Mohon tunggu...
Amakusa Shiro
Amakusa Shiro Mohon Tunggu... Engineer -

A masterless Samurai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pelajaran dari "Saudara Tua" di Momen 17 Agustus

17 Agustus 2017   08:36 Diperbarui: 17 Agustus 2017   22:42 1881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara di kuil Yushima Tengu di Tokyo (dokumentasi pribadi)

Shitsuke yang diajarkan dan sudah mendarah daging dalam diri orang Jepang, akan membantu mereka untuk bertindak karena sejak kecil mereka sudah paham akan norma2 yang berlaku dalam masyarakat. Jadi sebisa mungkin mereka tidak akan melakukan sesuatu yang "melenceng" dari norma2 tersebut.

Maka di Jepang, jika ada orang yang ketahuan berbuat salah, nggak usah dicecar dan dihujat di sosmed pun mereka langsung mundur atau berhenti. Karena mereka mempunyai "Budaya Malu" yang sudah mendarah daging, dan mereka amat sangat takut akan hukuman sosial yang akan diterima bila mereka tidak segera mundur (atau misalnya minta maaf atas perbuatannya).

4. Menghargai waktu

"Toki wa kane nari" (Time is Money) kalau bagi orang Jepang bukan cuma kata2 indah peribahasa, tapi kita bisa liat pengejawantahannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Kalau kita lihat orang Jepang selalu terburu-buru dijalan, itu sudah merupakan suatu contoh bahwa mereka itu sangat menghargai sama yang namanya waktu. Mereka nggak mau telat sedikitpun. 

Situasi di dalam kereta. Ada yang membaca, main hape, tidur, pokoknya bermacam-macam (dokumentasi pribadi)
Situasi di dalam kereta. Ada yang membaca, main hape, tidur, pokoknya bermacam-macam (dokumentasi pribadi)
Orang Jepang juga suka menggosip, atau kepo (ber-sosmed-ria), tapi kebanyakan hanya sambil lalu saja untuk intermezzo dan nggak sampai berlebihan. Seperti isu2 sekitar masalah politik, saya jarang sekali menemukan mereka ber-gossip ria sampai berlebihan. Misalnya ada menteri (bahkan PM sekalipun) atau pejabat yang melakukan blunder, terkadang kita juga komentar atau berdiskusi waktu jam makan siang sambil menikmati lunch atau malam hari ketika sedang makan/minum di izakaya di hari yang sama. Namun hari2 setelah itu, ya hilang deh itu gossip. Sudah tidak ada waktu lagi untuk ber-gossip-ria karena pekerjaan sudah menumpuk. 

Bagi rakyat Jepang, mereka lebih suka waktunya dihabiskan untuk kepentingan masing2 yang bermanfaat. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan (dan kemajuan) diri sendiri ini otomatis juga menghargai waktu yang juga sudah menjadi hak orang lain. Yang kerja ya ngurusin gaweannya, yang sekolah ya ngurus sekolahnya. Yang ingin menambah pengetahuan (misalnya pengen bisa bahasa Inggris) ya pergi ke tempat kursus, dan lain2.

5. Religi

Mungkin ada yang mengira bahwa orang Jepang bukan orang yang religius. Alasannya, jarang liat orang berdoa misalnya di kuil. 

Sebenarnya cara perwujudan kereligiusan orang Jepang itu memang nggak seperti yang kita kira. Kehidupan religi mereka tidak bisa dilihat hanya dari luar, atau dari "baju" nya. Mereka langsung menerapkan kereligiusan itu dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh yang sederhana. Kalau mereka makan nasi, pasti mereka tidak akan menyisakan satu bulir-pun nasi di piring di piring bekas makan. Walaupun ada juga yang menyisakan, tapi jumlahnya sedikit menurut pengalaman saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun