Dua hari menjelang lebaran, tepatnya Senin 3 Juni 2019 terjadi peristiwa mengejutkan di rumah tahanan negara kelas 2B di kota Sigli, Aceh. Sekitar pukul 11.40 siang terdengar sayup-sayup suara keributan dari dalam rutan tersebut. Kebetulan posisi rumah penulis hanya berjarak 50 meter dari Penjara Benteng tersebut, demikian nama popular untuk rutan ini.
Tak lama kemudian terdengar beberapa kali suara letusan senjata, lebih mirip suara petasan sebenarnya. Penulis pun bergegas ke luar rumah, dan menyaksikan beberapa petugas polisi telah berhamburan di depan penjara dengan memegang senjata laras panjang. Warga sekitar penjara pun panik dan saling bertanya satu sama lain. Ada apa gerangan?
Belakangan terungkap para napi berunjukrasa di dalam rutan tersebut. Agaknya petugas rutan kewalahan dan terpaksa meminta bantuan polisi untuk menenangkan suasana. Walau kemudian keadaan malah makin bertambah runyam.
Para napi makin mengamuk dan mulai melakukan pembakaran di dalam rutan. Polisi tidak dapat menyerbu masuk karena keadaan tidak memungkinkan. Sedang di dalam para napi dengan bebasnya menguasai keadaan berbuat anarki, bakar-bakaran dan melempari batu ke petugas di luar.
Pemicu utama amuknya para napi ternyata masalah sepele. Tepatnya terkesan sepele. Petugas rutan secara sepihak menarik kembali dispenser yang sebelumnya diletakkan di setiap kamar tahanan. Dispenser ini sangat membantu para napi terutama selama bulan puasa. Kemudahan yang dinikmati selama ini tiba-tiba direnggut begitu saja tanpa alasan jelas.
Ada dugaan pihak penjaga rutan kecewa dengan adanya dispenser ternyata membuat sebagian tahanan malah tidak berpuasa. Dengan mudahnya mereka merebus mie atau membuat kopi sendiri. Ada juga dugaan lain, kantin di dalam penjara menjadi berkurang pelanggannya. Sejak keberadaan dispenser di kamar-kamar tahanan. Para tahanan lebih senang menikmati racikan kopi sendiri ketimbang harus membayar lagi kalau minum di kantin.
Akhirnya masalah sepele ini menjadi besar disebabkan tiadanya komunikasi yang baik antara kedua pihak. Boleh jadi protes dan kritikan para tahanan tidak begitu digubris oleh pihak petugas. Sehingga akhirnya memicu aksi brutal dan anarkis di dalam bangunan penjara.
Bagi masyarakat sekitar rutan, peristiwa ini cukup mencekam. Betapa tidak, puluhan aparat yang mencoba menyerbu ke dalam dengan menenteng senjata membuat prihatin dan kepanikan tersendiri.
Ditambah lagi dengan kebakaran hebat yang terjadi, menambah kekhawatiran akan meluasnya kebakaran ke rumah-rumah warga sekitar. Walau tak dapat dipungkiri, ini juga menjadi tontonan gratis para warga.
Berikut fakta-fakta yang terungkap selama peristiwa amuk napi di penjara Sigli ini:
- Peristiwa terjadi pada hari Senin tanggal 3 Juni 2019
- Keributan baru disadari oleh warga terjadi sekitar pukul 11.40 siang ditandai dengan diturunkan petugas polisi mengamankan keadaan
- Api mulai marak membakar bagian dalam penjara pada pukul 12 siang
- Pemadam kebakaran mulai tiba di lokasi sekitar pukul 12.30 sebanyak 3 unit, ditambah 1 unit pemadam dari kepolisian
- Sepanjang usaha pemadaman berlangsung, petugas tidak dapat memasuki bangunan penjara. Sehingga pihak pemadam terpaksa menyemprotkan air dari luar penjara.
- Batu-batu beterbangan dari dalam penjara ke arah petugas keamanan di luar, untuk mencegah polisi menyerbu masuk ke dalam penjara.
- Petugas menyemprotkan gas airmata ke dalam bangunan penjara untuk melumpuhkan napi yang mengamuk. Namun tidak efektif, karena makin menambah kemarahan mereka yang di dalam bangunan
- Api baru dapat dipadamkan sekitar pukul 15.00 siang, Dan bangunan depan penjara seluruhnya tidak dapat diselamatkan, ludes dimakan api.
- Proses negosiasi berlangsung alot antara pihak pengelola rutan, kepolisian dan para napi untuk menenangkan suasana.
- Akhirnya sekitar pukul 6 sore menjelang waktu berbuka, barulah keadaan benar-benar kondusif. Pihak keluarga napi banyak yang berdatangan. Biasanya mereka datang untuk menghantar makanan untuk berbuka.
Bagi penulis yang kebetulan berdomisili di sekitar penjara ini merasa cukup prihatin. Sangat disayangkan bangunan penjara negara yang nota bene adalah milik rakyat, yang dibangun dengan uang rakyat, dengan mudahnya dibakar, dimusnahkan, dirusak, hanya karena masalah-masalah sepele. Yang seharusnya masih bisa dicegah, jika masing-masing pihak dapat mengedepankan akal sehat.
Pihak pengelola penjara dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) perlu membuat evaluasi besar-besaran terhadap sistem pengelolaan rutan dan lembaga pemasyarakatan. Sudah bukan rahasia lagi, selama ini kapasitas daya tampung penjara-penjara kita sudah overload. Bayangkan, rutan Sigli ini hanya berkapasitas untuk 150 orang, namun kenyataannya menampung sejumlah 450an orang napi. Berlebih hampir 300%!
Fenomena ini terjadi di semua rutan-rutan yang ada di seluruh tanah air. Bisa dibayangkan, efek yang bakal terjadi apabila timbul masalah-masalah di dalam penjara. Sedangkan masalah dispenser saja sudah memantik emosi yang begitu tinggi. Apalagi masalah-masalah lain seperti keributan antar napi, misalnya.
Khusus untuk penjara Benteng di Sigli ini, penulis berpendapat lokasi bangunan pun sudah tidak layak lagi berada di sana. Sekitar penjara sudah padat dengan perumahan penduduk. Resiko cukup besar ditanggung oleh warga masyarakat seandainya terjadi keributan yang lebih dahsyat lagi di kemudian hari.
Sudah selayaknya penjara ini dipindahkan jauh di luar kawasan pemukiman. Biarlah bangunan yang sekarang ini dijadikan sebagai kantor biasa atau bahkan sebagai museum penjara Sigli. Malah dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar jika dijadikan sebagai kawasan tujuan wisata lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H