Literasi adalah kebutuhan dasar manusia di jaman ini. Dunia berkembang menjadi semakin canggih oleh karena literatur-literatur. Malas membaca berarti menolak ilmu pengetahuan, sedangkan orang yang rajin membaca berarti mereka yang menghargai dan mendambakan ilmu pengetahuan sebagai aspek penting kehidupan manusia. Semakin banyak yang kita baca maka semakin banyak pula yang diketahui.
Namun sayang, menurut data dalam survei Program for Internasional Student Assessment (PISA) 2018, kemampuan membaca siswa Indonesia berada di urutan ke-71 dari 76 negara. Dapat dilihat bahwa budaya literasi di Indonesia masih tertinggal dari banyak negara. Yang perlu dicatat bahwa data tersebut adalah tentang literasi pada buku dan sejenisnya.
Membaca buku tidak hanya dapat memperluas wawasan, secara lebih mendalam, membaca buku juga dapat meningkatkan daya kritis seseorang. Berpikir kritis inilah yang menjadi keunggulan sumber daya manusia untuk berkompetisi di abad ke-21 ini.[1]Â
Â
Namun literasi tidak hanya tentang literasi pada buku dan informasi tertulis lainnya. Untuk menjadi pribadi yang hebat juga perlu berliterasi dalam kehidupan sehari-hari. Informasi tidak hanya bisa dapat melalui tulisan tetapi juga bisa melalui mulut dan pengalaman langsung.
Â
Dunia yang semakin modern mengalami tantangan yang tidak mudah. Ada badai masalah yang harus dihadapi. Masalah-masalah itu seperti tidak ada habisnya. Yang ada hanyalah masalah lama yang mulai dilupakan oleh munculnya masalah baru yang lebih menarik. Literasi datang menawarkan solusi untuk setiap permasalahan yang ada baik infomasi yang bersifat teoritis hingga rohaniah.
Â
Â
Masalah Ekonomi
Â
Masalah pertama adalah inflasi. Harga bahan bakar naik dan tentu saja itu berimbas pada kenaikan harga bahan pangan khususnya di pasar-pasar tradisional. Banyak masyarakat ekonomi menengah ke bawah akan terdampak. Â Head of Industry and Regional Reserch Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan, kenaikan harga pertalite dan solar bakal menambah inflasi masing-masing 0,97 persen dan 0,17 persen. Dengan demikian inflasi pada akhir tahun ini diperkirakan bisa mencapai 5,89 persen.[2]Â
Â
Literasi tentang perekonomian diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini, bagaimana mencoba untuk menemukan cara-cara jitu untuk menangani inflasi ini. Daya kritis masyarakat perlu ditingkatan, dengan berpikir lebih bijak ketika hendak membeli sesuatu. Sederhanannya, jangan sampai angka impor kita bertambah besar di masa kritis ekonomi ini. Peningkatan penggunaan produk dalam negeri perlu menjadi perhatian. Hal ini terkait dengan meningkatkan pertumbuhan  dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.[3] Warga masyarakat juga perlu saling tolong-menolong sanak saudara yang sedang krisis. Bukan dengan memberikan bantuan langsung melainkan berusaha untuk menciptakan atau menemukan lapangan kerja. Daya kritis dan kreatif yang tumbuh dari budaya literasi diperlukan untuk masalah ini.
Â
Â
Masalah Politik
Â
Masalah kedua adalah kasus pembunuhan Brigadir J oleh Fredy Sambo. Ini adalah masalah yang besar di dalam tubuh kepolisian. Ada banyak polisi dari berbagai pangkat yang terlibat menjadi tersangka dalam kasus ini. Kepercayaan publik kepada Polri menjadi taruhannya. Dalam sebuah wawancara Presiden Jokowi mengatakan, (pengusutan kasus kematian Brigadir J) ini momentum untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap Polri untuk memperbaiki sistem selama ini.[4]Â
Â
Literasi yang berkualitas diperlukan untuk membangun sebuah kepercayaan yang baik. Dalam kasus besar ini beredar banyak informasi yang tidak benar. Masyarakat yang tidak kritis bisa larut dengan mudah dalam arus berita-berita bohong. Masyarakat Indonesia perlu berpikir kritis dan di sisi lain Porli perlu memberikan informasi-informasi yang terbuka kepada masyarakat. Literasi yang berkualitas bisa menyelamatkan eksistensi Polri.
Â
Beberapa institusi pres hingga saat ini masih setia dalam memberikan informasi terbaru tentang kasus ini secara terbuka. Bila konsumsi masyarakat tinggi terhadap berita-berita dari sumber pers resmi, maka peluang untuk terjadi kesalahpahaman dan penyebaran berita bohong dapat diminimalisir. Beberapa pers seperti koran harian Kompas saya rasa sudah baik dalam memberitakan kasus ini dengan terbuka pada berbagai sudut pandang.
Â
Â
Masalah Moral
Â
Masalah yang ketiga adalah degradasi moralitas masyarakat. Tidak dapat dimungkiri, zaman "gadget society" sekarang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifatnya memang memudahkan manusia. Namun era ini juga membawa dampak serius terhadap perubahan sikap dan tingkah laku manusia. Di antaranya kecenderungan manusia memprioritaskan sesuatu yang berbau materialistis dan pudarnya ikatan batin manusia dengan Tuhan.[5]
Â
Kehidupan manusia hendaknya tidak hanya berfokus pada satu aspek, materialistis. Manusia dalam hidupnya bersama sesama juga perlu mengembangkan "spiritual intelegence." Oleh sebab itu literasi terhadap buku-buku spritualitas, novel, dan self improvement perlu digalakkan untuk mengimbangi logical intelegence generasi "gadget society."
Â
Guru di sekolah dan guru spritualitas harus menjadi model yang baik bagi muridnya. Inilah yang dinamakan dengan literasi dalam pengalaman sehari-hari. Mengembangkan budaya moralitas ini bukan hanya sekadar teori, melainkan lebih ke praktik dan pembiasaan. Pendidikan moralitas harus menjadi perhatikan di dunia pendidikan kita. Ini adalah tentang moralitas pelajar Pancasila. Tata krama adalah identitas bangsa ini. Maka diperlukan sebuah pengulangan. Â Pengulangan adalah ibu pengetahuan (repetitio mater scientiarum est).
Â
Â
Mengembangkan budaya literasi adalah investasi yang mumpuni untuk kemajuan bangsa ini di masa yang akan datang. Dunia yang semakin kompleks dan kreatif maka masalah yang muncul juga akan semakin kompleks dan kreatif. Kita harus siap untuk itu dengan memperkuat literasi.
Â
Di era digital ini, banyak orang merasa keberatan untuk membawa buku. Banyak orang lebih memilih gadget daripada buku. Menurut survei Alavara Research Center, Maret 2022, generasi Z dan generasi milenial adalah pecandu internet. Sebanyak 20 persen generasi Z dan 13,7 persen generasi milenial mengakses internet pada kisaran 7-10 jam per hari.[6] Maka solusi dari masalah ini adalah pengembangan sebuah cara baru. Digitalisasi perpustakaan ini dapat menjadi sebuah solusi yang efektif.Â
Â
Digitalisasi layanan perpustakaan digital memiliki beberapa kelebihan. dibandingkan menyediakan lemari buku fisik di ruang publik. Risiko buku hilang tidak akan terjadi. Selain itu digitalisasi memudahkan kaum muda yang lebih melek digital untuk mengakses buku bacaan.[7]Â
Â
Perpustakaan digital memang sudah dibelakukan di beberapa tempat, seperti DKI dan lainnya. Namun, diperlukan juga peran dan kesadaran dari masyarakat juga. Kesadaran itu dapat ditumbuhkan dari lingkungan keluraga dan dari lingkungan pendidikan. Kurikulum Merdeka Belajar agaknya juga turut memperkuat karakter pelajar untuk menjadi pribadi literatif dengan membaca buku dan membaca pengalaman langsung di lapangan. Apapun kurikulumnya budaya literasi tidak boleh kendor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H