Sejenak mungkin anda akan berpikir, apa bedanya dua hal yang dipaparkan di judul tersebut? Bukankah mencari jodoh artinya sama dengan mencari cinta? Mengapa harus timbul pertanyaan di atas?
Masih dalam suasana tahun baru, meski sudah terasa panas oleh suasana politik, namun harapan sebagian kaum muda adalah mendapatkan jodoh. Kita bisa lihat beberapa contoh resolusi mereka, contohnya:
"Semoga tahun ini dapat jodoh"
"Semoga tahun ini menikah"
"Menikah 2018 Yes!
Atau mungkin, bagi yang sudah mempunyai pasangan doanya adalah :
"Semoga semakin langgeng"
"Semoga semakin sakinah mawaddah warrahmah"
Tapi, pernahkah, ada satu saja, yang mengatakan "Semoga tahun ini mendapatkan cinta." ?
Tidak, karena akan ditertawakan temannya ditambah yang menulis seperti itu juga akan mentertawakan dirinya sendiri.
Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul Redupnya Makna "cinta" di "Zaman Now" , saya mencoba merefleksi terhadap makna cinta yang sesungguhnya.
Kali ini saya akan membahas lebih spesifik mengenai cinta terhadap 'calon' pasangan. Â Mengapa kita semua sangat menggebu-gebu untuk mendapatkan jodoh?
Kalau anda perhatikan kalimat tanya di atas, di sana menggunakan kata 'mendapatkan' dan 'jodoh'. Artinya, dua kata ini menjadi determinantuntuk sebuah tujuan.Â
Ada yang bilang "Jodoh tak akan kemana". Lantas, dia hanya santai sambil terus memperbaiki dirinya.
Ada lagi yang bilang "Jodoh harus diikhtiarkan." Ia bukan saja menunggu, tapi ia benar-benar mencari jodohnya sampai dia harus meminta seorang ustadz untuk ditukar CVnya dengan orang lain.
Diksi yang dipakai selalu tentang jodoh, jodoh, dan jodoh. Asal sudah mendapatkan jodoh, apalagi diikat dengan tali pernikahan, salah satu tujuan dalam hidup sudah terlaksana.
Namun, lagi-lagi, di sini kita tidak menemukan kata 'Cinta'. Kata Cinra alpa dari perjodohan. Seolah-olah cinta bukan suatu hal yang perlu dibahas di 'Zaman Now'.
Maka, stereotip yang kerap muncul adalah :
"Gak cukup dengan modal cinta."
"Cinta gak bisa kasih makan."
"Cinta bisa tumbuh setelah pernikahan."
Bahkan sebelum cinta memberikan 'tesis'nya, kita sudah melakukan 'antitesis' terhadap cinta. Sekali lagi, demi kepentingan jodoh.
Karenanya kalau kita perhatikan, banyak sekali buku-buku dan seminar yang beredar di Indonesia membicarakan soal 'mendapatkan si dia' 'meraih restu orang tua' 'menjaga hubungan' dan sejenisnya. Anda mungkin lebih paham semua tehnikalitas tersebut dari saya. Sedangkan kata cinta, diletakkan hanya di sampul novel dan film beserta dengan cerita fiksinya.
Sampai sini sejenak kita bisa merenung, bahwa apakah cinta sejati itu hanya sekedar fiksi? Apakah cinta pada dunia nyata berbeda dengan dunia khayalan?
Oh iya, jelas anda akan menjawab 'Iya'. Dengan berbagai macam alasan.Â
Pertanyaan saya hanya satu:
"Apa yang sebenarnya anda inginkan dalam hidup anda? Jodoh atau Cinta?"
Kita tidak bisa pungkiri bahwa kita butuh surplus cinta dalam hidup. Sebuah penelitian mengatakan bahwa seorang anak yang tumbuh dengan berbagai kelakuan menyimpang adalah karena kurangnya surplus cinta dari orang tuanya. Dan ternyata hal ini juga berlaku bagi remaja sampai orang dewasa.Â
Iya, kita butuh diakui dengan cinta. Karenanya kita ingin mencari pasangan hidup, bukan begitu?
Tetapi, mengapa kita jarang sekali mendengarkan kalimat "ingin mendapatkan cinta" akhir-akhir ini? 10 tahun yang lalu mungkin kalimat itu masih bisa ditemukan. Tapi saya jarang menemuinya sekarang.
Mengapa?
Jawabannya karena mungkin kita ingin segera mengalami pengalaman romantisme dengan orang lain. Kita ingin agar keluar dari status 'jomblo'. Kita ingin segera menjadi manusia dewasa yang bisa berumah tangga dengan baik. Kita ingin mengekspresikan cinta kita dengan calon pasangan kita yang kita cintai
Tapi kita, tidak siap untuk melajang seumur hidup, sekalipun kita sudah 'menemukan' cinta kita. Karena boleh jadi, kita tidak atau belum benar-benar mencintai orang yang kita ingin jadikan pasangan hidup. Yang terus ada di pikiran kita adalah mendapatkan benefits dari cinta. Tanpa pernah sedikitpun memberi benefits untuk cinta.
Cinta yang saya sebut di sini adalah cinta itu sendiri. Bukan calon pasangan anda. (Penjelasan lebih lanjut perihal ini bisa dilihat di tulisan saya berjudul Redupnya Makna "cinta" di "Zaman Now" )
Hal yang perlu kita tanya dalan diri kita sekarang adalah :
"Bagaimana saya bertanggung jawab atas deklarasi cinta yang sudah saya tujukan kepada seseorang?"
Kita berani dan siap terjun ke dalam romantisme, tapi kita tidak siap untuk 'mencintai' seseorang. Kita siap untuk bergonta-ganti pasangan, tapi kita tidak siap untuk mempertahankan cinta yang sudah kita ungkapkan. Yang kita takutkan nanti ketika menjalankan hubungan dengan seseorang adalah kehilangan orang tersebut. Bukan kehilangan cinta dalam hati kita. Karena kita tidak pernah tau dan tidak bisa memberi 'dalil' yang tegas kepada cinta kita. Kita hanya 'copas' stereotip cinta dari orang lain. Kan tidak lucu, kalau saya bilang cinta anda hari ini termasuk plagiarism. Â Anda copasteori cinta orang lain, semata-mata agar anda mendapatkan jodoh. Tanpa pernah menginginkan untuk mengetahui dan merasakan hakikat dari cinta itu sendiri.
Al-hafidz Ibnu Hajar pernah mengatakan :
"Cinta sejati itu tidak bertambah karena kebaikan personal. Juga tidak berkurang karena keburukan personal."
Begitu juga Ibnu Qayyim Al-Jauziyah :
"Jika engkau mencintai seseorang karena sesuatu, maka engkau akan pergi jika sesuatu itu hilang."
Maka cintailah dia karena cinta. Karena cinta tak akan pernah mengkhianatimu selama engkau bersamanya. Cinta adalah cahaya yang bersinar di hatimu. Cahaya itu mungkin akan membakarmu karena panas yang dipancarkan. Tapi jangan lupa, bahwa cahaya itu pula yang bersinar menerangi hatimu sehingga engkau tidak buta dalam hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H