Mohon tunggu...
Danang Satria Nugraha
Danang Satria Nugraha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Universitas Sanata Dharma

Selain mengajarkan ilmu bahasa dan meneliti fenomenanya di ruang publik, penulis gemar mengamati pendidikan dan dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak dari Kacamata Prof. Stella Christie

31 Januari 2025   23:56 Diperbarui: 31 Januari 2025   23:56 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemelajar Bahasa (Sumber: https://media.istockphoto.com/id/143176813/photo/language-master.jpg?)

"To have another language is to possess a second soul." 

_________ Charlemagne

Bahasa dan kognisi anak merupakan dua aspek yang saling berkaitan dan menarik untuk diteliti. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu telah mencurahkan perhatiannya pada upaya memahami bagaimana tepatnya kedua aspek ini berkembang. Tulisan ini akan membahas tiga kutipan penting tentang anak (dan bahasanya) yang dipetik dari tiga publikasi ilmiah yang ditulis oleh Prof. Stella Christie, berjudul (a) "You 'again': An acquisition study on its restitutive reading with goal-PPs" (2024), (b) "Why play equals learning: Comparison as a learning mechanism in play" (2022), dan (a) "Language helps children succeed on a classic analogy task" (2014). Ketiga publikasi ini menawarkan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi tentang perkembangan anak, khususnya dalam kaitannya dengan bahasa. Kutipan-kutipan yang akan dibahas akan menjelaskan bagaimana bahasa berperan dalam proses kognitif anak, termasuk dalam memahami konsep pengulangan, belajar melalui perbandingan saat bermain, serta memecahkan masalah analogi. Melalui pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga landasan penting bagi perkembangan kognitif anak secara menyeluruh.

Pandangan Pertama

[1]
"Among the most remarkable aspects of language acquisition is the child's ability to master, for any of the world's languages, the rich subtleties of linguistic meaning. A striking case is knowledge of presuppositions: Beyond the asserted meanings of linguistic expressions, the child somehow grasps the prior conditions that had to be satisfied in order for those expressions to have a truth-conditional meaning in the first place. Presuppositional meaning that shows cross-linguistic variation is especially challenging, because the target knowledge cannot simply be built-in. Children must make correct choices for their own target language."

Salah satu aspek paling menakjubkan dari pemerolehan bahasa adalah kemampuan anak untuk menguasai, dalam bahasa mana pun di dunia, seluk-beluk makna linguistik yang kaya.  Proses ini bukanlah sekadar meniru atau menghafal kata-kata, melainkan sebuah pencapaian kognitif yang luar biasa.  Anak tidak hanya mempelajari arti literal sebuah kata, tetapi juga memahami nuansa makna yang terkandung di dalamnya, termasuk bagaimana kata tersebut berinteraksi dengan konteks dan pengetahuan dunia.  Kemampuan ini memungkinkan anak untuk berkomunikasi secara efektif dan memahami maksud pembicara, bahkan ketika makna tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit.  Lebih jauh lagi, anak juga mengembangkan pemahaman tentang struktur gramatikal yang kompleks, yang memungkinkan mereka untuk menghasilkan dan memahami kalimat-kalimat yang tak terhingga jumlahnya. Proses ini terjadi secara alami dan seringkali tanpa pengajaran formal, menunjukkan kapasitas bawaan manusia untuk bahasa.  Keberhasilan anak dalam menguasai bahasa merupakan bukti kompleksitas kognitif yang luar biasa dan fondasi penting bagi perkembangan kognitif dan sosial mereka.  Kemampuan berbahasa yang baik membuka pintu bagi pembelajaran, interaksi sosial, dan pemahaman dunia di sekitar mereka.

Salah satu contoh paling mencolok dari kemampuan linguistik yang kompleks ini adalah pemahaman tentang praanggapan.  Di luar makna yang dinyatakan secara langsung dalam ekspresi linguistik, anak entah bagaimana memahami kondisi-kondisi sebelumnya yang harus dipenuhi agar ekspresi tersebut memiliki makna kebenaran-kondisional.  Artinya, anak tidak hanya memahami apa yang dikatakan, tetapi juga apa yang tersirat atau diasumsikan oleh pembicara.  Sebagai contoh, kalimat "Adik saya berhenti bermain piano" mengandung praanggapan bahwa adik saya sebelumnya bermain piano.  Seorang anak yang memahami kalimat ini tidak hanya mengerti bahwa adiknya tidak lagi bermain piano, tetapi juga memahami bahwa adiknya pernah bermain piano sebelumnya.  Pemahaman praanggapan ini sangat penting untuk interpretasi wacana yang tepat dan memungkinkan anak untuk memahami implikasi dan maksud tersembunyi dalam percakapan.  Tanpa pemahaman praanggapan, komunikasi bisa menjadi ambigu atau bahkan salah paham.

Makna praanggapan yang menunjukkan variasi lintas bahasa merupakan tantangan tersendiri bagi anak.  Karena pengetahuan target tidak dapat dibangun secara bawaan, anak harus membuat pilihan yang tepat untuk bahasa target mereka sendiri.  Artinya, anak tidak hanya mempelajari kosakata dan tata bahasa, tetapi juga mempelajari aturan-aturan pragmatik yang mengatur penggunaan bahasa dalam konteks tertentu.  Setiap bahasa memiliki konvensi dan aturan sendiri tentang praanggapan, dan anak harus mampu menguasai perbedaan-perbedaan ini untuk berkomunikasi secara efektif dalam bahasa tersebut.  Sebagai contoh, praanggapan yang terkait dengan penggunaan kata "lagi" bisa berbeda antar bahasa.  Dalam beberapa bahasa, kata "lagi" mengimplikasikan bahwa tindakan tersebut telah terjadi sebelumnya, sementara dalam bahasa lain, implikasi ini mungkin tidak ada atau lebih lemah.  Kemampuan anak untuk menangkap dan menguasai variasi lintas bahasa dalam praanggapan ini menunjukkan fleksibilitas kognitif dan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan kompleksitas linguistik.  Hal ini juga menyoroti pentingnya interaksi dan paparan terhadap bahasa yang kaya dan beragam dalam proses pemerolehan bahasa.

Pandangan Kedua

[2]
"Play is an essential component of childhood, but parents and educators sometimes view it as an optional add-on, which gets in the way of learning. This view persists in spite of evidence that play is helpful and sometimes critical to learning in multiple domains, perhaps because precise mechanisms whereby play occasions learning are not well understood. Here, I propose a new research perspective on playful learning, which might fill this gap, and solidify our understanding of both play and learning: a focus on comparison and structural alignment. Comparison (and structural alignment, which highlights useful comparisons) is a well-studied learning mechanism, and it occurs often during free and guided play. Do we learn through play because we compare during play?"

Bermain merupakan komponen penting dalam masa kanak-kanak, namun para orang tua dan pendidik terkadang memandangnya sebagai tambahan opsional yang menghalangi pembelajaran. Pandangan ini masih bertahan meskipun ada bukti bahwa bermain sangat membantu dan terkadang penting untuk pembelajaran di berbagai domain.  Mungkin saja pandangan ini bertahan karena mekanisme pasti bagaimana bermain memicu pembelajaran tidak dipahami dengan baik. Padahal, bermain bukanlah sekadar aktivitas rekreasi, melainkan sebuah proses kognitif yang kompleks yang melibatkan berbagai keterampilan dan kemampuan.  Anak-anak belajar melalui bermain dengan cara yang alami dan menyenangkan, mengembangkan kemampuan sosial, emosional, fisik, dan kognitif mereka.  Bermain juga memungkinkan anak untuk mengeksplorasi dunia di sekitar mereka, bereksperimen dengan ide-ide baru, dan mengembangkan kreativitas serta imajinasi.  Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk memahami nilai penting bermain dan memberikan kesempatan yang cukup bagi anak-anak untuk bermain.

Dalam konteks tersebut, Prof. Stella  mengusulkan perspektif penelitian baru tentang pembelajaran melalui bermain, yang dapat mengisi kesenjangan ini, dan memperkuat pemahaman kita tentang bermain dan pembelajaran: fokus pada perbandingan dan penyelarasan struktural. Perbandingan (dan penyelarasan struktural, yang menyoroti perbandingan yang berguna) adalah mekanisme pembelajaran yang telah dipelajari dengan baik, dan sering terjadi selama bermain bebas dan terarah.  Perbandingan memungkinkan anak untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara berbagai objek, konsep, atau pengalaman.  Proses ini membantu mereka untuk memahami dunia di sekitar mereka dengan lebih baik, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan membangun pengetahuan baru.  Misalnya, saat bermain balok, anak mungkin membandingkan ukuran, bentuk, dan warna balok yang berbeda, atau membandingkan bangunan yang mereka buat dengan gambar atau contoh yang mereka lihat.  Melalui perbandingan ini, mereka belajar tentang konsep-konsep seperti ukuran, bentuk, warna, dan ruang.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah kita belajar melalui bermain karena kita melakukan aktivitas membandingkan selama bermain?  Jika benar, maka perbandingan dan penyelarasan struktural dapat menjadi kunci untuk memahami bagaimana bermain memfasilitasi pembelajaran.  Penyelarasan struktural adalah proses membandingkan struktur atau pola yang mendasari berbagai objek atau pengalaman.  Misalnya, seorang anak mungkin membandingkan struktur cerita yang berbeda, atau membandingkan pola gerakan dalam berbagai jenis olahraga.  Melalui penyelarasan struktural, anak dapat mengidentifikasi hubungan antara berbagai konsep atau pengalaman, dan membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia.  Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguji hipotesis ini dan untuk mengeksplorasi bagaimana perbandingan dan penyelarasan struktural berkontribusi pada berbagai jenis pembelajaran yang terjadi selama bermain.  Dengan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme ini, kita dapat merancang kegiatan bermain yang lebih efektif untuk mendukung pembelajaran anak.

Pandangan Ketiga


[3]
"Across our studies, the availability of symbols made a dramatic difference in the age at which children could match the identity relation---from 4 years of age without symbolic support to 2 years with such support. We conclude that humans become paragons of relational ability not only through biological endowment but through cultural experience, with language being a major contributor."

Hasil penelitian yang Prof. Stella dan kolega lakukan menunjukkan bahwa ketersediaan simbol membuat perbedaan dramatis dalam usia di mana anak-anak dapat mencocokkan hubungan identitas---dari 4 tahun tanpa dukungan simbolik menjadi 2 tahun dengan dukungan tersebut.  Temuan ini memberikan bukti kuat bahwa kemampuan relasional, yang merupakan fondasi penting bagi kognisi tingkat tinggi, tidak hanya bergantung pada kapasitas biologis bawaan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman budaya.  Tanpa simbol, anak-anak membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami dan mengekspresikan hubungan antar objek atau konsep.  Simbol, dalam bentuk bahasa atau representasi lainnya, memungkinkan anak untuk mengabstraksikan informasi, membuat generalisasi, dan melakukan penalaran yang lebih kompleks.  Sebagai contoh, ketika anak-anak belajar tentang konsep "sama," mereka tidak hanya melihat kesamaan fisik antara dua benda, tetapi juga memahami hubungan abstrak yang menghubungkan keduanya.  Simbol membantu mereka untuk mengkodekan dan memanipulasi hubungan ini dalam pikiran mereka, yang memungkinkan mereka untuk membandingkan dan membedakan berbagai objek atau situasi.

Bahasa, sebagai sistem simbol yang paling canggih, memainkan peran sentral dalam perkembangan kemampuan relasional anak.  Melalui bahasa, anak-anak belajar untuk memberi nama pada berbagai objek, tindakan, dan hubungan.  Proses pemberian nama ini membantu mereka untuk mengkategorikan dan mengorganisasikan pengalaman mereka, serta untuk berkomunikasi tentangnya kepada orang lain.  Lebih dari sekadar label, bahasa juga menyediakan kerangka kerja konseptual yang memungkinkan anak-anak untuk memahami hubungan yang lebih kompleks, seperti hubungan sebab-akibat, temporal, atau spasial.  Misalnya, kata-kata seperti "karena," "sebelum," dan "di antara" membantu anak-anak untuk memahami bagaimana peristiwa atau objek terkait satu sama lain.  Selain itu, bahasa juga memungkinkan anak-anak untuk belajar tentang konsep abstrak, seperti keadilan, keindahan, atau kebenaran, yang sulit dipahami tanpa representasi simbolik.  Dengan demikian, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat kognitif yang penting untuk perkembangan pemikiran relasional.

Kesimpulan yang dinyatakan dalam kutipan tersebut adalah bahwa manusia menjadi paragon kemampuan relasional tidak hanya melalui anugerah biologis tetapi melalui pengalaman budaya, dengan bahasa sebagai kontributor utama, memiliki implikasi penting bagi pendidikan dan perkembangan anak.  Temuan ini menyoroti pentingnya memberikan anak-anak pengalaman linguistik yang kaya sejak usia dini.  Paparan terhadap bahasa yang beragam dan kompleks, serta interaksi verbal yang sering dengan orang dewasa dan teman sebaya, sangat penting untuk mengembangkan kemampuan relasional anak.  Selain itu, penggunaan simbol dalam berbagai bentuk, seperti gambar, diagram, atau representasi matematika, juga dapat membantu anak-anak untuk memahami dan memanipulasi hubungan antar konsep.  Oleh karena itu, pendidikan yang efektif harus mencakup strategi yang mendorong pengembangan kemampuan relasional anak melalui bahasa dan simbol.  Dengan memahami bagaimana bahasa dan budaya berkontribusi pada perkembangan kognitif, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif untuk membantu anak-anak mencapai potensi penuh mereka.


Penutup
Melalui pembahasan tiga kutipan dari penelitian Prof. Stella Christie, esai ini menyoroti kompleksitas perkembangan anak dari sudut pandang yang beragam.  Kemampuan bahasa anak, termasuk pemahaman anggapan dan akuisisi makna linguistik yang mendalam, adalah bukti keajaiban kognitif manusia.  Bermain, yang sering dianggap sebagai kegiatan asi semata, ternyata menjadi landasan penting untuk pembelajaran melalui perbandingan dan penyelarasan struktural.  Terakhir, peran simbol, terutama bahasa, dalam memfasilitasi kemampuan relasional anak, menunjukkan bahwa perkembangan kognitif tidak hanya ditentukan oleh faktor biologis, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman budaya.  Dengan memahami mekanisme-mekanisme ini, kita dapat lebih menghargai kompleksitas perkembangan anak dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan optimal mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun