Mohon tunggu...
Dandung Nurhono
Dandung Nurhono Mohon Tunggu... Petani - Petani kopi dan literasi

Menulis prosa dan artikel lainnya. Terakhir menyusun buku Nyukcruk Galur BATAN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak: Bukan Hanya Permata Hati Orangtua, tapi Juga Aset Bangsa

23 Juli 2023   07:00 Diperbarui: 28 Juli 2023   07:33 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak | Sumber: Dok. pribadi

Anda pernah mendengarkan lagu-lagu yang bertemakan anak ? Hampir bisa dikatakan, semua lagu tentang anak berirama syahdu. Belum lagi syairnya, menggambarkan tentang harapan masa depan dan cinta. Sebagai contoh salah satu lagu tentang anak berjudul “Hadiah Tuhan” pernah dipopulerkan oleh Nagita Slavina. Begini syairnya:
“Bila aku kumpulkan. Semilyar para penyair. Tuk lukiskan indahnya hidup. Namun tak bisa mengalahkan. Keindahan yang ini. Hadiah terindah. Kau buah cintaku. Hadirmu luar biasa. Semua yang pernah aku dapat. Tak sebanding dengan hadirmu. Semoga bahagia engkau. Di dalam dekapan aku. Semoga ku bisa menjaga fitrahmu. Dengarlah aku bisikan. Bahaya dan aman dunia. Pastikan ku jaga engkau hadiah Tuhan. Terima kasih oh Tuhan. Engkau mempercayaiku. Dia tiup kencang. Sampai ku lahirkan engkau. Doaku tak akan bisa diurai dengan apapun. Selamatlah engkau. Hadiah Tuhan. Terimakasihku atas hadiahMu.”

Tergambar betapa sangat bahagianya kedua orang tua yang sedang memperoleh hadiah dari tuhannya. Bahkan semilyar penyair pun tidak akan mampu melukiskan kebahagiaan yang luar biasa itu.
Semua yang pernah didapat oleh orang tuanya, tidak sebanding nilainya dengan kehadiran seorang anak. Sungguh hadiah yang luar biasa dari tuhan. Do’a kesuksesan bagi anak dan bersyukur kepada tuhan.

Dari lagu itu, mengingatkan semua orang tua bahwa anak adalah “hadiah” dari tuhan dan mempercayakan amanah kepada orang tuanya, yang harus dipertanggungjawabkan masa depannya. Orang tua ingin mengungkapkan kasih, cinta, dan harapan untuk anak-anaknya. Do’anya terus dipanjatkan untuk keselamatan anaknya, agar hidupnya kelak berbahagia. Karena anak adalah hadiah yang sudah diberikan oleh tuhan.

Begitulah adanya, anak merupakan dunia yang penuh misteri.
Dari dirinya bisa tercipta suasana apa saja: tangisnya, tawanya, binar bola matanya, gerak tangannya.
Ketika bersusah payah hendak tengkurap, sudah mengejutkan seisi rumah. Ketika mulai belajar merangkak, menjadi pemandangan yang luar biasa. Mulai belajar berjalan, langkah kakinya sangat menakjubkan. Belum lagi suara-suara yang keluar dari lidahnya, semuanya indah. Semuanya membuat siapa saja yang melihat terkagum-kagum.

Lalu anak mulai besar, akil baligh, dewasa, dan seterusnya. Akhirnya jadi apa ?
Berjuta kemungkinan bisa terjadi: jadi presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, politikus, ilmuwan, pengusaha, ahli hukum, dokter, perawat, bidan, pramugari, pilot, pengemudi online, content creator, blogger, youtuber, vlogger, gamer, influencer, dan sebagainya.
Bahkan kemungkinan terburuk sekali pun bisa terjadi: anak tidak menjadi apa-apa.

Begitu misterinya seorang anak di tengah-tengah keluarga, mendorong para ahli terutama di bidang pendidikan dan psikologi anak, mempelajari tumbuh kembang anak dari sejak kecil, dari aspek perkembangan fisik, kognitif dan sosial-emosional.

Psikologi Anak tidak hanya mendeskripsikan atau mengkaji tumbuh kembang anak, juga menerapkannya dalam upaya membantu anak-anak mempersiapkan masa depan kehidupannya yang baik, di sepanjang hidupnya.

Kemudian dalam prakteknya, dari psikologi anak ini muncul cabang psikologi pendidikan yang khusus untuk memberi dukungan kepada anak dalam dunia pendidikan. Lalu dalam rangka memberikan dukungan bagi anak-anak yang mengalami hambatan atau gangguan dalam proses perkembangan anak, ada cabang psikologi klinis.

Sungguh perhatian yang begitu besar diberikan, semua demi anak. Demi masa depan anak agar dirinya kelak bisa mempunyai kehidupan yang berkualitas.

Menurut John Locke (1632-1704), salah satu tokoh utama yang memopulerkan teori Environmental Psychology, anak merupakan individu yang masih bersih dan peka terhadap berbagai rangsangan yang timbul dari lingkungan. 

Doktrin inti aliran ini ialah Tabula Rasa, yang menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan tanpa membawa pengetahuan apapun dan kemampuan apapun. Tidak ada yang namanya ide bawaan (innate idea), yang merupakan beberapa konsep pasti (certain knowledge) dalam benak seseorang ketika dilahirkan. Ia bagaikan selembar kertas putih yang siap diisi oleh pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman pengindraan. 

Kemudian John Amos Comenius (1592-1670), tokoh ilmuwan pendidikan, guru, dan seorang Bapak Pendidikan Modern, mengatakan bahwa, “anak merupakan karunia Tuhan kepada manusia yang karenanya, harus dirawat, dipelihara, dididik dengan baik, tidak dengan kekerasan dan pukulan”. 

Begitu konsennya terhadap pendidikan, pada jamannya, ia bahkan sudah memetakan fase perkembangan anak yaitu: fase sekolah ibu (scola maternal), usia 0 – 6 tahun; fase sekolah bahasa ibu (scola vernacula), usia 6 - 12 tahun; fase sekolah bahasa (latin) (scola latina), usia 12 - 18 tahun; dan fase sekolah tinggi (scola academia), usia 18 - 24 tahun. Itu semua dipetakan agar efektif dalam mendidik anak sejak dini.

Baca Juga: Anak Di Tengah Gunung Sampah

Lalu Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, semboyannya yang masih tetap populer hingga saat ini dan menjadi ciri khas pendidikan nasional adalah ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani, yang memiliki makna di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.

Ki Hajar Dewantara sangat fokus dan perhatian terhadap pentingnya pendidikan anak. Karena pendidikan merupakan wadah bertumbuhnya nilai-nilai moral kemanusiaan yang dapat diwariskan sampai kapan pun. Dasar pendidikan anak harus disesuaikan dengan kodrat dimana anak tumbuh dan berkembang, yaitu kodrat alam dan kodrat zaman.

Kodrat alam akan memberi warna bagi anak dengan nilai-nilai sosial budaya lokal Indonesia serta kondisi alam geografisnya. Sedangkan kodrat zaman akan mendidik anak mengikuti perkembangan global terbaru di zamannya. Seperti konsep dasar pendidikan pada saat ini dengan 4Cnya: Creativity and Innovation, Collaboration, Communication, Critical Thinking and Problem Solving. Dengan konsep tersebut anak-anak diberi kesempatan yang luas untuk berpikir deduktif dan induktif agar mampu melahirkan karya-karya inovatif.

Dalam perspektif Islam, membentuk anak agar sesuai dengan harapan orang tuanya, dimulai sejak proses paling awal. Calon anak, terjadi karena adanya sebab hubungan badan suami-istri. Pada saat itu, sudah diawali dengan do’a agar proses yang berlangsung tidak disusupi oleh setan. 

Lalu pada masa kehamilan, suami-istri juga dituntut untuk selalu mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta, Allah SWT dengan cara hari-harinya diisi dengan dzikir, baca Al-Qur’an, mengucapkan kalimah-kalimah thayibah. Terutama pada saat usia kandungan memasuki usia 120 hari, saat ruh ditiupkan ke dalam janin. Harapannya, agar anak yang lahir nantinya sehat lahir-batinnya serta diberi ketentuan yag baik.

Dalam hal makanan, juga sangat dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan janin dengan makanan yang halalan-thayiban. 
Halal menyangkut cara memperoleh rizkinya dan cara mengolahnya. Thayiban menyangkut kandungan makanan yang bergizi dan sehat.

Ketika anak lahir, langsung diperdengarkan kalimah thayibah sebelum mendengar suara-suara yang lain. Diperdengarkan suara adzan di telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya,.

Pada proses tumbuh-kembangnya, dari sejak lahir anak diberi ASI hingga 3 tahun. Ketika mulai besar, usia 7 tahun diajarkan shalat dan mulai diperkenalkan dengan jati dirinya dengan cara memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan anak perempuan. Ketika usia 10 tahun, boleh ditegur agak keras ketika ia melalaikan shalatnya.

Anak adalah amanah dari tuhan yang diberikan kepada orang tuanya. Masing-masing mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah ini di hari perhitungan kelak. Dalam memperingati Hari Anak Nasional ke-39 kali ini, waktu yang tepat untuk merefleksikan tanggungjawab menumbuhkembangkan anak-anak ini sebagai bagian kesadaran kita, bahwa anak-anak bukan hanya milik kedua orang tuanya, lebih dari itu, anak merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan dididik sebaik mungkin untuk Indonesia Maju. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun