BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Magetan, khususnya di desa Sukowidi dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Magetan.
Sedemikian rumitnya ritual tingkeban ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan segera merespon negatif terhadap hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya, khususnya piranti yang berupamakanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum pelaksanaan acara, seperti jenang dodol. Bahkan ada beberapa piranti yang hasus terbuang sia-sia. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum sadar akan hal itu, bahkan mengaggapnya wajar.
Gunung Lawu bagi sebagian besar masyarakat Magetan sangatlah sacral keberadaannya. Awalnya semua adapt istiadat dan budaya daerah sekitar gunung tersebut, termasuk lereng sebelah timur pun berkiblat pada Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.Aan tetapi ketika runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400, terjadi akulturasi budaya dengan Kerajaan Majapahit. Hal ini terjadi karena raja Majapahit Prabu Brawijaya V memilih arah barat sebagai tempat pelariannya ketika penyerangan oleh pasukan Islam. Dan pelarian itu menunjukkan jalan kepada Prabu Brawijaya V sampai di Gunung Lawu sebagai tempat pelariannya hingga akhir hayatnya
Desa Sukowidi yang berada tepat di lereng sebelah timur . Sesuai dengan perajalanan Prabu Brawijaya V dan pasukannya yang melarikan diri dari serbuan pasukan Islam yang melewati kaki gunung sebelah timur, maka sedikit banyak telah memberikan pengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat Sukowidi. Banyak diantara nama-nama dusun di Sukowidiyang diyakinimerupakan bukti perjalanan Brawijaya V tersebut, secara administrative Sukowidi berada di wilayah Kecamata Panekan , dan terbagi dalam tiga dusun, yaitudusun Sukowidi, dusun Sempu dan dusun Nerang.
Sebagai daerah perbatasanantara Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi, Panekan sangat ramai dalam hal perdagangan. Berbatasan langsung dengan Kecamatan Kendal di sebelah utara. Terbagi menjadi enambelas desa dan satu kelurahan. Pempangunan fisik yang serentak diberbagai sektor untuk menunjang semua kepentingan umum mulai dilaksanakan sejak lima tahun terakhir. Selain itu Panekan juga dilewati akses jalan provinsi penghubung antara Magetan dan Karanganyar di desa Milangasri dan desa Cepoko.
Dari beberapa pemaparan di atas, penulis memilih judul tersebut karena merupakan tradisi warisan leluhur yang masih dianggap sangat sakral. Demikian juga dengan memilih desa Sukowidi sebagai tempat penelitian karena letaknya yang berada di lereng gunung Lawu yang dahulunya telah terjadi akulturasi antara budaya Yogyakarta dan Majapahit. Selain itu juga ditunjang sarana transportasi yang menunjang, serta didukung dengan sumber-sumber data yang relevan.
B.Rumusan Masalah
1.Seperti apa sejarah munculnya Tingkeban itu?
2.Apa saja perlengkapannya serta bagaimana prosesinya?
3.Adakah Kaitannya antara tradisi tersebut dengan ajaran Islam?
C.Tujuan Penelitian.
1.Untuk mengetahui sejarah munculnya upacara Tingkeban.
2.Untuk mengetahui hal-hal yang disiapakan serta jalannya upacara Tingkeban.
3.Untuk mengetahui kaitan antara upacara Tingkeban dan ajaran Islam.
D.Manfaat Penelitian.
Penelitian ini kami laksanakan dengan harapan agar masyarakat setempat khususnyadapat memahami tradisi tersebut secara benar, baik dipandang dari segi budaya maupun ajaran agama. Selain itu tilisan ini juga sebagai sarana berlatih bagi penilis untuk meningkatkan kemampuan menulis penulis. Dan sebagai media pewarisan ilmu oleh sesepuh desa kepada generasi penerus.Dengan adanya karya tulis ini penulis berharap dapat memberi sedikit sumbangan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magetan sebagai suatu tulisan ilmiah tentang budaya Magetan. Selain itu, mungkin dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian-penelitian serupa dikemudian hari
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sejarah Munculnya Tingkeban
Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Magetan, khususnya di desa Sukowidi dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Magetan.
Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan, memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi tidak pila membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya[1]
Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyu’, dan senantiaasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain itu, mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan dibarengi permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalahtakir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading yang masih muda.
Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti Kang Mubahing Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama TingkebanDengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual tingkeban tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyaraka Jawa khususnya di desa Sukowidi dan sekitarnya.
B.Perlengkapan dan Rangkaian Acara Tingkeban.
Dahulu masyarakat Magetan mengenal tiga teradisii yang harus dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi Neloni[2], Tingkeban atau Rujakan[3] dan Procotan[4]. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu tetapi ubo rampe atau pirantinya yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap disediakan.
Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu[5] genap dan jumlahnya 12 atau 16.
Tabel 1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa
No
Nama Hari
Neptune
No
Nama Pasaran
Neptune
1
Akhad
5
1
Pon
7
2
Senin
4
2
Wage
4
3
Selasa
3
3
Kliwon
8
4
Rabu
7
4
Legi
5
5
Kamis
8
5
Pahing
9
6
Jum’at
6
7
Sabtu
9
Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon, Senin Kliwon, Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8 dan Kliwon memiliki neptu 8 jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon memiliki neptu 12 dan Akhad Pon memiliki neptu 12.
Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga sangat rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari sumuanya memiliki werdi atau makna sendiri-sendiri.
Tabel 2. Piranti Ritual Tingkeban
No
NamaRitual
Waktu Seharusnya
Piranti
1
Neloni
Tiga bulan dari masa mengandung
Takir plontang 4 buah
Golong 7 buah
Jajan pasar
Jenang abang
Jenang putih
Jenangkuning
Jenang ireng
Jenang sengkolo
2
Tingkeban
Enam bulan dari masa kehamilan
Woh-wohan
Punar 2 buah
Kembang setaman
Sesaji dakripin(Suro ganep)
Daun dadap srep
Daun beringin
Daun andong
Janur
Mayang
Jenang abang
Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
3
Procotan
Delapan bulan dari masa kehamilan
Jenang abang
Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
Jenang inthil-inthil
Jenang sewu(dawet)
Jenang sempuro
Jenang kembo
Jenang procot
Jenang arang-arang kambang
Ketupat lepet
Upacara tersebut dimulau denga acara kenduri telon-telon yang dihadiri oleh tetangga, kerabat,sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti telon-telon dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti dihidangkan berjonggo atau sesepuh desa ngujubne yaitumenjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan menjelaskan makna satu per satu dari makanan yang telah terhidang. Dengan sautan undangan dengan kata-kata nggeh disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh berjonggo. Satu per satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan do’a, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah tersedia.
Selesai upacara yang pertama yaitu upacara telon-telon, dengan menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban inilah yang penulis anggap sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya diyentukan dan tidak boleh dilanngar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata beberapa lembar kain jarit batik di tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah sabitr besar diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunngu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper [6] dan bumbu rujak.Setelah semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan duduk bersanding di atas kain jari yang telah tertata. Sesepuh desa membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk ducapkan oleh shohibul hajat.Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah ”Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Ggusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama,ambeg utama, yen lanang kadya Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”
Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh menengok ke belakang.Sesampainya di depan pintu, calon bapakmemecah kelapa muda dengan sabit yang dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir. Upacara ini disebut juga upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Di sisi lain nenek dari jabang bayi tersebut menumbuk bumburujak yang telah disiapkan hingga halus. Usaimenyampar cangkir dan memecah kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama. Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi ini dilakukan oleh calon ibi dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang berbeda. Ibu akan memakai model kain ynag terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Tabel 3. Jenis Kain dan Maknanya.
No
Jenis Kain Batik
Maknanya
1
Sidomukti
Kebahagiaan
2
Sidoluhur
Kemuliaan
3
Truntum
Nilai-nilai yang selalu dipegang teguh
4
Parang Kusuma
Perjuangan untuk hidup
5
Semen Rama
Akan lahir anak yang cinta kasih kepada orang tua yang sebentar lagi akan menjadi bapak dan ibu tetap bertahan selama-lamanya.
6
Udan Riris
Anak yang akan lahir akan menyenagkan dalam kehadirannya di masyarakat
7
Cakar Ayam
Anak yang lahir dapat mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri
Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek jabang bayi tersebut selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa buah-buahhn dan dihidangkan kepada para undangan.
Tak lama berselang dari prosesi inti yaitu tingkeban maka langsung melamjutkan prosrsi terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi telon-telon, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah tersaji sesepuh desa ngujubne dan di saksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat- kalimat sesepuh tersebut dengan kata nggeh. Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan hidangan yang ada.
C.Kaitannya Tingkeban dengan Ajaran Islam
Secara eksplisit sebenarnya tidak ada petunjuk yang dapat dijadikan dasar acara tersebut, sehingga ada yang mengatakan acara tersebut sebagai suatu yang sesat(bid’ah). Sebenarnya pelaksanaan tingkepan berangkat dari memahami hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya. Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintahuntuk melakukan ritual, tetapi melakukan permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut, maka kebiasaan orang jawa khususnya Yogya-solo mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang solehdan solehah.
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan uraian panjang di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkeban adalah suatu bentuk inisiasi masyarakat terdahulu, yang mengarapkan dikaruniai anak yang seperti diharapkaserta memperoleh kelancaran baik ketika mengandung maupun saat melahirkan.Tradisi ini dipercaya derawal pada masa Jayabaya yang di wariskan turun temurun hingga sekarang dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Adapun kaitannya dengan ajaran Islam adalah sebagai penghormatan ketika masuknya ruh ke dalam jasad jabang bayi dengan harapan agar ruh yang diberikan adalah ruh yang baik sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik pula.
DAFTAR PUSTAKA
Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 2009
http://www.jelajahbudaya.com/(Jum’at 25 November 2011: 09.00)
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/(Jum’at 25 November 2011: 09.00)
Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
.......................................... Bektijamal Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
.......................................... Betaljemur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
.
[1] Jayabaya adalah seorang rajadari kerajaan Kediri yang sakti mandraguna dan diyakini beliau moksa (musnahnya raga bersamaan dengan ruh dan menuju ke nirwana) diakhir hayatnya
[2] Neloni dilaksanakan ketika masa mengandung memasuki usia tiga bulan sebagai penghormatan atas ditiupkannya ruh kepada si jabang bayi
[3] Tingkeban dilaksanakan ketika masa mengandung memasuki usia enam atau tujuh bulan
[4] Procotan diilaksanakan ketika masa mengandung memasuki usia delapan bulan
[5] Neptu adalah angka-angka yang sudah disepakati sejak dahulu yang melekat pada hari-hari dan pasaran Jawa
[6] Alat untuk menumbuk bumbupada maryarakat Magetan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H