Pernah ada seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW untuk memohon wasiat agar dia dapat memperoleh manfaat di dunia dan akhirat. Lalu Nabi bertanya, “Apakah kamu masih mempunyai ibu-bapak ?” Lelaki itu menjawab, “Masih, ya Rasul”, maka Nabi SAW menasihatinya, “Apabila hak mereka berdua kamu penuhi, dan kamu taati mereka maka dari setiap suap makanan (bagi mereka berdua) kamu mendapatkan sebuah gedung di surga”.
Dari nasihat itu rupanya membangun gedung di surga itu mudah. Betapa tidak, setiap suap makanan bagi kedua orang tua, telah terbangun pula gedung di surga. Namun kenyataannya membangun gedung tidak semudah merobohkannya, begitu juga bangunan di surga, hanya dengan bermuka muram atau sedikit berkata yang tidak mengenakkan kedua orang tua, maka bangunan itu akan roboh. Apalagi marah serta mengabaikan keberadaan mereka, bukan hanya segala amal kebaikan terhapus bahkan pelakunya bisa diseret ke pengadilan Allah SWT dengan vonis neraka.
Ada lagi, seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW mengadukan bahwa ayahnya telah mencuri hartanya. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh lelaki itu pergi dan datang kembali bersama ayahnya. Ketika ia pergi datanglah malaikat Jibril menemui Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, Allah menyampaikan salam untukmu dan berfirman: ‘Jika orang tua anak itu tiba, tanyakanlah apa yang telah dia ucapkan dalam hatinya, yang tidak terdengar oleh kedua telinganya’.”
Lantas malaikat Jibril pergi. Tidak lama kemudian lelaki tadi datang bersama ayahnya. Nabi SAW kemudian bertanya kepada ayah lelaki itu, “Mengapa anakmu mengadu bahwa engkau mencuri hartanya ?”
“Ya Rasulullah SAW, tanyakanlah kepadanya, harta itu aku dermakan kepada siapa; kepada salah seorang bibinya atau untuk diriku sendiri ?” jawab ayah lelaki tadi.
“Ceritakanlah kepadaku apa yang kau ucapkan dalam hatimu yang tidak didengar oleh kedua telingamu ?” tanya Rasulullah seperti yang diajarkan oleh malaikat Jibril.
“Demi Allah wahai Rasulullah, Allah selalu membuat kami semakin yakin kepadamu. Aku memang telah mengucapkan sesuatu dalam hatiku yang tidak didengar oleh kedua telingaku.” jawabnya.
“Sampaikanlah, aku akan mendengarkannya” Jawab Nabi SAW,
Tidak diduga, ayah lelaki tadi membacakan sebuah syair untuk sang anak, permata hatinya: Ketika engkau lahir, aku memberimu makan; Dan ketika engkau tumbuh dewasa, aku selalu menjagamu; Engkau diberi minum dari jerih payahku; Jika malam hari engkau sakit, Maka, sepanjang malam aku tidak tidur; Bergadang memikirkan penyakitmu, hingga tubuhku sempoyongan karena kantuk; Seakan-akan aku yang sakit, bukan kau;
Air mataku pun mengalir deras; Dan jiwaku khawatir kau akan mati; Padahal Dia tahu bahwa ajal akan tiba sesuai waktunya; Saat engkau mencapai usia yang tepat, Saat dimana kuharapkan dirimu; Kau balas diriku dengan kekejaman dan kekasaran; Seakan-akan engkau pemberi nikmat; Dan yang dermawan; Andai saja ketika tak dapat kau penuhi hakku sebagai ayah; Kau perlakukan aku sebagai tetangga; Yang hidup berdampingan.
Mendengar syair itu, Rasulullah pun meneteskan air mata dan berkata kepada anak tersebut, “Dirimu dan hartamu adalah milik ayahmu.”
Kisah di atas menunjukkan betapa besar hak orang tua terhadap anaknya, dia berhak atas anaknya secara lahir-batin. Tidak ada seorang pun yang dapat menggeser kedudukan orang tua atas anak laki-lakinya.
Kisah Alqamah, seorang pemuda yang hidup di masa Rasulullah SAW. Ia dikenal sebagai pemuda ahli ibadah yang selalu shalat berjama’ah, berada di shaf paling depan dalam jama’ah yang diimami oleh Rasulullah SAW. Ketika ajal menjelang, dia sama sekali tidak dapat mengucapkan kalimah syahadat. Nabi SAW diberi tahu tentang hal itu. Lalu Nabi bertanya, “Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua ?” Seseorang menjawab, “Ayahnya telah meninggal dunia, tapi dia masih mempunyai ibu yang sudah tua.” Kemudian Nabi pun mengutus seseorang untuk memanggil ibu Alqomah.
Ibu Alqamah bercerita, “Wahai Rasulullah SAW, anakku menunaikan shalat begini dan begitu, dia berpuasa begini dan begitu dan menyedekahkan sejumlah dirham yang aku tidak mengetahui jumlah dan timbangannya.”
Nabi bertanya lagi, “Bagaimana hubunganmu dengan dia ?”
“Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku benar-benar sangat marah kepadanya. Ia lebih mementingkan isterinya dari pada aku. Anakku menaati isterinya dalam segala hal.”
“Rupanya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan anaknya untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah,” Sambung Rasulullah SAW kepada orang sekeliling, lalu beliau memberi perintah kepada Bilal, “Hai Bilal, pergi dan kumpulkan kayu bakar yang banyak. Aku akan membakar Alqamah.”
Mendengar apa yang dikatakan Nabi SAW, sang ibu itu pun terperanjat dan memohon, “Wahai Rasulullah, anakku dan buah hatiku akan kau bakar dengan api di hadapanku ? Akan tegakah hatiku ?”
Rasulullah SAW bersabda, “Jika ampunan Allah baginya menyenangkanmu, maka relakan dia. Demi Tuhan yang diriku berada pada kekuasaan-NYA, sesungguhnya shalat dan sedekahnya tidak akan bermanfaat selagi engkau masih marah kepadanya.”
Sang ibu lalu berdo’a, “Aku bersaksi kepada Allah di langit-NYA dan Engkau wahai Rasulullah serta orang-orang yang hadir, bahwa sesungguhnya aku telah merelakannya.”
“Hai Bilal,” kata Nabi SAW, “Pergi dan lihatlah apakah Alqamah bisa mengucapkan Laa ilaaha illallah ? Barangkali ibunya berkata tidak setulus hati karena malu kepada Rasulullah.”
Maka Bilal pergi dan mendengar Alqamah mengucapkan, “Laa ilaaha illallah.” Pada saat itu juga Alqamah meninggal dan Nabi SAW menyolatinya.
Di tepi kuburan Alqamah Rasulullah SAW bersabda, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, barang siapa yang lebih mengutamakan isterinya daripada ibunya, maka ia akan dilaknat oleh Allah dan tidak akan diterima taubat dan pahalanya.”.
Akhirnya dengan ampunan dan ridha ibunya, Alqomah baru bisa bersyahadat dengan lancar di akhir hayatnya. Begitulah kekuatan ridha ibu.
Dari Anas ra. diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak seorang pun yang ibu-bapanya meninggal dunia dalam keadaan tidak meridhoinya, kecuali Allah akan mengeluarkan ruhnya dalam keadaan tidak bersyahadat, dan dia hanya keluar dari kubur sedang pada wajahnya tertera tulisan: ‘Inilah balasan orang yang durhaka terhadap kedua orang ibu-bapanya’.”
Kisah seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “Ya Rasulullah SAW, saya mempunyai seorang ibu. Sebagai anaknya saya telah memberikan nafkah kepadanya, tapi dia terus menerus menyakiti saya dengan lidahnya, apa yang mesti saya perbuat ?” Dengan tegas Rasulullah SAW menjawab, “Tunaikan haknya. Demi Allah, sekiranya kamu potong dagingmu, kamu belum dapat melunasi seperempat haknya. Belum jugakah kamu mengerti bahwa surga berada di telapak kaki ibu ?”
Suatu hari seseorang bertanaya kepada Rasulullah SAW tentang amalan apakah yang paling afdhal. Beliau SAW menjawab, “Shalat tepat pada waktunya, kemudian berbuat baik kepada kedua orang tua, seterusnya adalah jihad fii sabilillah.”
Suatu ketika lewat seorang pemuda gagah dan kuat di depan masjid, lantas para sahabat berkomentar, “Andai kekuatan dan kesehatan yang telah diberikan kepada pemuda itu dimanfaatkan untuk berjihad di jalan Allah tentu akan lebih banyak manfaatnya.” Mendengar komentar itu Rasulullah bersabda, “Menjaga orang tua yang sudah lumpuh termasuk jihad juga.” Pemuda itu memang mempunyai ibu yang sudah tua dan lumpuh sedangkan yang menjaga dan merawatnya tidak ada kecuali pemuda itu sendiri.
Wasiat-wasiat Rasulullah SAW yang menunjukkan begitu eratnya hubungan anak dengan orang tua masih banyak. Pada Ramadhan kali ini, mari menengok diri kita sendiri, dan tanyakan: "Sudahkah kita menghargai dan menghormati kedua orang tua kita ?" (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H