Mohon tunggu...
Perdana Putri
Perdana Putri Mohon Tunggu... -

Menggemari Bob Dylan, masakan Cina, dan masakan Padang. Mencintai buku. Saya percaya kalau saya memiliki cara jalan yang aneh. Akan bersemangat saat membicarakan Rusia, Sastra, Filsafat, Bahasa, dan Sejarah. Memiliki motto yang diadopsi dari seniman favoritnya, Brancussi, "work like a slave, command like a king, create like a God." Saat ini berkuliah di Universitas Indonesia, Program Studi Rusia 2011. Endless learner and playfully serious.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Apalah Peduli Saya akan Gaga?

24 Mei 2012   03:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:53 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak sedang menceritakan pengalamannya yang unik kepada saya. “Ditawarin jadi ketua FPI cabang Pasir Pangarayan!” Bapak berujar geli, saya juga. Kami sedang melewati daerah Tanah Tinggi dekat rumah nenek saya. Beberapa puluh meter di depan, ada acara dangdut koplo digelar setelah pesta nikahan seseorang,  para wanita molek nan semampai berjoget dengan musik dangdut remix, dan beberapa lelaki berteriak kelojotan, tertawa-tawa. Beberapa dari mereka menenteng kaleng bir.

“Eh, ngomong-ngomong soal FPI, gak nonton Lady Gaga?” tanya Bapak.

“Duit darimana?” saya balik bertanya geli. Bapak bilang, FPI itu sekarang aneh-aneh saja, melarang macam-macam. Diskusi dengan Bapak pun akhirnya menyentuh hal yang tak ingin saya bahas: konser Lady Gaga. Saya sebenarnya sudah self-devoted untuk tidak membahas Lady Gaga. Namun ya sudahlah, lama-lama hati saya tergerak juga karena saya toh termasuk dari sekian juta pendengar musik Lady Gaga.

Keimanan dan Erotisme dalam Preferensi

Keberatan FPI yang pertama, saya mendengar, bahwa konsernya dilarang karena alasan nyeleneh tentang konspirasi sang Lady yang memuja setan, atau apapun itu. Saya hanya bisa tertawa geli saja. Saya praktis mendengarkan musik Gaga semenjak satu SMA, dan Alhamdulillah saya tidak membawa-bawa salib yang dibalik ke bawah.

Geli saya yang kedua, yang lahir dari konspirasi yang sama, adalah bagaimana mereka (ya, para pembela agama yang konservatif itu) bisa memberikan hipotesa bahwa keimanan seseorang segampang itu gugur. Dangkal betul jika keimanan individu bisa diukur dari musik. Apalagi keimanan seseorang itu sifatnya privat, tidak ada yang bisa mengerti dan mengukur selain si empunya sendiri. Kecuali nilai-nilai kebertuhanan seseorang, saya sebagai humanis menolak nilai-nilai supranatural yang disematkan pada sang Mother Monster itu, alasan yang konyol kalaupun tidak mau dibilang dangkal.

Tanpa adanya tulisan ini harusnya pun publik sadar bahwa apa yang menimpa Big Daddy promoter itu berada di bawah sebuah hal yang telah dikorup. Saya akan berikan konspirasi yang harusnya FPI atau pihak yang anti-konser Gaga tidak boleh menolak karena mereka pun berangkat dari konspirasi.

Menurut salah satu pengguna twitter yang saya ikuti, terjadi persaingan antara dua promotor konser, Big Daddy dan (sebut saja) B Entertainment. Yang memenangkan kontrak seperti yang telah diberitahu media, adalah Big Daddy. Hal ini menyulut rasa geram si B Entertainment ini, dan mereka melakukan bribing pada beberapa pihak agar menggagalkan konser ini, menciptakan chaos pada persepsi publik yang terpecah pandangannya, agar nilai kontrak konser pemilik album Born This Way itu melejit. Teknisnya tak usahlah saya jabarkan, pun tak perlu. Walau saya memberi konspirasi, sejatinya saya tak pernah percaya terhadap konspirasi.

Keberatan kedua si FPI dan ormas lainnya tentang Gaga adalah, sosok yang bernama asli Stefanie Germanota itu dinilai terlalu vulgar atau erotis yang berujung pada pornografi. Ini juga polemik di negeri ini, tidak pernah ada batasan yang jelas antara erotisme seni dan pornografi. Mungkin kalau saya berjalan-jalan dengan baju yang memenangkan penghargaan L’haute Couture di Jakarta tapi memperlihatkan potongan paha, saya bisa digasak ormas Islam konservatif. Memang tidak semua erotisme itu bernilai seni (kalau kata Goenawan Mohammad, “ada perbedaan antara naked dan nude”.), tapi juga harus ada batasan yang jelas terhadap toleransi erotisme dalam seni.

Erotisme memang sesuatu yang bersifat aphrodisiac atau membangkitkan hasrat seksual, tapi dalam seni, tegangan yang ingin dihasilkan dalam sebuah karya erotis adalah untuk menciptakan perspektif bahwa kehidupan seksual itu lumrah dan tidak mungkin ditampik. Keberadaan seksualitas atau erotisme dalam seni juga seyogyanya hadir lebih dalam dari sekedar “meningkatkan hasrat cumbuan atau seksual”. Erotisme seni hadir sebagai hal yang manusiawi dan fakta untuk disuguhkan, bukan untuk diaktulisasi saat itu juga. (seolah-olah saat seni erotis dipamerkan di museum ada pengunjung yang buru-buru menuntaskan hasratnya!)

Saya pernah bertanya pada seorang teman lelaki. “Lu suka Gaga gak sih? Dia seksi gak menurut lu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun