Mohon tunggu...
Dandelion
Dandelion Mohon Tunggu... -

a dreamer, an explorer, and a human, of course. :p

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana Bila Kita Termasuk yang "Biasa-Biasa Saja"?

24 Mei 2016   16:38 Diperbarui: 26 Mei 2016   10:38 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jadi, berarti baik ya motivasi hidup untuk menjadi ideal itu? Atau kalimatnya sedikit diubah, berarti baik bila menjadi 'biasa-biasa saja' sehingga dengannya, kita bisa lebih bersemangat mencapai hidup yang ideal?

Ya, sepertinya menjadi 'biasa-biasa saja' mulai terlihat dampak positifnya, walaupun, kalau mau jujur, 'biasa-biasa saja' biasanya hanya akan diterima ketika seseorang gagal dalam usahanya menjadi luar biasa atau terbaik.

Bila melihat berbagai hal-hal luar biasa yang berseliweran di media sosial, seseorang yang belum berhasil sampai pada taraf yang dilihatnya, pertama, minimal akan tumbuh keinginannya untuk mengikuti atau meniru. Yang kedua, bila sudah berkali-kali mencoba, tapi ternyata masih gagal jua, barulah, yang ketiga, berusaha menerimanya dengan ikhlaaaas (ikhlasnya pake banget) dan lapang dada, sambil melirik alternatif lain yang bisa diikuti untuk menjadi 'luar biasa'.

Pesatnya media sosial memang ada kalanya menciptakan standar baru dari 'luar biasa' itu sendiri. Standarnya sebenarnya sederhana, hal apapun yang tidak bisa dilakukan orang lain atau minimal sulit ditiru, berarti hal tersebut sudah masuk standar luar biasa. Lihat saja satu contoh video berikut :

Saya yakin, mata anda tidak berkedip selama melihat video ini, seolah mengatakan, "Wow, wow, luar biasa!". Sekilas sempurna sekali video ini. Namun di balik kesempurnaan yang diperlihatkan, kita semua tahu, sebenarnya dalam pembuatannya, banyak sekali proses penyuntingan dan pengulangan adegan hingga tercapai adegan yang 'perfect'. Pun, dalam setiap adegannya, tidak bisa dipungkiri, dibutuhkan latihan yang amat panjang dan keras hingga terkadang, adakalanya, kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik pernah dialami. Tetapi, begitulah media sosial, bagi si penonton, kita sering lupa fakta ini, dan bagi si pembuat video, ketika pada akhirnya, bisa menampilkan sisi terbaik dari dirinya, semua pengorbanan tersebut rasanya terbayar lunas. Malah kembali mungkin.

Jadi, apa akhirnya dengan bantuan media sosial, naluri manusia menjadi 'terbaik' sudah tersampaikan?

Yaa, untuk yang akhirnya berhasil mencapai sisi terbaik itu untungnya manjadi tersalurkan ketika orang lain bisa melihatnya juga. Namun, kita kembali ke judul, bagaimana dengan orang yang 'gagal' meniru apa yang dilakukan orang-orang-orang 'terbaik' itu? Yang setelah merana, mulai melabelkan diri "Baiklah, saya memang biasa-biasa saja, tidak punya kelebihan apa-apa, hiks.. hiks.." *sambil berdiri di atas menara eiffel.

Eeh, disini mungkin sisi negatifnya. Layaknya dua sisi mata koin, media sosial juga memiliki dua sisinya, membuat yang hebat semakin hebat dan membuat yang kurang 'hebat' semakin terpuruk. Padahal, dengan adanya media sosial, standar hebat versi manusia menjadi amat sangat relatif atau subjektif sifatnya.

Maksud saya, sebenarnya, bagi yang telah berhasil menampilkan sisi 'hebat'nya di media sosial, tidak perlu merasa menang, karena kehebatannya itu sifatnya tidak abadi alias sementara, hanya pada momen tertentu dan bidang tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang 'hebat' ini tetap menjalani kehidupannya dengan 'biasa-biasa saja'. 'Biasa-biasa saja' disini akhirnya dimaknai sesuatu yang bisa dilakukan siapa saja atau umum dilakukan, ya tidur, makan, berjalan, berbicara, dsb. Begitu juga dengan yang merasa kurang 'hebat', tidak semua yang kamu pikir terlihat hebat itu sebenarnya cocok untuk diikuti atau dijadikan standar. Bisa jadi kamu punya sisi 'terbaik'mu sendiri yang saking sibuknya mengikuti orang, malah jadi tidak terasah. Seperti halnya kamu tidak bisa memaksa burung elang yang gagah di angkasa untuk berenang layaknya paus di lautan, dan sebaliknya.

Ya, saya percaya, setiap orang itu sudah sempurna dan terbaik dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tinggal bagaimana mengolahnya. Apalagi dalam agama saya, Islam, ada perkataan Allah yang menyatakan, "Manusia adalah sebaik-baik penciptaan", jadi, mustahil alias tidak mungkin, manusia diciptakan hanya dengan keburukannya saja. 

Daaan, mengingat Allah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi setiap ciptaan-Nya, ada baiknya, kita juga mulai berefleksi, apakah standar baik-buruk yang diyakini selama ini sudah sesuai atau sama dengan standar baik-buruk yang ditetapkan Allah atau belum. Karena bila selama ini ternyata kita mengejar standar yang salah, akan sia-sia sekali hidup yang hanya sekali dititipkan kepada kita. Sudah di dunia tidak berhasil bahagia, di kehidupan akhir yang sebenarnya alias akhirat, lebih sengsara lagi. Mudah-mudahan kita tidak termasuk ya. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun