dan berjamur. Setiap langkah kami ditutupi dengan genangan air entah keluar dari mana sumbernya.
Semakin masuk ke dalam kami tiba di aula sekolah lama, tepat di tengah kami menemukan jepit rambutku. Aku pun tertegun dan berpikir bagaimana mungkin jepit rambutku bisa disitu, lalu tanpa ragu Lusi mengambil jepit rambutku. Begitu tangan Lusi meraih jepit rambutku, tiba-tiba ia berteriak, dan sesuatu yang tidak pernah kulihat seumur hidupku terjadi. Tubuh Lusi terangkat di atas tanah, kepalanya mendongak keatas, tanganya terbuka lebar masing-masing ke kanan dan ke kiri.
"Ada sesuatu yang tidak beres", teriak Boy.
"Itu terjadi lagi, ayo Boy pegangi", teriak Lexi.
      Selagi Boy dan Lexi memegangi Lusi yang sudah berteriak dan meronta, terlihat bola matanya menjadi putih semua, air liurnya menetes dari mulutnya yang terbuka, kemudian tiba-tiba Lusi menatapku, menunjuku, dan berkata "Yang lama sudah berlalu, yang baru sudah tiba, mari bergabung."
      Sontak aku terkejut, aku mau berteriak tetapi tidak bisa, aku mau berlari tetapi tidak bisa, seolah kakiku menjadi kaku tidak mau digerakan. Lusi terus berkata yang sama sambil sesekali tertawa.
      Seperti ada dorongan energi yang keluar, aku mengambil bongkahan batu besar di depanku. Aku membanting batu tadi ke tanah sampai menjadi serpihan. Serpihan itu aku gunakan untuk menggambar pola-pola yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Setelah pola itu jadi, aku berteriak kepada Boy dan Lexi "Cepat baringkan!" kataku.
      "Boy, cepat ambil air dan tanah, cepat, kita harus menolong Lusi!" kataku.
      Boy lari keluar mengambil tanah dan air, selagi aku dan Lexi memegangi Lusi. Lalu dengan cepat aku mencampur tanah dan air, sembari keluar dari mulutku, "Segala energi negatif dinetralkan oleh energi bumi, pergilah!", campuran air dan tanah ku oleskan ke kepala Lusi, dan seketika itu juga Lusi berangsur-angsur membaik.
      Boy melihat kearahku terheran-heran, sambil Lexi membantu Lusi untuk berdiri, kami langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu untuk kembali ke sekolah dan akhirnya kami berpisah tanpa terucap satu patah kalimat dari mulut kami.
      Malam itu kami semua bingung atas apa yang sedang terjadi, bahkan aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, tidak percaya apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Apa yang terjadi dan apa yang kulakukan terhadap Lusi -to be continued-