Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Elegi Cinta di Bayang Covid-19

27 Maret 2020   13:12 Diperbarui: 29 Maret 2020   02:26 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arabella memperhatikan sepatu bootsnya yang menemaninya sejak dari rumahnya menuju Bandara Eindhoven Belanda hingga kini tiba di Bandara Sukarno Hatta. Boots ini jarang ia pakai, pemberian kekasih tercintanya 3 tahun lalu. Jaka memberikan kotak bungkusan padanya di malam itu seraya tersenyum.

"Kau akan membutuhkan ini saat musim dingin disana nanti !"

Arabella membuka kotak itu dan ...."Wah ! ini boots yang ingin aku beli waktu itu."

"Darimana kau tahu aku ingin membeli boots ini ?"

Jaka hanya tersenyum kembali, ia duduk rebahan pada sofa empuk ruang tengah.

"Tak sengaja aku melihat Instagrammu, kau memposting foto boots itu disertai icon berbentuk hati."

"Aku mencarinya berkeliling toko sepatu di Singapura beberapa hari yang lalu, hampir putus asa aku tanyakan pada penjaga toko dimana kiranya aku bisa mendapatkan boots itu.

Di ujung lelah aku melihat ada toko unik tak terlalu besar namun langkah kakiku seperti ada yang menuntun memasuki toko tersebut. Barang-barang yang dijual disana ternyata merk-merk terkenal. Di suatu sudut ruangan toko itu berjajar rapi beberapa boots dan.......aku melihat boots ini !"

Arabella tak lagi memperhatikan boots pemberian Jaka, ia menatap mata teduh kekasihnya. Mata yang selalu bisa membasuh lara dan penat pikirannya. "Betapa kekasihnya ini menyayanginya, menjaganya dan memberinya beribu inspirasi pada tugas dan pekerjaannya."

Jaka agak kikuk dipandangi mata indah Arabella, "Huss,.....kita belum menikah, gak boleh memandang seperti itu nanti ada setan yang mengawinkan kita,....hahahaa.....hahahaa !"

***

Arabella keluar dari Bandara, melambaikan tangan pada Mang Diman, betapa kangennya ia pada supir keluarga yang sudah mengabdi 30 tahun pada keluarganya. Dahulu saat SD ia dan Mang Diman sering kongkalingkong diam-diam jajan es lilin karena takut ketahuan Mamah.

Melewati Kota Jakarta yang panas, kali ini agak berbeda, jalanan sedikit lengang dari hampir tak ada kemacetan. Virus COVID-19 memang kejam, sadis dan pembunuh berdarah dingin. Semua manusia di dunia ini dikecam ketakutan, begitu kota-kota di Indonesia.

Arabella agak bergidik, bukan karena dinginnya AC BMW yang dikemudikan Mang Diman tapi ia membayangkan jika Indonesia seperti Wuhan beberapa bulan yang lalu. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan, trotoar, selasar lorong rumah sakit dan orang sekitar banyak yang takut menolongnya. 

Kremasi besar-besaran yang China lakukan untuk mengamankan mayat bervirus bahaya itu membuat asap putih berkabut naik ke langit menyelimuti kota. "Semoga Indonesia bisa cepat menangani ini semua !"

Dinginnya udara Lembang Bandung menyelusup masuk lewat jendela mobil yang dibuka sedikit, tapi tak sedingin di Belanda tadi yang alami musim dingin dari bulan Desember hingga Maret.

Bagi Arabella udara sejuk Lembang terasa sangat harum dan memeluknya rindu. Ia sangat menikmatinya sebelum Mang Diman dengan nada agak keras memperingatinya, "Tutup jendelanya neng ! zaman COPID bahaya pisan ahh !"

Maklum Mang Diman orang Sunda gak bisa bilang V dan F, bisanya bilang P.

Arabella tertawa, "Yang benar COVID-19 Mang bukan COPID !"

"Nyak, pokona etalah neng, hehehe......, takut mamang mah, kalau di Villa ada yang tertular kan bisa bahaya ke semuanya pan !"

Mang Diman, bermimik serius sekali wajahnya berceloteh. Kumis, janggut dan alisnya bak anggota opera di wajahnya yang mulai keriput menua.

Memasuki gerbang sebuah Villa tua di Jl.Setiabudi Bandung. Villa itu peninggalan kakek Arabella yang berkebangsaan Belanda, ia tak mau meninggalkan Indonesia setelah Agresi Belanda ke-2.

Kakeknya menikahi seorang mojang Parahyangan yang telah lama diperhatikannya ketika memetik teh bersama pemetik teh lainnya. Gadis itu sangat berbeda dengan gadis-gadis lainnya, ia lebih cerdas dan sikapnya anggun, tutur katanya lembut tak lepas dari senyumnya yang selalu merekah diantara selimut kabut putih perkebunan teh. Jadilah gadis itu Neneknya di penghujung bulan Januari 1959.

Karena masih sering hujan, pukul dua siang ini bulir-bulir hujan menjadi tirai di belakang hutan Pinus di seberang villa. Gerimisnya sesekali membasahi taman besar di depan villa. Arabella turun dari mobil, disambut senyum haru sang nenek tersayang.

"Ara....kamu sudah sampai, pasti capek ya ? Berapa jam kamu dari Belanda ?"

Arabella memeluk lembut nenek, ada basah yang terasa di pipinya. Batinnya berkata "Badanku tak lelah nek, hatiku yang lelah."

Nenek memperhatikan bola mata Arabella, ia tak berkata tapi memeluk kembali Arabella, seakan nenek sudah mendapatkan segala jawaban dari cucu tersayangnya itu.

Di meja makan, segelas susu murni hangat khas Lembang dan sepotong kue wafel nenek hidangkan pada cawan bulat putih. Hangat menjalar kerongkongannya, seruputan susu hangat diteguk Arabella. Tak mau menunggu, ia membelah kue wafel segitiga yang masih hangat pula buatan nenek.

Merasakan aroma kue wafel ini serasa ia masih anak SMA dulu. Nenek selalu menyajikan sarapan kue wafel setiap hari. Kadang aku bosan dan membungkusnya untuk teman-temanku di sekolah. Saat turun dari mobil depan SMA Negeri 3 Bandung, teman-temanku menyerbuku menanyakan apakah aku membawa kue wafel buatan nenek. Hehehe....masa-masa kenangan manis.

"Bagaimana masalahmu Ara? apakah kamu sudah membuat keputusan ? Nenek yakin Jaka akan senang menerimamu kembali. Kalian saling mencintai sejak dahulu bukan?

Jaka terpaksa menikahi Rani dahulu hanya untuk menyelamatkan nama baik keluarga Rani. Ayah Jaka dan Ayah Rani adalah sahabat atau bahkan saudara angkat yang saling menyayangi. Ketika Rani dihamili atasannya dan itu tak diketahui Rani perbuatan bejat atasannya itu, atasannya sengaja memasukkan obat bius di air minum Rani.

Jaka dahulu hanya menikahinya dan tak ada pernah mereka tidur bersama. Hingga Rani melahirkan anaknya, Jaka tak mau menyentuh Rani, bahkan Jaka tinggal berbeda rumah." Nenek menceritakan dengan sesekali memandang nanar ke luar jendela.

Hujan masih gerimis, terlihat di halaman depan Mang Diman bercanda dengan sesama pekerja rumah, sesekali gelak tawa mereka terdengar bersaing dengan suara hujan.

"Iya aku sudah tahu hal itu nek, aku sudah memahami posisi Jaka saat itu. Bukannya Ara tidak mau menerima Jaka kembali tapi waktunya mungkin yang terlalu cepat. Baru seminggu yang lalu Rani meninggal karena infeksi COVID-19. Keluarga Rani masih dalam suasana berkabung, air mata belum kering di pelupuk mata ibu dan bapaknya Rani."

"Nenek faham Ara.....toh kalian tidak akan langsung menikah kan ? Kalian hanya membutuhkan menyusun komitmen kembali dan merencanakan harinya untuk melangsungkan pernikahan kalian. Ini mungkin sudah menjadi takdir Alloh SWT bahwa kalian memang berjodoh. Jodoh tak akan kemana, bila sudah waktunya maka pasti disatukan oleh Alloh SWT."

***

Pukul 01.00 dini hari, jubbah malam kian gelap menyisakan kesunyian, saat Malaikat turun ke Bumi mendengarkan doa-doa dari orang yang sedang bersedih dan memohon petunjuk pada Alloh SWT. Pada sujud terakhir Ara berdoa singkat, semoga Alloh SWT membukakan solusi terbaik bagi mereka.

Bukan perkara mudah melupakan sakitnya hati 1 tahun yang lalu, hingga ia memutuskan untuk pergi ke Balanda menyibukkan diri di Biro Arsitek pamannya Arabella. Minggu pertama ia bekerja sering tak sengaja bulir air matanya jatuh di lembar kerja Siteplan atau ia lupa pulang ke rumah dengan tak membawa kembali tas kerja dan mantelnya.

Semua terasa seperti kehilangan semangat dan separuh hatinya. Ia memahami keadaan tapi sulit menerimanya. Arabella pun takut jika Jaka lama kelamaan akan mencintai Rani yang sudah menjadi istri sahnya itu.

Hingga suatu pagi 3 hari yang lalu Arabella membaca WA dari Nenek, Rani meninggal sebagai korban COVID-19 di Bandung. Nenek memintanya segera pulang ke Indonesia.

Handphone Arabella bergetar berbunyi halus, "Siapa malam-malam begini.....?"

Ada pesan WA tapi tak ada namanya, hanya deretan angka yang belum ia kenal. Foto profilnya pun tak ada. "Assalamualaikum....akang yang sok tahu dari dulu ini, pasti mengira Ara belum tidur ya ?"

"Alhamdulillah kamu sudah di Lembang kembali ?"

"Besok-besok kita main lagi ke Teropong Boscha seperti dulu.....hahaha ?"

Arabella tersenyum sekaligus kaget, ia tahu betul siapa dia orangnya, siapa rupanya yang sudah memberitahu Jaka kalau ia sudah di Lembang, pasti si Mang Diman....."Mang Dimaaaaaannnnn !"

Arabella berteriak keras memanggil Mang Diman, dia lupa itu tengah malam dan pasti Mang Diman sudah pulas tidur dan sedang bermimpi naik kerbau. Arabella tersadarkan, bunyi jangkrik di luar menyadarkannya. Malu juga, takut ada yang mendengarnya.

"Waalaikumussalam."

"Iya, Kang Jaka, Ara sudah di Lembang." Arabella membalas WA Jaka.

"Memang dari dulu Kang Jaka selalu sok tahu, hehehe....!"

"Teropong Bintang Boscha pasti tutup kang, kan ada wabah Corona !"

Hati Arabella seperti tiba-tiba penuh dengan cita-cita. Ada perasaan yang dulu pernah dia rasakan, perasaan indah yang membuatnya bersemangat dan membangkitkan kreatifitas. Padahal ini baru membaca WA Kang Jaka, apalagi bertemu dengan orangnya.

Cinta itu sebuah perasaan indah, banyak manusia yang memahami bahwa perasaan indah itu harus diperolehnya dengan secepatnya bahkan ada yang melanggar aturan-aturan, padahal bila cinta itu diiringi keikhlasan menemui waktunya maka keindahan itu akan disempurnakan oleh pencipta keindahan Yang Maha Indah yaitu Alloh SWT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun