Peranan seorang istri dalam sebuah keluarga, sangatlah strategis dan penting. Istri yang shaleha dapat mendatangkan rahmat, demikian pula sebaliknya karena istri yang tidak shaleha, keluarga bisa hancur.
Dari kenyataan itu, peran seorang istri tidak dapat diabaikan dalam membangun sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Dengan begitu, bagi seorang pemuda yang sedang memilih calon istri, cermat memilih merupakan sikap yang perlu menjadi perhatian. Sebab, salah memilih, dampak yang dirasakan akan terus berlanjut hingga usia tua.
Islam mengajarkan, bahwa memilih calon isteri harus diawali dengan niatun khalisa (niat yang suci), kemudian ta’aruf (mengenal/perkenalan), dan yang terakhir menentukan pilihan dengan memohon bantuan Allah SWT, melalui istikharah.
Dalam urusan pemilihan calon istri, hampir semua laki-laki menginginkan seorang wanita yang cantik dan shaleha, akan tetapi perlu diingat ada pepatah mengatakan, “Bila dirimu menginginkan istri seperti Siti Fatimah r.a. putri kesayangan Rasulullah, maka jadikanlah dirimu sendiri seperti Ali bin Abi Thalib r.a.” Maksudnya, jodoh adalah yang setara, seimbang atau setingkat keimanannya. Istilah syar'inya, kufu.
Setelah pernikahan, laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban utama dan berat, yaitu menjadi imam dalam rumah tangga yang harus menafkahi, mendidik serta membimbing istri dan anak-anaknya, sehingga menjadi orang-orang yang shaleh dan shaleha serta baik akhlaknya.
Pertanyaannya, “Wanita yang bagaimanakah yang shaleha, baik akhlaknya, yang menjadi idaman laki-laki itu ?”
Untuk memudahkan menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita buka riwayat indah antara jujungan kita Rasulullah SAW dengan putri kesayangannya Siti Fatimah r.a.
Diriwayatkan bahwa pada suatu kali Rasulullah SAW memanggil putri kandungnya. Beliau bersabda, “Fatimah, anakku, maukah engkau menjadi seorang perempuan yang baik budi dan seorang istri yang dicintai suami ?”
Jawab Fatimah, “Tentu saja, ya ayahku.”
Kemudian Rasulullah bersabda, “Tidak jauh dari rumah ini berdiam seorang perempuan yang sangat baik akhlaknya. Perempuan itu bernama Siti Muthi’ah. Coba kau temui dia dan teladani akhlaknya yang baik itu.”
Siti Fatimah r.a. yang selalu patuh itu, segera memenuhi kehendak ayahnya dan ingin sekali mengetahui amaliyah apa yang dikerjakan Siti Muthi’ah sehingga ia dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang perempuan yang sangat baik akhlaknya.
Dengan mengajak putranya Hasan yang masih kecil, mereka berkunjung ke rumah Siti Muthi’ah. Sesampainya di rumah Siti Muthi’ah, ia mengucapkan salam. Nyonya rumah membukakan pintu. Betapa gembira Siti Muthi’ah bercampur heran melihat tamunya itu adalah Siti Fatimah r.a..
“Apa gerangan maksud kedatangan putri Nabi SAW itu.” Tanyanya dalam hati.
Setelah Siti Fatimah mengutarakan maksudnya, dengan ramah Siti Muthi’ah menyatakan penolakannya. “Wah, bahagia sekali aku menyambut kedatanganmu ini, Fatimah. Namun, maafkanlah aku, sahabatku, sesungguhnya aku hanya dapat menerima kedatanganmu saja. Sesungguhnya suamiku, telah beramanat bahwa aku tidak diperbolehkan menerima tamu lelaki dirumah ini.”
Siti Fatimah menjawab sambil tersenyum, “Ini Hasan, putraku sendiri wahai Muthi’ah. Dan lagi, ia kan masih anak-anak”.
Siti Muthi’ah menjawab lagi, “Namun, sekali lagi maafkan aku, walaupun ia masih kecil, tetapi ia laki-laki. Sungguh aku tidak berani melanggar wasiat suamiku!”
Pada saat itu, Siti Fatimah mulai merasakan keutamaan Siti Muthi’ah seperti yang dikatakan ayahnya. Sehingga ia semakin menggebu ingin mengetahui lebih dalam akhlaq wanita itu.
Kemudian Siti Fatimah berkata lemah lembut, “Kalau begitu, baiklah Muthi’ah. Sangat kuhargai keteguhan hatimu dalam mengemban amanah suami.” Lalu, Siti Fatimah mengantarkan pulang anaknya.
Tidak berapa lama ia telah datang kembali ke rumah Siti Muthi’ah. Perempuan itu menyambutnya dengan senang hati seraya membimbing Fatimah masuk rumah.
“Aku jadi berdebar dan bertanya-tanya. Sesungguhnya apa sebenarnya maksud kedatanganmu kesini, wahai sahabatku? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting sekali. Hal apakah itu, wahai putri Rasulullah?”
“Memang benar, Muthi’ah. Ada berita gembira buatmu dan ayahku sendirilah yang menyuruhku datang kemari.”
“Rasulullah ? Katakanlah segera, wahai Fatimah. Berita gembira apakah itu ?”
“Ayahku mengatakan bahwa engkau adalah seorang wanita yang berakhlak sangat baik. Kedatanganku ke sini tiada lain adalah ingin meneladani akhlakmu.”
Hati siapa yang tidak akan menggunung rasanya bila Rasulullah sendiri yang memuji dirinya tentang keutamaan dan kelebihan yang dimilikinya. Rasanya tidak ada kebanggaan diatas dunia ini yang melebihi kebanggaan mendapat pujian yang tulus dari Rasulullah SAW.
Namun, Siti Muthi’ah masih merasa ragu, dan berkata, “Engkau sedang bercanda, sahabatku? Keutamaan akhlak seperti apa yang kumiliki ? Aku tidak merasa mempunyai keutamaan apapun. Aku ini wanita biasa saja seperti yang engkau lihat. Sungguh tidak ada sesuatu yang dapat kusampaikan kepadamu mengenai keutamaan akhlak yang perlu kau teladani. Aku merasa tidak mempunyai kelebihan. Engkau tengah bercanda, bukan”
“Aku tidak berbohong Muthi’ah. Sesungguhnya Rasulullah SAW yang mengatakan demikian. Terimalah berita gembira ini dengan penuh syukur. Ceritakanlah padaku tentang akhlak yang utama itu.”
Sementara Siti Muthi’ah masih terperangah mendengar berita itu. Ia terdiam, sambil tetap berpikir. Bersamaan dengan itu, secara tak sengaja Siti Fatimah melihat sebilah rotan, sebuah kipas dan sehelai handuk kecil di ruangan itu. Ia merasa tertarik melihat ketiga macam benda itu.
Dipecahlah kesunyian itu. “Buat apa ketiga benda ini, wahai Muthi’ah ?”
Siti Muthi’ah tersenyum malu. “Ah, aku malu menceritakannya kepadamu, wahai Fatimah putri Rasulullah.”
“Ceritakanlah, mungkin ketiga benda ini yang menjadi kunci kelebihan akhlakmu yang dikatakan Rasulullah itu.”
Kemudian Siti Muthi’ah mulai menceritakannya, “Engkau tahu, Fatimah, suamiku bekerja keras memeras keringat untuk membiayai kehidupan keluarga kami dari hari ke hari. Oleh karenanya, aku sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang dari bekerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya. Kubukakan bajunya dan kulap tubuhnya dengan handuk kecil ini hingga kering. Sesudah kukeringkan tubuhnya, ia berbaring di tempat tidur melepaskan lelahnya. Maka, aku mengambil kipas itu lalu dengan penuh kasih sayang, aku kipasi tubuhnya sampai hilang lelahnya atau ia menjadi tertidur dengan pulas.”
Mendengar penuturan dari Siti Muthi’ah tersebut, Siti Fatimah r.a. berkata, “Sungguh luar biasa akhlakmu, ya Muthi’ah !”, dan ia pun menyadari bahwa dirinya sendiri tidak pernah berbuat hal yang demikian pada suaminya Ali bin Abi Thalib r.a.
“Lalu, apa fungsi sebilah rotan itu, ya Muthi’ah ?” lanjut Fatimah.
“Kemudian, aku berpakaian serapi mungkin dan semenarik mungkin, karena aku tahu lelaki itu senang sekali bila melihat istrinya berpakaian rapi untuknya. Dan hal itu, menjadi salah satu daya pikat bagi suami agar tetap betah berdiam di rumah. Setelah ia terbangun dan mandi, aku telah siap menyediakan makan dan minum untuknya. Setelah semuanya selesai, aku berkata kepadanya: ‘Oh, suamiku bilamana pelayananku sebagai istri dan masakanku tidak berkenan di hatimu, maka aku bersedia menerima hukuman darimu dengan ikhlas. Silahkan pukul badanku dengan rotan ini dan sebutkanlah kesalahanku itu agar aku tidak berbuat lagi pada waktu yang akan datang.’ Kemudian kubuka bajuku dan rotan itu kuserahkan kepadanya.”
“Seringkah engkau dipukul dengan rotan ini ?” selidik Siti Fatimah r.a..
“Tidak pernah ! Bukan rotan yang diambilnya, tetapi tubuhku yang ditariknya dan didekapnya dengan penuh kemesraan. Itulah bagian dari kebahagian kami sehari-hari.”
“Jika demikian, sungguh luar biasa, Muthi’ah ! Sungguh luar biasa ! Maka benarlah ayahku mengatakan engkau perempuan yang berakhlak sangat baik !” kata Siti Fatimah r.a. ia pun berpamitan dan segara berlalu meninggalkan rumah Muthi’ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H