Mohon tunggu...
Agatha Danastri
Agatha Danastri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecandu susu kacang kedelai || Pernah bercita-cita menjadi wartawan perang || Mahasiswi STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tragisnya The Fault In Our Stars

1 Juli 2014   08:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:01 5164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_331519" align="aligncenter" width="405" caption="The Fault In Our Stars movie poster (source: pinterest.com)"][/caption]

"The Fault In Our Stars" adalah salah satu novel yang cukup fantastis yang pernah saya baca. Sebenarnya hanya tentang kisah percintaan, tapi yang satu ini sangat berbeda.

Oke, saya beberkan saja sinopsisnya secara singkat.
Kisah cinta dua insan pengidap kanker, bernama Hazel Grace Lancaster dan Augustus Waters. Hazel berusia 17 tahun, mengidap kanker tiroid stadium akhir dan sudah menjalar ke paru-parunya, sehingga Ia harus menggeret tanki oksigen kemana-mana. Tanpa itu, tak mungkin Ia bisa bernapas. Gus (panggilan akrab Augustus) berusia 18 tahun, mengidap osteorsarkoma yang telah sukses membuat Ia kehilangan satu kakinya. Mereka berdua bertemu di Support Group, sebuah kelompok yang berisi orang-orang pengidap kanker. Mereka sharing berbagai macam hal tentang kegalauan mereka dan saling menyemangati bahwa hidup ini sepatutnya dijalani dengan kebahagiaan, walaupun mereka sedang sakit keras. Pertemuan mereka di Support Group itu akhirnya berlanjut menjadi sebuah kisah cinta yang romantis sekaligus tragis. Percayalah, akan anda menangis dibuatnya. Kalau gak menangis, ya setidaknya ada rasa terharu lah. Kalau gak ada rasa terharu sama sekali, heeeeemmmmm... Okay i don't want to judge you. Setiap orang berbeda, tho?

Setelah sukses menangis dan membuat bantal saya basah ketika membaca novelnya (kalau ada rezeki, saya menyarankan anda untuk membeli yang English version. Lebih.... makjleb), saya memutuskan untuk menonton filmnya di Gandaria City Mall, Jakarta, bersama dua teman saya. Diantara kami bertiga, hanya saya yang sudah selesai baca novelnya, bahkan sampai dua kali! Versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Sebelum menonton filmnya, saya sengaja membeli satu pak tisu dan membawa masker. Karena saya tahu, saya pasti nanti menangis ketika menonton filmnya. Ternyata benar, dari pertengahan film sampai penghujung film, saya tak berhenti menitikkan air mata, walau sesekali tertawa kalau memang ada yang lucu. Saya menengok ke kedua teman saya. Mereka terlihat baik-baik saja, tidak menangis sama sekali.

Hati saya mulai campur aduk ketika Hazel, Augustus, dan Ibunda Hazel berada ke Amsterdam (ngapain ke Amsterdam? Makanya baca bukunya atau nonton filmnya), terutama saat Augustus dan Hazel makan malam bersama di Oranjee, restoran paling nge-hits di Amsterdam. Saya gak bisa menahan airmata sewaktu Augutus menyatakan cinta kepada Hazel. Ia mengatakan,"I’m in love with you, and I’m not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivion is inevitable, and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the sun will swallow the only earth we’ll ever have, and I am in love with you.” Kalau saya jadi Hazel, saya pasti sudah terjengkang kebelakang dan terkapar di lantai, saking romantisnya. Tapi di film tsb Hazel hanya tersenyum, speechless, dan menangis. Yak, saya juga menangis. Ansel Elgort (aktor pemeran Gus) sukses mengatakan kata-kata itu dengan begitu indahnya, bahkan hingga saat ini saya masih deg-degan kalau ingat saat Ia mengatakan itu. Tapi begitu banyak percakapan yang dipotong di filmnya, padahal di novel mereka bercakap-cakap ttg banyak hal. But, nevermind.

Lalu saat Hazel dan Gus pergi menemui Peter van Houten, penulis favorit mereka, saya kurang mendapatkan kesan greget saat menonton filmnya. Di film, sosok Van Houten memang sudah sesuai dengan gambaran saya ketika membaca novelnya, garang. Tapi tetap saja kurang menyebalkan. Saat membaca novelnya, sosok Van Houten digambarkan begitu menyebalkan dan tak berperasaan, sampai tega melukai hati Hazel yang sedang mengidap kanker stadium akhir. Saat membaca part tersebut, rasanya saya pengen datengin Van Houten dan menonjoknya, tepat di wajahnya. Biar kapok, biar bonyok. Tapi saat menonton filmnya, saya enggak geregetan. Mungkin karena ada beberapa percakapan yang dihilangkan.

Oh ya, ada satu hal yang cukup unik di filmnya yang tidak sempat diceritakan. Tentang ayunan di halaman belakang rumah Hazel. Di akhir film, ayunan itu menghilang. Kalau yang membaca novelnya pasti tahu kenapa ayunannya hilang, padahal di awal film digunakan untuk duduk oleh Hazel dan Gus.

[caption id="attachment_331513" align="alignnone" width="630" caption="Ayunan di halaman belakang rumah Hazel. (source: hypable.com)"]

14041534012046548436
14041534012046548436
[/caption]

Lalu ada sedikit perbedaan cerita ketika keberangkatan mereka ke Amsterdam. Kalau di novel, Hazel-lah yang menjemput Gus ke rumahnya. Tapi di film berbeda, Gus-lah yang menjemput Hazel. Lalu saat mereka sampai di bandara hendak terbang menuju Amsterdam, tidak juga diceritakan di film, tetapi ada di novelnya.

Ada perbedaan yang cukup siginifikan di akhir film, dimana Peter Van Houten datang ke USA untuk bertemu dengan Hazel, mau minta maaf. Di film, Van Houten terkesan langsung to the point untuk memberikan Hazel sebuah surat, tapi Hazel menolak. Isaac (sahabat Gus, buta) memberitahukan bahwa surat dari Van Houten itu dari Augustus. Seketika Hazel merasa menyesal karena sudah meremas-remas kertas yang diberikan oleh Van Houten, dan membuangnya di dalam mobil. Lalu Hazel pergi ke mobil dan menemukan suratnya, lantas dibaca. Kalau di novel, ceritanya dibuat panjang, Hazel harus memutar otak untuk memecahkan teka-teki kira-kira dimana surat dari Gus itu berada. Pada akhirnya, Hazel menemukan bahwa surat dari Gus itu disimpan oleh Van Houten di Amsterdam. Lalu surat itu dikirim via email dan Hazel membacanya.

Jadi, apa konklusi dari cerita The Fault In Our Stars ini? Dua kata: LUAR BIASA. Ketika menonton filmnya, emosi saya memang lebih diaduk-aduk ketimbang saat saya membaca novelnya. Saya menangis bukan hanya di part-part yang sedih, tapi juga saat Gus dan Hazel saling menyatakan perasaan mereka dan saling menguatkan. Manis dan sangat powerful.
Tapi tak bisa dipungkiri memang banyak momen dalam novel yang tidak sempat diceritakan di film, oleh sebab itu saya menyarankan anda untuk membaca novelnya dahulu.

Saya tak henti-henti mengumpat ketika filmnya selesai dan suara Ed Sheeran mengalun merdu. Saya terus menangis walaupun sudah banyak orang yang pergi meninggalkan tempat duduknya. Saya cuma bisa bilang,"I can't handle my tears! Fuck this feeling, and fuck i can't stop crying." Teman saya, Viki, hanya memberikan puk-puk dan bilang,"That's okay, that's normal. Tapi aku enggak nangis. Aku memang bukan cewek kayaknya." Lalu segerombolan cewek yang duduk satu baris di depan saya menengok ke belakang, menatap dengan nista ke arah saya yang tak bisa berhenti meneteskan airmata, padahal filmnya sudah selesai. Saya malah ikut bersenandung dengan Ed Sheeran (lagunya berjudul "All Of The Stars", coba di cari di Youtube, BAGUS BANGET), eh malah tambah nangis. Sukses keluar dari studio dengan mata bengkak.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa Ansel Elgort dan Shailene Woodley berhasil memerankan sosok Augustus Waters dan Hazel Grace dengan begitu ciamik. Entah apa yang terjadi kalau bukan mereka pemerannya... Dan untuk John Green, cerita luar biasa ini menjadikan anda salah satu penulis novel yang resmi masuk dalam jajaran penulis favorit saya. The best love story ever!

[caption id="attachment_331517" align="alignnone" width="600" caption="Hazel dan Augustus (Shailene Woodley dan Ansel Elgort) (source: teaser-trailer.com)"]

14041539991423568720
14041539991423568720
[/caption]

[caption id="attachment_331518" align="alignnone" width="540" caption="John Green (source: thewire.com)"]

1404154266828090055
1404154266828090055
[/caption]

Jadi, sudah siap untuk membaca dan menonton filmnya? Siapkan tisu, ya.

Salam,

A.D.D.P

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun