“Oalah..orang kok ya ngga tau aturan ya. Bertamu kok siang-siang. Membangunkan orang tidur siang saja.” Omel Bu Murni sambil berjalan menuju Warung Budhe Sri.
“Ada apa Bu, siang-siang kok marah-marah kayak gitu?” tanya Budhe Sri kemudian.
“Saya tadi lagi enak-enaknya tidur siang, eh ada yang ngetok pintu rumah. Ternyata ada mbok-mbok yang jual rujak keliling menawarkan diri untuk jadi pembantu saya.”
“Ya kalau sedang tidak butuh pembantu, ditolak saja dengan baik-baik Bu. Tak perlu marah-marah.” sahut Budhe Sri.
“Bukan itu masalahnya Budhe, yang buat saya naik pitam, tuh mbok-mbok bilang gini ke saya ‘apa ibu yang butuh pembantu? yang rumahnya paling pojok, yang anaknya 2 orang’..”
“Ya mungkin mbok-mbok itu mendengar dari temannya yang sama-sama pembatu di kompleks sini.” Budhe Sri menimpali.
“Tapi mbok-mbok itu ngotot! Saya sudah bilang bahwa saya sedang tidak butuh pembantu. Benar bahwa rumah saya di pojok, tapi anak saya hanya dua, bukan tiga. Mungkin mbok salah informasi. Ehh… dia masih ngotot juga?.” Bu Murni masih senewen.
“Sudahlah Bu Murni, yang sabar… Tak perlu marah-marah seperti itu. Ya mungkin, itu trik nya dia untuk mendapatkan pekerjaan, siapa tahu mungkin kalau rejekinya mbok nya itu, ternyata Bu Murni memang lagi butuh pembantu?.” Budhe Sri mencoba memberi pandangan positif.
“Iya juga sih, kalau dipikir-pikir bisa saja itu trik nya si mbok tadi.” Bu Murni mulai mereda emosinya.
Sambil berjualan rujak keliling setiap harinya, ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, ratap si mbok penjual rujak keliling.
Susahnya mengais rejeki. Sudah siang-siang jalan kesana kemari keliling kompleks, menawarkan diri menjadi pembantu rumah tangga. Ditambah di caci maki oleh pemilik rumah ‘hanya karena’ salah tempat dan salah waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H