Kenapa bisa begitu ?Â
Karena mereka tahu bahwa nasi adalah anugerah dari "yang menguasai alam semesta" dan hasil interaksi mereka dengan alam (mengolah dan memanen). Dengan menghabiskan nasi tanpa sisa itu adalah cara mereka berterimakasih akan anugerah dari penguasa semesta, sekaligus berterimakasih kepada alam dan orang2 yang sudah bersusah payah menyediakan makanan tersebut. Itulah sebabnya orang Jepang mengucapkan "Itadakimasu" sebelum makan. Begitu juga ucapan "Gochisousama" setelah makan, adalah wujud dari ungkapan terimakasih atas berkat makanan yang sudah bisa dinikmati.
Jin dalam Jingi mirip dengan ajaran moral tentang bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik, layaknya seperti seorang ibu yang memperlakukan atau mengasihi anaknya. Sifat ini umumnya memang lebih condong kepada sifat keibuan. Gi adalah sifat berani dan tegas dalam membela dan membantu orang yang benar walaupun dia harus mengorbankan diri sendiri. Dengan keberanian dan ketegasan ini, maka sifat Gi lebih condong kepada sifat kelaki-lakian.
Dalam kehidupan, pengamalan Jingi harus seimbang. Sebab kalau tidak maka akan terjadi seperti yang pernah dikatakan oleh Date Masamune, seorang daimyou yang terkenal dari Sendai, yaitu "Jika orang lebih condong ke Gi maka sifat orang itu akan kaku. Namun kalau lebih condong ke Jin, maka orang itu akan lemah".
Ji dalam Jihi adalah sifat untuk memberikan sesuatu yang diinginkan oleh orang lain. Misalnya, kalau ada seseorang yang sedang bergembira, maka dengan kita ikut bagian dan turut memberikan kegembiraan kita, maka rasa kebahagiaan orang itu akan berlipat. Hi adalah kebalikannya, yaitu mengambil atau menghilangkan sesuatu yang tidak diinginkan orang lain. Misalnya ada orang yang kesusahan atau kesulitan, dengan membatu orang tersebut menghilangkan kesusahan atau kesulitannya, maka kesusahan yang dirasakan orang tersebut bisa berkurang.
Jingi dan Jihi ini sudah tertanam dan melekat di dalam spirit nenek moyang orang Jepang sejak dahulu kala, dan tentunya juga sudah diturunkan secara terus menerus ke generasi sesudahnya.
Selain Jingi dan Jihi ini, di sekolah2 Jepang tingkat rendah ada yang namanya pelajaran karakter dan moral. Di sekolah2 dengan tingkatan yang lebih tinggi, ada pelajaran tentang Etika. Pelajaran semacam ini berfungsi untuk memperkuat pribadi dan karakter masing2 anak seiring dengan pertumbuhannya menjadi dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat kelak di kemudian hari.Â
Tidak ada pelajaran agama yang diajarkan di sekolah2 Jepang. Hal2 mengenai mana yang baik dan mana yang bukan, sudah diajarkan semenjak kecil melalui shitsuke, pelajaran karakter dan moral. Mungkin karena dasar itulah, orang Jepang juga lebih terbuka untuk mengadopsi hal2 yang baik yang bisa didapat, terutama hal2 yang berhubungan dengan agama (apapun). Ini bisa dilihat bahwa kebanyakan orang Jepang mengamalkan ajaran Shinto untuk bayi yang lahir, kemudian menikah di Kapel atau Gereja. Ketika meninggal, mereka didoakan di kuil agama Buddha.
Hari ini, 72 tahun sudah berlalu dari momen Proklamasi Kemerdekaan.Â