Mohon tunggu...
Dhanny Artu
Dhanny Artu Mohon Tunggu... Penulis - Masyarakat

Hanya warga masyarakat biasa yang sedang mengupayakan diri untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Politik Kita Hari Ini Perlu Dihantam Ikonoklasme

22 Desember 2023   19:23 Diperbarui: 22 Desember 2023   22:59 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu tahun 726 Masehi, Leo Isaurus telah genap 9 tahun duduk di atas tahta Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium sebagai Kaisar Leo III. 

Situasi politik kekaisaran berhasil ia pulihkan dari ketidakstabilan selama 20 tahun sejak penggulingan Kaisar Justinianus II dan diikuti periode kekuasaan para kaisar yang bergantian memerintah dalam waktu yang amat singkat. Masa ketidakstabilan itu kemudian disebut oleh sejarawan sebagai "Anarki Dua Puluh Tahun" yang menandakan kacaunya situasi yang dihadapi rakyat Bizantium kala itu.

Asal mula ikonoklasme

Masih dalam waktu yang sama, jauh di barat daya ibu kota Konstantinopel tepatnya di laut Aegea, pulau Thera dan Therasia yang kini berada di kawasan bernama Santorini dilanda letusan hebat gunung berapi. Sang kaisar saat itu merasa ada sesuatu yang tidak beres, barangkali pertanda dari sang Khalik. 

Ia pun bolak-balik berdoa, kemudian membuka dan membaca kitab suci untuk menenangkan kegelisahan hatinya hingga ia menemukan sebuah ayat yang dianggapnya merupakan bagian dari Dasa Titah, kurang lebih berbunyi:

"Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya....." dan ia menganggapnya sebagai sebuah bentuk pelarangan.

Kekaisaran Romawi Timur yang merupakan pecahan Romawi Barat saat itu memang tak lepas dari kebudayaan dan karya seni peninggalan ribuan tahun pendahulunya itu termasuk ikonografi, sebuah seni yang menjadikan figur atau orang sebagai objek ke dalam ikon berupa lukisan atau patung. Maklum saja bila kebudayaan ini turut berlanjut namun objek karya seni berubah menjadi figur-figur keagamaan.

Konstantinopel dan kota-kota lain di Bizantium kala itu telah dipenuhi oleh ikon-ikon dari para figur suci, suatu bentuk akulturasi dari budaya seni romawi dan unsur agamawi. Awalnya hanya sebagai hiasan, namun kelamaan malah menjadi pelengkap ritual peribadatan.

Tak jarang ikon terdapat di dalam rumah peribadatan dan diberi dupa oleh biarawan, dicium oleh para tentara ketika akan berperang, serta masyarakat secara luas menganggap bahwa melalui ikon, para tokoh suci dalam sejarah ditampilkan kembali dengan maksud memberikan gambaran rohani. 

Sang kaisar pun lantas menafsirkan bahwa bencana di laut Aegea adalah murka Tuhan yang didalilkan oleh ayat tadi. Ia pun mengutuk aktivitas ikonografi serta menyatakan ikon adalah berhala. 

Akhirnya turunlah serangkaian dekrit kekaisaran yang memulai sebuah masa kontroversial berupa pembersihan 'bi'dah' yakni pemusnahan gambar dan patung orang-orang suci yang kelak dikenang sebagai masa kegelapan seni Bizantium dengan nama masa "Ikonoklasme" (bahasa Yunani: eikonomakhia, artinya tindakan memerangi atau menghancurkan gambar/ikon). 

Oleh sebagian pihak, hal ini dianggap sebagai tindakan politis Leo III untuk melakukan pembersihan pengaruh politik para agamawan di kekaisaran yang memiliki peran yang kuat karena mendapat penghormatan luas dari masyarakat kekaisaran yang mayoritas adalah para jemaat mereka. 

Hal ini secara perlahan menjadi katalis yang membuat hubungan antara keuskupan Roma dan patriarkat Konstantinopel memburuk dan puncaknya ketika kelak putra Leo III, kaisar Konstantinus V melepaskan yurisdiksi gerejawi Roma atas Balkan dan memberikannya kepada Patriarkat Konstantinopel. 

Akibatnya, Roma kehilangan kendali agama atas Balkan, kecuali di pantai baratnya. Akhirnya bukan hanya kekaisaran, gereja pun menjadi terpecah antara Barat dan Timur. 

Ikonoklasme baru reda pada tahun 843 saat masa pemerintahan kaisar Mikhael III yang masih kecil lewat tangan ibunya yang menjadi wali kekaisaran, ibu suri Theodora yang memproklamirkan berakhirnya pelarangan terakhir terhadap praktik ikonografi, dan Bizantium kembali melakukan pemujaan ikon. Namun, hubungan Gereja Barat dan Timur tak lagi bisa menyatu.

Nusantara sebagai konsumen ikonografi

Tak jauh dari masa tersebut, jauh di belahan timur dunia terdapat sebuah gugus kepulauan di mana telah berdiri sebuah peradaban panjang dari rangkaian kerajaan yang kelak dikenal dengan kepulauan Nusantara. Nusantara sudah lama mengenal ikonografi dan memang menggunakannya sebagai sarana pemujaan dan hal spiritual lain seperti jimat keberuntungan serta tolak bala. 

Kelak para padri dari Timur Tengah masuk dan menyebarkan ajaran kepercayaan yang baru bagi orang Nusantara. Ajaran tersebut sebetulnya juga tidak memperkenankan pemujaan dan kepercayaan apapun terhadap objek benda mati dengan dalih apapun. Berbeda dengan para kaisar ikonoklast di Bizantium, para padri ini menggunakan pendekatan yang lebih halus dengan mengalihkan penggunaan objek ikon menjadi sarana menyampaikan dakwah dan kisah-kisah para orang suci terdahulu. 

Penyampaiannya pun juga disertai nilai-nilai kearifan lokal. Lama-kelamaan ajaran tersebut dianut oleh kebanyakan masyarakat lewat cara lembut penyebarannya kala itu. Walapun begitu, kebiasaan klenik masyarakat memang tak bisa hilang begitu saja karena Nusantara masih terjebak di dalam sistem yang dijalankan oleh hampir seluruh masyarakat dunia pada masa tersebut hingga akhir abad ke 20, struktur feodalisme dengan strata sosial dan keistimewaan yang didasarkan pada keturunan dan tingkatannya. 

Setiap keluarga bangsawan memiliki pengikut dari kalangan yang berada di bawahnya yang mana kesetiaan kadang kala dibangun lewat cerita-cerita mistis. Kepercayaan klenik yang awalnya dipercaya ada pada objek benda mati beralih pada sosok pemimpin, bukan bermaksud dipuja tapi dianggap memiliki kekuatan supranatural sehingga dikatakan layak untuk memimpin karena kekuatannya.

Sumber: Perpusnas.go.id
Sumber: Perpusnas.go.id

Zaman berganti dengan masuknya penjajahan diikuti perjuangan kemerdekaan di mana suasana mendadak menjadi egaliter, semua menjadi setara yang mana baik bangsawan, rakyat jelata berada di meja perundingan dan medan perang yang sama. Akhirnya kemerdekaan Nusantara tercapai sepenuhnya dan sekarang dikenali sebagai Indonesia.

Ikonografi dalam penjelmaan modern

Sebagai sebuah negara berdaulat yang baru berdiri seumur jagung, terjadi banyak ketidakstabilan politik di dalam negeri hingga pada akhirnya melalui sebuah langkah drastis, pemimpin kala itu mengkonsolidasi seluruh kekuatan berada dalam kekuasaannya, yang dipandangnya sebagai bagian dari upaya menjaga kestabilan. 

Sumber: Anonim
Sumber: Anonim

Pemberian berbagai embel-embel kebesaran turut menjadi salah satu dari bagian konsolidasi tersebut guna menciptakan kultus dengan tujuan membentuk opini publik bahwa rakyat dijaga oleh pemimpin yang kuat. Secara praktis dimulailah masa pengkultusan, pola yang sama dengan ikonografi.

Sumber: Anonim
Sumber: Anonim

"Pengidolaan yang diciptakan para penguasa dilakukan dengan pembentukan kultus dalam persepsi masyarakat. Pada akhirnya ikonografi yang semula berupa gambar dan patung di rumah ibadah berpindah menjadi gambar dan narasi di media massa" -Penulis.

Tak lama berselang terjadi peralihan kepemimpinan, kultus kebesaran pemimpin lama semua ditanggalkan. Tentu hal ini beralasan agar masyarakat yang terpapar kultus lama perlu dinetralisir namun sejatinya hal ini merupakan langkah persiapan untuk memberi asupan kultus selanjutnya kepada pemimpin yang baru.

Era baru telah lahir dalam sebuah tatanan atau orde, persis mereka menamainya. Berbeda dengan pendekatan Grandiosity atau Kemulukan yang diterapkan untuk membentuk superioritas pada kultus pemimpin lama, pemimpin orde baru lebih sedikit menggunakan elemen-elemen narsistik karena kebutuhan zaman juga sudah berubah.

Sumber: https://engineear.co/
Sumber: https://engineear.co/
Walaupun tetap ada penyematan embel-embel namun tidak semegah pendahulunya sebab ia hanya perlu mengkondisikan persepsi publik saat itu untuk menunjukkan bahwa ia bisa dipercaya untuk memerintah, sedikit berbeda dengan sebelumnya.

Sumber: https://warungarsip.co/
Sumber: https://warungarsip.co/

Tiga dekade lebih sedikit era tersebut berlangsung hingga akhirnya negara ini ikut terkena badai keuangan yang menerpa sebagian besar negara-negara Asia. Banyak negara yang berhasil melewati badai tersebut dengan kerugian yang harus dibayar berupa rumah mereka 'hanya' kebanjiran, lantai perlu dipel dan perabotan serta benda elektronik yang rusak perlu diganti. 

Sementara Indonesia kondisi rumahnya tak hanya kebanjiran, atap rumah rubuh, perabotan hanyut, daun pintu dan jendela rusak. Pemimpin rumah tangganya tertimpa atap yang ambruk. Akhirnya peralihan kepempinan kembali terjadi. 

Peralihan yang menentukan

Pemimpin baru terpaksa mengadakan banyak perbaikan akibat kerusakan badai tersebut bukan hanya dari segi fiskal namun juga perubahan fundamental. Perubahan fundamental yang meliputi reformasi struktural ketatanegaraan ini menjadi tonggak sejarah baru yang menyaksikan amandemen aturan paling dasar yang mengatur tentang kebebasan berpendapat, jaminan perlindungan hak asasi, dan kepastian hukum di negeri ini.

Sayang masa kekuasaannya amat singkat hingga tak sempat mengatur transisi kultus yang menjadi kebiasaan dua pendahulunya. Pemimpin-pemimpin berikutnya pun juga tak sempat mengatur ritme pengultusan mereka. Singkat cerita, tiba masa pemilihan bersejarah di mana akhirnya pemimpin dipilih langsung oleh tangan-tangan jelata.

Sebelumnya, para pemimpin di negeri ini dipilih oleh para anggota Majelis Permusyawaran baik melalui musyawarah atau pungutan suara. Pemilihan langsung ini merupakan salah satu bentuk transisi menuju demokrasi hasil perubahan fundamental yang telah dilakukan melalui amandemen undang-undang dasar.

Sumber: datatempo.co
Sumber: datatempo.co

Kala itu terdapat 5 pasang calon presiden dan wakilnya. Pemilihan berjalan dalam 2 putaran di mana situasi berakhir dengan seorang mantan jenderal 'mediocre' keluar sebagai menang. Ia menumbangkan seorang yang digelar bapak reformasi dan tiga orang mantan atasannya, presiden dan wakil presiden petahana, serta bekas panglimanya dulu sewaktu aktif di militer. 

Hasil ini jauh berbeda dari banyak tebakan, berbagai survei pun digelar. Lain dari yang lain, survei-survei ini digelar pasca pemilihan untuk menjajaki alasan para pemilih. Hasilnya menyimpulkan bahwa kemenangan ini turut dipengaruhi oleh persepsi publik yang tercipta saat masa pemilihan. 

Ikonografi politik kita hari ini

Cerita tersebut berlanjut hingga ke hari ini. Dari fase ini terjadi penyusunan kultur yang turut membentuk corak demokrasi kita di hari ini. Politisi mulai berlomba untuk memoles citra mereka di depan para masyarakat untuk mendulang persepsi positif. Tentu tujuan mereka adalah suara pada setiap diadakan pemilihan.

Untuk itu berbagai cara mereka tempuh mulai dari hal-hal sederhana dengan menampilkan kepribadian mereka yang mudah diterima dan berhubungan erat dengan masyarakat seperti kebersahajaan, menonjolkan populisme, dan sikap anti borjuisme.

Namun berbeda dengan politisi dengan level kawakan yang sudah memiliki basis pendukung tetap, mereka akan konsisten menonjolkan citra dirinya sebagai representasi basis yang menjadi konstituennya tersebut.

Basis pendukung tetap ini terdiri dari kelompok-kelompok pengikut berbagai ideologi politik. Keterikatan sebuah kelompok dengan paham ideologi yang mereka ikuti disebut dengan Tribalisme politik. Dalam dunia politik hal ini adalah suatu hal yang lumrah. Malangnya, basis pendukung tersebut terkadang berafiliasi dengan SARA dan kelompok sensitif tertentu.

Politisi akan cenderung menikmati karakteristik pendukung seperti ini yang gemar membawa hubungan batin dengan para pemain politik seperti mereka dalam alam sosial dengan latar belakang budaya sehingga wilayah personal atau sosok pribadi lebih digemari ketimbang content politisi itu sendiri. 

Sejatinya jika terjadi pertemuan derby para politisi kawakan dalam sebuah kontestasi seperti pemilihan umum terjadi kompetisi tribalisme yakni senggolan antar basis ideologi, mudahnya dibagi menjadi kelompok 'kanan', 'tengah', dan 'kiri'. 

Namun sayang karena kadang terbangun afiliasi dengan kelompok sensitif maka tribalisme yang asalnya berdasarkan ideologi dapat dipelintir menjadi pertarungan berdasarkan kelompok masyarakat.

Politisi kini tumbuh menjadi patron bagi masyarakat. Dalam kacamata kepemimpinan ini positif karena dapat menumbuhkan rasa kebertanggungjawaban yang tinggi pada diri politisi. Namun ini adalah sinyal berbahaya dalam demokrasi yang membentuk persepsi masyarakat bahwa pemimpin adalah orang yang harus dihormati dan mengkritiknya harus dalam kesopanan. Kesopanan? Tentu dengan garis yang abu-abu.

Hubungan batin yang konyol antara para pendukung dengan para politisi yang tidak bersandar pada demarkasi ideologi yang jelas lama kelamaan menjadi fanatisme buta yang merusak kualitas demokrasi dan semakin menghambat kemapanan kita sebagai negara demokrasi. 

Itulah pentingnya melakukan telaah, penapisan, dan proses kritisme mandiri di dalam benak kita masing-masing terlebih dahulu sebelum melabuhkan dukungan pada politisi tertentu.

"Sudah sepantas apa orang saya dukung? Apa perjuangan saya yang akan ia wakili? Bagaimana kiranya dia gagal, apa pantas ia saya bela dan untuk apa?" dan yang terpenting "Apa perpecahan merupakan harga yang pantas dibayar bangsa ini supaya ia berkuasa?". 

Setelah kita mendapat sebuah jawaban yang konkret baru kemudian kita tetapkan sebagai sebuah pilihan, dan jangan lupakan bahwa yang membuat pilihan bukanlah hanya diri kita sendiri.

"Pemimpin tangan besi mematikan nyali. Tapi pemimpin yang dinabikan mematikan nalar" -Sudjiwo Tedjo.

Mengapa politik kita hari ini perlu dihantam ikonoklasme

Di negara-negara yang memiliki tingkat demokrasi yang sudah mapan, pemilihan umum merupakan upaya kolektif sebuah bangsa untuk merumuskan persoalan dasar bangsa dalam skala nasional dan memberi kesempatan kepada para calon pemimpin untuk menawarkan solusi.

Solusi-solusi tersebut mereka rangkai dalam program dan kebijakan yang sesuai dengan kerangka ideologi partainya, atau terkadang meski di luar ideologi partainya disesuaikan urgensi dan kebutuhan terkini yang dihadapi oleh bangsa.

Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ikonoklasme yang tepat untuk menghantam politik kita saat ini adalah dengan menwujudkan pemilihan pemimpin bangsa sebagai upaya bersama dalam menemukan solusi atas persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini. Bukan kontestasi sempit antar jagoan masing-masing.

___________________

Penulis: Dhanny Artu Gustilyra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun