Mohon tunggu...
Amakusa Shiro
Amakusa Shiro Mohon Tunggu... Engineer -

A masterless Samurai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajaran dari "Saudara Tua" di Momen 17 Agustus

17 Agustus 2017   08:36 Diperbarui: 17 Agustus 2017   22:42 1881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Selamat Datang mengucapkan Selamat Datang usia ke-72 (dokumentasi pribadi)

(bagian pertama dari tulisan bisa dibacadisini)

Kenapa Jepang bisa begitu dengan cepat bangkit dari kehancuran ?

Apa sih yang bisa membuat Jepang bisa begitu cepat bangkit setelah kalah dan hancur dalam PD-II ?
Saya akan mencoba mengulasnya. Mudah-mudahan, ada pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman Jepang yang berhasil "menaklukkan" keterpurukannya setelah PD-II.

1. Kerja Total

Sifat orang memang tidak memandang ras. Dalam arti, kita bisa menemukan sifat apa saja di semua negara, tidak terkecuali Jepang.

Mungkin kita pernah mendengar tentang cerita orang yang datang untuk berlibur di Jepang, mengatakan bahwa orang Jepang itu ramah serta penjaga toko atau orang yang berhubungan dengan pekerjaan pelayanan itu semuanya murah senyum.

Sebenarnya tidak ada yang salah akan cerita dan tanggapan itu.

Untuk bagian "orang Jepang itu ramah", mungkin karena orang itu hanya tinggal di Jepang untuk waktu yang singkat. Jadi ya, mereka mungkin ketemunya dengan orang Jepang yang "kebetulan" ramah dan baik hati terus. Sebab sebagai turis, pergerakannya maupun interaksi dengan orang Jepangnya pun tidak begitu banyak dan luas. Namun fakta di lapangan, yang nggak ramah juga ada kok. 

Lalu untuk bagian "penjaga toko atau orang yang berhubungan dengan pelayanan itu semuanya murah senyum" bagaimana ? Ya lumrah saja kalau mereka begitu, karena itu memang pekerjaan mereka. Kalau kerjanya melayani dan berhubungan dengan orang, ya harus senyum. Kalau nggak kan bisa "kabur" tuh orang yang dilayaninya. Kalau membuat orang kabur, bukan pelayanan dong namanya :)

Jika digali lebih dalam lagi, tentang senyam-senyumnya itu sebenarnya orang Jepang hanya melakukan apa yang jadi tugasnya. Karena mereka selalu punya prinsip, kalau sudah melalukan pekerjaan, ya harus total. Senyum merupakan bagian dari pelayanan, dan memberikan pelayanan yang terbaik memang sudah menjadi SOP (Standard Operating Procedure)nya. Jadi bisa dibilang, senyum merupakan salah satu bukti dari totalitas mereka dalam bekerja.

Lain cerita kalau dia bertugas jadi pengawas misalnya di bagian imigrasi dan SOP nya harus tegas, ya mereka tegas. Makanya kalau di Jepang, kita nggak pernah lihat petugas imigrasi yang senyum2 (atau cengengesan) kan ?

Totalitas orang Jepang dalam melakukan pekerjaan inilah, terkadang memberi dampak positif dan bahkan nilai tambah, terutama bagi sektor pariwisata. Buktinya, kalau ada yang pernah sekali ke Jepang, pasti deh kepengen balik liburan lagi kesini. Iya nggak ?

Pekerja pengatur kendaraan keluar masuk proyek bangunan di Shibuya Station (dokumentasi pribadi)
Pekerja pengatur kendaraan keluar masuk proyek bangunan di Shibuya Station (dokumentasi pribadi)
Kerja total ini kalau dijabarkan secara luas, sudah mencakup tentang disiplin (dalam bekerja), juga termasuk tidak korupsi dalam melaksanakan tugas. 

Kalau masalah disiplin, saya nggak nggak perlu cerita banyak karena pasti pembaca sudah bosan membaca betapa orang Jepang itu disiplin banget. Disiplin ini bukan hanya dari satu arah, misalnya peraturan hanya mampu berfungsi sebagai peraturan yang berwujud tulisan, tanpa ada yang mau dengan sadar menjalankannya. Disiplin, akan bisa berjalan baik kalau dijalankan dua arah. Contohnya, dengan jadwal kereta yang padat di Jepang (bahkan di jam sibuk, cuma selisih 2 menit antara satu kereta dan kereta berikutnya), kereta bisa tiba dan berangkat sesuai dengan jadwal karena ada disiplin petugas kereta yang ditunjang juga oleh disiplin dari pemakai jasa kereta. 

Tentang korupsi, saya ingin memperluas cakupannya bukan hanya terfokus pada korupsi duit saja. Tapi juga korupsi waktu, korupsi kekuasaan, korupsi hak orang lain dan sebagainya. 

Contohnya, saya nggak pernah ketemu atau lihat orang yang korupsi waktu. Jadi misalnya kalau sedang kerja, ya nggak ada yang ngobrol atau haha-hihi karena mereka nggak biasa korupsi waktu. Waktunya kerja ya untuk kerja, titik. Lalu, kalau misalnya pas jam istirahat mau telpon gebetan, atau telpon untuk kepentingan pribadi, ya pasti pakai telpon pribadi, bukan pakai telpon atau hape milik kantor. Jadi nggak ada yang namanya korupsi fasilitas, pakai jurus aji mumpung.

Memang kadang ada yang korupsi uang, tapi sepanjang pengetahuan saya cuma satu atau dua. Dan itupun kalau sudah ketahuan, mereka pasti bertanggungjawab, misalnya dengan berhenti dari pekerjaannya. Enggak bakalan ada yang tetep keukeuh bercokol nggak mau berhenti atau melepas kedudukannya, apalagi malah masih sempat cengengesan menampakkan diri di depan publik.

Disiplin berbaris menunggu kereta di Stasiun Musashikosugi (dokumentasi pribadi)
Disiplin berbaris menunggu kereta di Stasiun Musashikosugi (dokumentasi pribadi)
2. Gigih dan Ulet

Pembaca yang pernah nonton drama/film Oshin pasti tau bagaimana kegigihan dan keuletan mereka. Dalam drama itu dikisahkan kehidupan tokoh utama bernama Oshin sejak kecil sampai dewasa. Cerita yang disajikan, umumnya memperlihatkan kegigihan dan keuletan Oshin, yang meskipun keadaannya seperti "sudah jatuh ketimpa tangga dan kejedot pintu", tapi masih kuat untuk "berlari" sprint. 

Contoh lain lagi, di berbagai pertandingan internasional, sebutlah saja pertandingan sepak bola, kita sering melihat bahwa walaupun tim Jepang sudah ketinggalan jauh berapapun poinnya dari lawan, namun mereka masih gigih dan ulet untuk bermain dan mengejar ketinggalan, bahkan di di menit2 terakhir. 

Bagaimana orang Jepang itu bisa tahan banting dan ulet ?

Kalau digali lebih dalam, ternyata kegigihan mereka adalah sebagai hasil pengalaman mereka, akibat dari interaksi dengan alam. Dan hebatnya,  spirit ini sudah tertanam sejak dahulu, dan terus menerus diturunkan ke generasi berikutnya.

Jepang adalah negara kepulauan yang memanjang dari barat daya ke timur laut. Daratan kepulauan yang memanjang itu luasnya hanya sekitar 0.28% dari luas daratan di seluruh dunia. Namun dengan hanya luas yang seperti itu, dari seluruh gempa bumi yang terjadi didunia yang berskala Magnitude 6 keatas, hampir 20.5% nya terjadi di Jepang. Ditambah lagi, dari seluruh gunung berapi yang masih aktif, 7% nya ada di Jepang.

Dengan demikian bisa kita ketahui, betapa seringnya bencana alam, terutama gempa bumi yang terjadi di Jepang. Belum lagi bencana angin topan, hujan yang mengakibatkan banjir, bencana yang diakibatkan oleh salju dan lainnya. Oleh sebab itu, untuk bertahan dan demi kelangsungan hidup, orang Jepang dituntut untuk berusaha lebih keras dan gigih dibanding dengan masyarakat di negara2 lain. 

Ungkapan seperti lagu Kolam Susu yang dinyanyikan Koes Plus yang berbunyi "Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman" tentunya tidak berlaku. Kalau tidak berusaha misalnya bercocoktanam untuk kemudian hasilnya disimpan, mengumpulkan kayu untuk memasak atau memanaskan ruangan dan berburu hewan misalnya untuk dibuat baju atau alas tidur, bagaimana bisa bertahan hidup dan melewati musim dingin karena tidak ada yang dimakan dan tidak punya sesuatu untuk menahan dingin yang menusuk tulang ? 

Jaman sekarang, orang Jepang tentu juga tetap harus gigih dan ulet untuk bisa mempertahankan hidup. Walaupun tidak harus bercocoktanam, karena sudah tergantikan dengan bekerja sesuai dengan ketrampilannya masing2. 

Mungkin masih tersisa di ingatan kita akan bencana gempa bumi yang menyebabkan Tsunami, kemudian juga menjadi bencana ledakan PLTN di daerah Tohoku 6 tahun yang lalu. Waktu itu, bukan hanya daerah bencana saja yang terkena dampaknya. Namun karena ada ledakan PLTN, maka seluruh Jepang terkena imbas dari bencana tersebut. Namun sekarang, kebanyakan daerah bencana sudah ditata kembali dan kehidupan di sana sudah berangsur normal. Semuanya adalah hasil dari kegigihan dan keuletan mereka.

3. Budaya Malu

Sejak dari kecil, orang Jepang sudah diajari yang namanya shitsuke. Shitsuke ini memang istilah khusus bahasa Jepang, yang agak susah dicari padanannya dalam bahasa lain. Kalau dalam bahasa Indonesia, mirip sedikit dengan "disiplin". Tapi ini kurang cocok karena tidak bisa mewakili nuansanya secara luas.

Malu tapi bukan malu-malu in (dokumentasi pribadi)
Malu tapi bukan malu-malu in (dokumentasi pribadi)
Shitsuke ini adalah suatu proses pembelajaran (terutama pembelajaran mental) yang dilakukan oleh masyarakat maupun lingkungan (termasuk orang tua), yang mengantarkan seseorang dari usia dini sampai dia menjadi manusia dewasa. Tujuannya adalah agar si anak tersebut kelak bisa hidup dan menyesuaikan diri dengan masyarakat, bisa menjaga dan berkelakuan sesuai dengan norma2 positif yang berlaku dimasyarakat secara umum, mulai dari hubungan antar manusia di lingkungan tempat hidupnya, maupun hubungan antar manusia dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya kelak jika dia sudah bekerja.

Kalau di barat, ada "Budaya Dosa", yang muncul akibat dari pemahaman bahwa mata Tuhan ada dimana-mana, sehingga manusia dalam perbuatannya haruslah berhati-hati karena Tuhan bisa mengawasi segala gerak gerik kita.

Di Jepang, ada "Budaya Malu", yaitu budaya yang mengutamakan pandangan atau penilaian orang2 disekelilingnya. Jepang merupakan negara dengan populasi yang padat serta masih menjunjung tinggi asas kelompok. Jadi kalau ada orang yang berperilaku agak "lain", terutama jika perilakunya itu tidak sejalan dengan kelompoknya atau tidak sesuai dengan norma2 yang berlaku di kelompoknya, maka akan dengan mudah kelihatan. Akibatnya, dia bisa dianggap aneh lalu dipandang dengan mata sinis. 

Orang Jepang selalu waswas dalam segala tindak tanduknya karena dia tidak mau diolok2 atau dipermalukan/ditertawakan akibat perbuatannya. Dalam setiap gerak geriknya, orang Jepang selalu berhati-hati karena dia tahu mata masyarakat akan mengawasinya. Budaya malu inilah yang menjadi "pengawas" dari setiap tindakannya.

Shitsuke yang diajarkan dan sudah mendarah daging dalam diri orang Jepang, akan membantu mereka untuk bertindak karena sejak kecil mereka sudah paham akan norma2 yang berlaku dalam masyarakat. Jadi sebisa mungkin mereka tidak akan melakukan sesuatu yang "melenceng" dari norma2 tersebut.

Maka di Jepang, jika ada orang yang ketahuan berbuat salah, nggak usah dicecar dan dihujat di sosmed pun mereka langsung mundur atau berhenti. Karena mereka mempunyai "Budaya Malu" yang sudah mendarah daging, dan mereka amat sangat takut akan hukuman sosial yang akan diterima bila mereka tidak segera mundur (atau misalnya minta maaf atas perbuatannya).

4. Menghargai waktu

"Toki wa kane nari" (Time is Money) kalau bagi orang Jepang bukan cuma kata2 indah peribahasa, tapi kita bisa liat pengejawantahannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Kalau kita lihat orang Jepang selalu terburu-buru dijalan, itu sudah merupakan suatu contoh bahwa mereka itu sangat menghargai sama yang namanya waktu. Mereka nggak mau telat sedikitpun. 

Situasi di dalam kereta. Ada yang membaca, main hape, tidur, pokoknya bermacam-macam (dokumentasi pribadi)
Situasi di dalam kereta. Ada yang membaca, main hape, tidur, pokoknya bermacam-macam (dokumentasi pribadi)
Orang Jepang juga suka menggosip, atau kepo (ber-sosmed-ria), tapi kebanyakan hanya sambil lalu saja untuk intermezzo dan nggak sampai berlebihan. Seperti isu2 sekitar masalah politik, saya jarang sekali menemukan mereka ber-gossip ria sampai berlebihan. Misalnya ada menteri (bahkan PM sekalipun) atau pejabat yang melakukan blunder, terkadang kita juga komentar atau berdiskusi waktu jam makan siang sambil menikmati lunch atau malam hari ketika sedang makan/minum di izakaya di hari yang sama. Namun hari2 setelah itu, ya hilang deh itu gossip. Sudah tidak ada waktu lagi untuk ber-gossip-ria karena pekerjaan sudah menumpuk. 

Bagi rakyat Jepang, mereka lebih suka waktunya dihabiskan untuk kepentingan masing2 yang bermanfaat. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan (dan kemajuan) diri sendiri ini otomatis juga menghargai waktu yang juga sudah menjadi hak orang lain. Yang kerja ya ngurusin gaweannya, yang sekolah ya ngurus sekolahnya. Yang ingin menambah pengetahuan (misalnya pengen bisa bahasa Inggris) ya pergi ke tempat kursus, dan lain2.

5. Religi

Mungkin ada yang mengira bahwa orang Jepang bukan orang yang religius. Alasannya, jarang liat orang berdoa misalnya di kuil. 

Sebenarnya cara perwujudan kereligiusan orang Jepang itu memang nggak seperti yang kita kira. Kehidupan religi mereka tidak bisa dilihat hanya dari luar, atau dari "baju" nya. Mereka langsung menerapkan kereligiusan itu dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh yang sederhana. Kalau mereka makan nasi, pasti mereka tidak akan menyisakan satu bulir-pun nasi di piring di piring bekas makan. Walaupun ada juga yang menyisakan, tapi jumlahnya sedikit menurut pengalaman saya.

Kenapa bisa begitu ? 

Karena mereka tahu bahwa nasi adalah anugerah dari "yang menguasai alam semesta" dan hasil interaksi mereka dengan alam (mengolah dan memanen). Dengan menghabiskan nasi tanpa sisa itu adalah cara mereka berterimakasih akan anugerah dari penguasa semesta, sekaligus berterimakasih kepada alam dan orang2 yang sudah bersusah payah menyediakan makanan tersebut. Itulah sebabnya orang Jepang mengucapkan "Itadakimasu" sebelum makan. Begitu juga ucapan "Gochisousama" setelah makan, adalah wujud dari ungkapan terimakasih atas berkat makanan yang sudah bisa dinikmati.

Kuil Kasuga Taisya di Prefektur Nara yang merupakan salah satu dari World Heritage (dokumentasi pribadi)
Kuil Kasuga Taisya di Prefektur Nara yang merupakan salah satu dari World Heritage (dokumentasi pribadi)
Sumber pemikiran orang Jepang kebanyakan berasal dari ajaran Konfusianisme yaitu Jingi dan Buddhisme yaitu Jihi. 

Jin dalam Jingi mirip dengan ajaran moral tentang bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik, layaknya seperti seorang ibu yang memperlakukan atau mengasihi anaknya. Sifat ini umumnya memang lebih condong kepada sifat keibuan. Gi adalah sifat berani dan tegas dalam membela dan membantu orang yang benar walaupun dia harus mengorbankan diri sendiri. Dengan keberanian dan ketegasan ini, maka sifat Gi lebih condong kepada sifat kelaki-lakian.

Dalam kehidupan, pengamalan Jingi harus seimbang. Sebab kalau tidak maka akan terjadi seperti yang pernah dikatakan oleh Date Masamune, seorang daimyou yang terkenal dari Sendai, yaitu "Jika orang lebih condong ke Gi maka sifat orang itu akan kaku. Namun kalau lebih condong ke Jin, maka orang itu akan lemah".

Ji dalam Jihi adalah sifat untuk memberikan sesuatu yang diinginkan oleh orang lain. Misalnya, kalau ada seseorang yang sedang bergembira, maka dengan kita ikut bagian dan turut memberikan kegembiraan kita, maka rasa kebahagiaan orang itu akan berlipat. Hi adalah kebalikannya, yaitu mengambil atau menghilangkan sesuatu yang tidak diinginkan orang lain. Misalnya ada orang yang kesusahan atau kesulitan, dengan membatu orang tersebut menghilangkan kesusahan atau kesulitannya, maka kesusahan yang dirasakan orang tersebut bisa berkurang.

Jingi dan Jihi ini sudah tertanam dan melekat di dalam spirit nenek moyang orang Jepang sejak dahulu kala, dan tentunya juga sudah diturunkan secara terus menerus ke generasi sesudahnya.

Selain Jingi dan Jihi ini, di sekolah2 Jepang tingkat rendah ada yang namanya pelajaran karakter dan moral. Di sekolah2 dengan tingkatan yang lebih tinggi, ada pelajaran tentang Etika. Pelajaran semacam ini berfungsi untuk memperkuat pribadi dan karakter masing2 anak seiring dengan pertumbuhannya menjadi dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat kelak di kemudian hari. 

Tidak ada pelajaran agama yang diajarkan di sekolah2 Jepang. Hal2 mengenai mana yang baik dan mana yang bukan, sudah diajarkan semenjak kecil melalui shitsuke, pelajaran karakter dan moral. Mungkin karena dasar itulah, orang Jepang juga lebih terbuka untuk mengadopsi hal2 yang baik yang bisa didapat, terutama hal2 yang berhubungan dengan agama (apapun). Ini bisa dilihat bahwa kebanyakan orang Jepang mengamalkan ajaran Shinto untuk bayi yang lahir, kemudian menikah di Kapel atau Gereja. Ketika meninggal, mereka didoakan di kuil agama Buddha.

Tugu Selamat Datang mengucapkan Selamat Datang usia ke-72 (dokumentasi pribadi)
Tugu Selamat Datang mengucapkan Selamat Datang usia ke-72 (dokumentasi pribadi)
Indonesia mau kemana?

Hari ini, 72 tahun sudah berlalu dari momen Proklamasi Kemerdekaan. 

Di Jepang, ada istilah untuk tiap momen perayaan ulang tahun mulai dari ulang tahun yang ke 60 lalu kelipatan 10 tahun setelahnya. Di usia 70 tahun disebut koki, yang berarti langka. Sebab jaman dahulu, merupakan hal yang amat langka jika orang bisa mencapai usia 70 tahun.

Tentunya kita harus bersyukur, karena kita bisa melalui momen yang "langka" dan tahun ini sudah masuk ke tahun 72 setelah proklamasi kemerdekaan. 72 tahun bukanlah rentang waktu perjalanan yang singkat. Juga bukan hal yang mudah untuk menjaga kedaulatan negara selama itu.  

Tahun depan, bisa diprediksi akan menjadi tahun2 yang kembali "panas", karena akan dilangsungkan pilkada dan tahun berikutnya akan dilangsungkan pilpres.

Saya tidak bisa berpesan atau menghimbau apa2 karena saya bukan orang yang kompeten untuk hal yang demikian. Namun saya punya sedikit keinginan. Boleh kan ?

Mudah-mudahan ketika nanti saya liburan pulang kampung, saya masih bisa menemukan dan menikmati bakso dan es cendol kegemaran saya di pertigaan dekat rumah. Mudah2 an juga warung tetangga saya masih buka, soalnya kalau enggak susah sekali misalnya kalau dirumah kehabisan gula, atau aqua. Semoga ketoprak yang jualan keliling juga masih ada, soalnya lumayan kalau malam2 perut tiba2 terasa lapar. Semoga jalan nggak tambah macet, terutama macet karena demo dan sejenisnya. 

Saya juga berharap, agar kehidupan di Indonesia akan bisa berjalan seperti "biasa" di masa2 mendatang.

Karena kehidupan biasayang saya jalani sehari-hari, bagi saya sebenarnya adalah rentetan mukjizat, yang bisa saya rasakan.

Selamat Ulang Tahun ke-72 Indonesiaku !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun