Dalam konteks tersebut, Prof. Stella  mengusulkan perspektif penelitian baru tentang pembelajaran melalui bermain, yang dapat mengisi kesenjangan ini, dan memperkuat pemahaman kita tentang bermain dan pembelajaran: fokus pada perbandingan dan penyelarasan struktural. Perbandingan (dan penyelarasan struktural, yang menyoroti perbandingan yang berguna) adalah mekanisme pembelajaran yang telah dipelajari dengan baik, dan sering terjadi selama bermain bebas dan terarah.  Perbandingan memungkinkan anak untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara berbagai objek, konsep, atau pengalaman.  Proses ini membantu mereka untuk memahami dunia di sekitar mereka dengan lebih baik, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan membangun pengetahuan baru.  Misalnya, saat bermain balok, anak mungkin membandingkan ukuran, bentuk, dan warna balok yang berbeda, atau membandingkan bangunan yang mereka buat dengan gambar atau contoh yang mereka lihat.  Melalui perbandingan ini, mereka belajar tentang konsep-konsep seperti ukuran, bentuk, warna, dan ruang.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah kita belajar melalui bermain karena kita melakukan aktivitas membandingkan selama bermain? Â Jika benar, maka perbandingan dan penyelarasan struktural dapat menjadi kunci untuk memahami bagaimana bermain memfasilitasi pembelajaran. Â Penyelarasan struktural adalah proses membandingkan struktur atau pola yang mendasari berbagai objek atau pengalaman. Â Misalnya, seorang anak mungkin membandingkan struktur cerita yang berbeda, atau membandingkan pola gerakan dalam berbagai jenis olahraga. Â Melalui penyelarasan struktural, anak dapat mengidentifikasi hubungan antara berbagai konsep atau pengalaman, dan membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia. Â Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguji hipotesis ini dan untuk mengeksplorasi bagaimana perbandingan dan penyelarasan struktural berkontribusi pada berbagai jenis pembelajaran yang terjadi selama bermain. Â Dengan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme ini, kita dapat merancang kegiatan bermain yang lebih efektif untuk mendukung pembelajaran anak.
Pandangan Ketiga
[3]
"Across our studies, the availability of symbols made a dramatic difference in the age at which children could match the identity relation---from 4 years of age without symbolic support to 2 years with such support. We conclude that humans become paragons of relational ability not only through biological endowment but through cultural experience, with language being a major contributor."
Hasil penelitian yang Prof. Stella dan kolega lakukan menunjukkan bahwa ketersediaan simbol membuat perbedaan dramatis dalam usia di mana anak-anak dapat mencocokkan hubungan identitas---dari 4 tahun tanpa dukungan simbolik menjadi 2 tahun dengan dukungan tersebut. Â Temuan ini memberikan bukti kuat bahwa kemampuan relasional, yang merupakan fondasi penting bagi kognisi tingkat tinggi, tidak hanya bergantung pada kapasitas biologis bawaan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman budaya. Â Tanpa simbol, anak-anak membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami dan mengekspresikan hubungan antar objek atau konsep. Â Simbol, dalam bentuk bahasa atau representasi lainnya, memungkinkan anak untuk mengabstraksikan informasi, membuat generalisasi, dan melakukan penalaran yang lebih kompleks. Â Sebagai contoh, ketika anak-anak belajar tentang konsep "sama," mereka tidak hanya melihat kesamaan fisik antara dua benda, tetapi juga memahami hubungan abstrak yang menghubungkan keduanya. Â Simbol membantu mereka untuk mengkodekan dan memanipulasi hubungan ini dalam pikiran mereka, yang memungkinkan mereka untuk membandingkan dan membedakan berbagai objek atau situasi.
Bahasa, sebagai sistem simbol yang paling canggih, memainkan peran sentral dalam perkembangan kemampuan relasional anak. Â Melalui bahasa, anak-anak belajar untuk memberi nama pada berbagai objek, tindakan, dan hubungan. Â Proses pemberian nama ini membantu mereka untuk mengkategorikan dan mengorganisasikan pengalaman mereka, serta untuk berkomunikasi tentangnya kepada orang lain. Â Lebih dari sekadar label, bahasa juga menyediakan kerangka kerja konseptual yang memungkinkan anak-anak untuk memahami hubungan yang lebih kompleks, seperti hubungan sebab-akibat, temporal, atau spasial. Â Misalnya, kata-kata seperti "karena," "sebelum," dan "di antara" membantu anak-anak untuk memahami bagaimana peristiwa atau objek terkait satu sama lain. Â Selain itu, bahasa juga memungkinkan anak-anak untuk belajar tentang konsep abstrak, seperti keadilan, keindahan, atau kebenaran, yang sulit dipahami tanpa representasi simbolik. Â Dengan demikian, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat kognitif yang penting untuk perkembangan pemikiran relasional.
Kesimpulan yang dinyatakan dalam kutipan tersebut adalah bahwa manusia menjadi paragon kemampuan relasional tidak hanya melalui anugerah biologis tetapi melalui pengalaman budaya, dengan bahasa sebagai kontributor utama, memiliki implikasi penting bagi pendidikan dan perkembangan anak. Â Temuan ini menyoroti pentingnya memberikan anak-anak pengalaman linguistik yang kaya sejak usia dini. Â Paparan terhadap bahasa yang beragam dan kompleks, serta interaksi verbal yang sering dengan orang dewasa dan teman sebaya, sangat penting untuk mengembangkan kemampuan relasional anak. Â Selain itu, penggunaan simbol dalam berbagai bentuk, seperti gambar, diagram, atau representasi matematika, juga dapat membantu anak-anak untuk memahami dan memanipulasi hubungan antar konsep. Â Oleh karena itu, pendidikan yang efektif harus mencakup strategi yang mendorong pengembangan kemampuan relasional anak melalui bahasa dan simbol. Â Dengan memahami bagaimana bahasa dan budaya berkontribusi pada perkembangan kognitif, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif untuk membantu anak-anak mencapai potensi penuh mereka.
Penutup
Melalui pembahasan tiga kutipan dari penelitian Prof. Stella Christie, esai ini menyoroti kompleksitas perkembangan anak dari sudut pandang yang beragam. Â Kemampuan bahasa anak, termasuk pemahaman anggapan dan akuisisi makna linguistik yang mendalam, adalah bukti keajaiban kognitif manusia. Â Bermain, yang sering dianggap sebagai kegiatan asi semata, ternyata menjadi landasan penting untuk pembelajaran melalui perbandingan dan penyelarasan struktural. Â Terakhir, peran simbol, terutama bahasa, dalam memfasilitasi kemampuan relasional anak, menunjukkan bahwa perkembangan kognitif tidak hanya ditentukan oleh faktor biologis, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman budaya. Â Dengan memahami mekanisme-mekanisme ini, kita dapat lebih menghargai kompleksitas perkembangan anak dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan optimal mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI