Mohon tunggu...
Amakusa Shiro
Amakusa Shiro Mohon Tunggu... Engineer -

A masterless Samurai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serba-serbi Bunuh Diri di Jepang

23 Juli 2017   09:39 Diperbarui: 11 Agustus 2017   16:50 4105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juga tidak menutup kemungkinan tuntutan dilakukan oleh perorangan, misalnya akibat kerugian ekonomi (bisnis) yang diderita karena tidak beroperasinya kereta api sesuai jadwal, maupun misalnya tuntutan penggantian biaya pengobatan karena orang tersebut terkilir atau terjatuh kemudian terluka saat kereta mengerem mendadak ketika korban menabrakkan dirinya ke kereta api. Sebagai tambahan, penggantian kerugian ini juga bisa dibebankan kepada orang yang bunuh diri dengan cara jibaku(meledakkan diri sendiri).

Di Jepang ada beberapa lokasi yang terkenal sebagai tempat bunuh diri. Di antaranya ada Aokigaharajukai, di kaki Gunung Fuji di Prefektur Yamanashi. Lalu ada air terjun Kegon no Taki di Tochigi, Bendungan Amagase di Kyoto, tebing Toujinbou di daerah Fukui dan lainnya. Umumnya di daerah seperti ini, banyak papan peringatan yang sengaja dipasang dengan kalimat-kalimat yang bertujuan untuk mencegah orang berbuat nekat dengan bunuh diri. 

Ada juga yang menyediakan telepon umum gratis, agar orang yang punya niat bunuh diri bisa berbicara terlebih dahulu dengan orang lain (bisa juga terhubungkan langsung dengan orang yang berprofesi sebagai konselor) dan diharapkan bisa membuat orang itu berpikir duakali lalu membatalkan niatnya.

Walaupun sejarah bunuh diri di Jepang cukup panjang karena tulisan mengenai bunuh diri sudah dapat ditemukan di Kojiki (buku tertua sejarah Jepang), namun bunuh diri terutama dengan cara harakiri  atau seppuku  (merobek perut) yang dipandang sebagai cara "terhormat" untuk menyatakan kebersihan diri sebenarnya baru mulai populer di era Edo (sekitar tahun 1600). 

Lalu kenapa yang perut yang dirobek bukan misalnya menancapkan pisau ke bagian lain ?

Perut bagi orang Jepang merupakan bagian penting tempat bersemayamnya "jiwa" dan di perut juga kita bisa lihat segala hal (niat, nafsu, keinginan, dan lain-lain) yang berhubungan dengan orang tersebut tanpa bisa ditutup-tutupi. Dengan merobek perut, maka diharapkan agar orang bisa melihat dirinya secara "telanjang", dan sekaligus sang Samurai yang melakukan harakiri  bisa membuktikan bahwa jiwanya murni dan bersih. 

Dengan "memperlihatkan" jiwa bersihnya, maka kemudian diharapkan kehormatannya pun bisa terjaga. Penjelasan ini bisa ditemukan di buku karya Nitobe Inazou yang berjudul Bushido yang pertama kali diterbitkan tahun 1900 dalam bahasa Inggris. 

Sebagai tambahan, ada juga beberapa ungkapan yang menunjukkan bahwa perut merupakan bagian yang penting. Contohnya "hara guroi" . Hara adalah perut dan Guroi (kuroi) artinya adalah hitam. Karena perut adalah tempat bersemayamnya jiwa, dan hitam sebagai lambang sesuatu yang buruk (lawan dari putih), maka dalam kata "perut hitam" menunjukkan sifat orang yang berjiwa atau berhati busuk (licik). 

Contoh lainnya "hara wo watte hanasu" . Watte adalah memecah atau membuka, dan hanasu adalah berbicara. Dalam kata "membuka perut dan berbicara" mempunyai makna berbicara sambil bisa melihat isi dari perut lawan bicara. Artinya adalah berbicara secara blak-blakan tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Sebagai penutup, berdasarkan data-data di atas, bisa kita ketahui bahwa Jepang bukan negara dengan jumlah orang bunuh diri terbanyak di dunia, walaupun masih yang terburuk diantara negara-negara maju. Lalu, walaupun orang Jepang terkenal sebagai workaholic, namun pekerjaan bukanlah melulu faktor yang menyebabkan orang bunuh diri. 

Jumlah orang yang bunuh diri di Jepang juga semakin berkurang dari tahun ke tahun. Ini mungkin disebabkan karena banyaknya penyuluhan yang gencar dilakukan oleh pemerintah maupun oleh organisasi kemasyarakatan, baik melalui media (cetak, elektronik dan daring) maupun dengan menyediakan banyak nomor hotline sehingga mudah dihubungi oleh masyarakat yang membutuhkan konsultasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun