Waktu itu saya berpikir untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dan fokus menjadi full time travel blogger. Jika dihitung pendapatan setahun dari passion maka nilainya hampir sama dengan  penghasilan di perusahaan tempat saya bekerja.Â
Saya yakin dengan fokus sebagai freelancer penghasilan yang didapatkan akan lebih besar. Karena saya sadar dengan bekerja sebagai karyawan saya belum memaksimalkan passion traveling.
Tapi yang menjadi pertimbangan adalah benefit lain perusahaan seperti jaminan sosial dan kesehatan.
"Kalau saya mengundurkan diri lalu kalau sakit bagaimana?" Saya mencoba membungkam ego.
Saya mencoba mengkomunikasikan niat ini kepada orang tua dan beberapa rekan kerja di kantor. Dan jawabannya sudah bisa ditebak, mereka menentang keinginan saya menjadi full time travel blogger.
"Jadi freelance itu nggak gampang. Susah kalau mau mendapat pinjaman dari bank", ujar teman saya spontan menanggapi.
 "Terus siapa yang akan membiayai kalau sakit. Sudah jalani saja takdir jangan neko-neko", ibu menasihati saya.
Saya terdiam karena waktu itu saya berpikir bahwa asuransi jiwa dan kesehatan yang diberikan oleh perusahaan adalah yang terbaik. Saya tidak mengerti bahwa ada asuransi personal yang manfaatnya cocok dengan profesi freelancer. Keinginan menjadi freelancer saya kubur dalam-dalam dan saya menjadi Mas-Mas kantoran kurang piknik.
Berlahan namun pasti saya mengurangi frekuensi  jalan dan gaya traveling pun berubah, dari backpacking di pulau eksotis nusantara menjadi reviewer hotel dan resto setiap akhir pekan.
#BebaskanLangkah Bersama FWD Life