Aku duduk disebelah bapak. Dirangkulnya aku dari samping. Sekarang aku mulai merasa menjadi lelaki dewasa. Dulu, ketika aku menghampirinya, bapak langsung menggendong dan meletakkanku dipangkuannya. Untuk saat ini dan seterusnya aku tak akan pernah lagi merasakan dekapan dipangkuannya. Mungkin bapak telah melihat perubahan tubuh dan suaraku.
“Iya, pak. Dani mau tanya umi sama bapak,”
Mereka menatapku. Tak perlu aku bertanyapun mereka pasti akan mendengarkan.
“Bapak sama umi waktu kecil pernah minta do’a untuk bisa berangkat haji gak, pak, mi?”
Aku atur kata-kataku. Orang tuaku sangat tahu akan kegigihanku dapat berangkat haji. Entahlah kekuatan dari mana yang bisa membuatku begitu ingin berangkat ke tanah suci itu. Ketika para tetangga banyak meminta dibawakan air zamzam atau segala hal oleh-oleh khas pulang berhaji, aku tak pernah meminta sekalipun. Aku hanya bilang ke umi atau bapak jika menghadiri walimatussafar, aku titip do’a agar aku bisa segera menyusul. Itu saja. Dan umi pasti langsung memelukku. Sedangkan bapak hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Entah makna apa yang disiratkan dari senyumnya.
“Siapa sih yang gak kepingin pergi haji, Dan…” Bapak menimpali sambil menyeruput kopinya.
“Ya tapi apa keinginan bapak pergi haji dari kecil?” tanyaku yang belum puas atas jawaban bapak. Jawaban yang terlalu mudah dan sama seperti orang-orang lain.
Bapak hanya tersenyum. Umi yang sedang bersandar dipundak sebelah bapak mengangkat kepalanya.
“Waktu bapak dan umi kecil, belum banyak orang-orang yang pergi haji. Dan umi dulu berpikir kalau umi gak akan bisa kesana karena biaya pergi haji sangat mahal. Lagipula biasanya yang berangkat haji itu hanya orang-orang kaya. Yang rumahnya besar-besar dan memiliki kendaraan yang mewah.”
Aku tatap wajah umi dan bapak bergantian. Kelak, aku akan memberangkatkan umi dan bapak. Aku ingin buktikan kalau orang seperti aku yang berasal dari keluarga biasa bisa berangkat haji. Haji bukan hanya untuk orang kaya.
Kulangkahkan kaki ke dalam rumah. Ku tutup pintu. Membiarkan bapak dan umi kembali ngobrol seperti malam-malam kemarin. Kusempatkan mengambil pesawat kertas milik Fahmi yang belum diselesaikan yang tergeletak di lantai.