Pemberian berbagai embel-embel kebesaran turut menjadi salah satu dari bagian konsolidasi tersebut guna menciptakan kultus dengan tujuan membentuk opini publik bahwa rakyat dijaga oleh pemimpin yang kuat. Secara praktis dimulailah masa pengkultusan, pola yang sama dengan ikonografi.
"Pengidolaan yang diciptakan para penguasa dilakukan dengan pembentukan kultus dalam persepsi masyarakat. Pada akhirnya ikonografi yang semula berupa gambar dan patung di rumah ibadah berpindah menjadi gambar dan narasi di media massa" -Penulis.
Tak lama berselang terjadi peralihan kepemimpinan, kultus kebesaran pemimpin lama semua ditanggalkan. Tentu hal ini beralasan agar masyarakat yang terpapar kultus lama perlu dinetralisir namun sejatinya hal ini merupakan langkah persiapan untuk memberi asupan kultus selanjutnya kepada pemimpin yang baru.
Era baru telah lahir dalam sebuah tatanan atau orde, persis mereka menamainya. Berbeda dengan pendekatan Grandiosity atau Kemulukan yang diterapkan untuk membentuk superioritas pada kultus pemimpin lama, pemimpin orde baru lebih sedikit menggunakan elemen-elemen narsistik karena kebutuhan zaman juga sudah berubah.
Walaupun tetap ada penyematan embel-embel namun tidak semegah pendahulunya sebab ia hanya perlu mengkondisikan persepsi publik saat itu untuk menunjukkan bahwa ia bisa dipercaya untuk memerintah, sedikit berbeda dengan sebelumnya.
Tiga dekade lebih sedikit era tersebut berlangsung hingga akhirnya negara ini ikut terkena badai keuangan yang menerpa sebagian besar negara-negara Asia. Banyak negara yang berhasil melewati badai tersebut dengan kerugian yang harus dibayar berupa rumah mereka 'hanya' kebanjiran, lantai perlu dipel dan perabotan serta benda elektronik yang rusak perlu diganti.Â
Sementara Indonesia kondisi rumahnya tak hanya kebanjiran, atap rumah rubuh, perabotan hanyut, daun pintu dan jendela rusak. Pemimpin rumah tangganya tertimpa atap yang ambruk. Akhirnya peralihan kepempinan kembali terjadi.Â
Peralihan yang menentukan
Pemimpin baru terpaksa mengadakan banyak perbaikan akibat kerusakan badai tersebut bukan hanya dari segi fiskal namun juga perubahan fundamental. Perubahan fundamental yang meliputi reformasi struktural ketatanegaraan ini menjadi tonggak sejarah baru yang menyaksikan amandemen aturan paling dasar yang mengatur tentang kebebasan berpendapat, jaminan perlindungan hak asasi, dan kepastian hukum di negeri ini.
Sayang masa kekuasaannya amat singkat hingga tak sempat mengatur transisi kultus yang menjadi kebiasaan dua pendahulunya. Pemimpin-pemimpin berikutnya pun juga tak sempat mengatur ritme pengultusan mereka. Singkat cerita, tiba masa pemilihan bersejarah di mana akhirnya pemimpin dipilih langsung oleh tangan-tangan jelata.