Tuhan, sampaikan pesawat kertas ini ke tanah suciMu… Telah ku tuliskan banyak permintaanku padaMu. Kabulkan meski hanya satu permintaanku ya, Rabb…
Ku susuri pagar-pagar tinggi ini. Sesekali aku berhenti. Manatap pesawat yang siap terbang menuju tempatnya. Bukan. Aku bukan ingin menaiki pesawat itu. Aku lebih senang berkeliling kampung dengan sepeda kesayanganku.
Ketiga sahabatku sudah berjalan di depan. Begitu bersemangat mencari lahan yang lebih luas untuk bermain layang-layang.
Dulu, di saat teman-temanku berloncatan sambil menengadahkan kepala mereka dan berteriak “Kapaaal minta duiiittt…” justru aku menepi. Aku berjongkok dan ku tengadahkan tangan .
“Ya Allah… Izinkan dengan pesawat itu membawa ku ke tanah suci Mu…”
Dan kini Ridwan, Firman serta Idho menertawakanku. Kami tetap bermain di tepi lapang lepas landas ini bila musim layang tiba. Tapi tidak seperti dulu.
“Hey, Dan, sejak dulu sampai sekarang permintaanmu itu itu saja. Kembalilah bermain layang-layangmu. Pegal aku memeganginya”
Firman, lelaki berperawakan gemuk dengan logat medannya begitu kesulitan memegangi layang-layangku.Padahal sudah aku bilang ke mereka aku tidak ingin bermain layang-layang di sini. Tetapi mereka tetap tidak mau mengikuti permintaanku.
“Angin di sini sangat kencang, Dan. Bagus untuk menerbangkan layang-layang. Lihatlah, baru sebentar aku melepaskan layang-layangku, ia sudah lepas landas tinggi di awan sana…”
Ridwan begitu bersemangat. Layang-layang yang diterbangkananya adalah layang-layang yang didapatkannya kemarin saat ada yang putus. Kami mengejar sampai kerumah-rumah penduduk. Ridwan yang memang berlari sangat cepat berhasil mendapatkannya.
“Mulai besok saya tidak mau bermain lagi di sini dan tidak mau bermain layangan lagi!” kataku sambil menarik benang dan menurunkan layanganku.