Kedua, para sahabat merasa bersedih berpisah dengan bulan Ramadhan, karena mereka amat khawatir dan ketakutan jika seandainya seluruh amaliahnya selama bulan Ramadhan, tidak memperoleh nilai di hadapan Allah SWT.
Mereka sangat ketakutan jika shaum Ramadhan yang dilakukannya, hanya memperoleh lapar dan dahaga saja. Mereka sangat ketakutan jika segala bentuk ibadah yang dilakukannya, hanya sebagai haba'an mantsura, sebagai debu yang beterbangan karena tidak dilandasi rasa keikhlasan. Tanpa memberikan manfaat apapun baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Mereka pun serba ketakutan jika selama bulan Ramadhan, lahir-batinnya tidak bisa lepas dari rasa iri, ria, ujub, takabur, sombong, dengki, bakhil. Semuanya tidak memperoleh nilai sama sekali di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui. Dengan itu pula mereka khawatir bahwa target ketakwaan terlepas dari dirinya.
Dengan alasan tersebut, wajar jika Ali bin Abi Thalib r.a. selalu berlinang air mata setiap malam-malam menjelang berakhirnya bulan Ramadhan: "Duhai, dapatkah kiranya aku mengetahui siapakah gerangan orang yang telah pasti diterima amalan puasanya, agar aku dapat mengucapkan selamat berbahagia kepadanya? Dan siapakah orangnya yang bernasip malang karena tidak diterima puasanya oleh Allah SWT, agar aku dapat menghibur hatinya?"
Lain Ali bin Abi Thalib r.a. lain pula Ibnu Mas'ud, ia berkata, "Wahai saudaraku yang telah pasti diterima ibadah puasanya, selamat dan berbahagialah dirimu. Wahai saudaraku yang telah ditolak ibadah puasanya, aku turut berdo'a semoga Allah SWT akan menutup bencana yang akan menimpa dirimu."
Para mufasir berpendapat bahwa atas dasar itu pula tahniah (ucapan selamat) menjadi biasa dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW ketika saling bertemu dengan para sahabat yang lainnya ketika Idul fitri. Mereka saling menyampaikan do'a, Taqabbalallahu minna waminku (waminkum), yang artinya "Semoga Allah SWT berkenan menerima (amaliah Ramadhan) diriku dan dirimu", dan bukan ucapan: "Mohon maaf lahir dan batin."
Betapa nyaman dan tenteramnya seandainya tata-cara serta adab para sahabat Rasulullah SAW itu dapat kita teladani. Lalu kita terapkan, minimal di lingkungan terkecil: Keluarga.
Setiap kali kita menghadapi hari-hari terakhir bulan Ramadhan, dan menyambut hari raya Idul Fitri, kita tidak perlu bersikap tergesa-gesa untuk mudik., minimal berita musibah kecelakaan di jalan raya yang mengerikan, yang menyertai berita mudik, tidak lagi menghiasi setiap perayaan Idul fitri.
Semoga umat Islam yang sedang mudik pada tahun ini, diberi kelancaran dalam perjalanan dan selamat sampai tujuan, bertemu sanak saudara di kampung halaman.
Taqabbalallahu minna waminkum (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H