"Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.''
___________Nelson Mandela
Tulisan ini akan membahas tiga pesan utama yang disarikan dari sebuah makalah penting, yang ditulis oleh Prof. Satyro Soemantri Brodjonegoro, berjudul "Higher Education Reform in Indonesia". Makalah ini menyajikan analisis komprehensif mengenai tantangan dan peluang dalam reformasi pendidikan tinggi di Indonesia, dan menawarkan wawasan berharga bagi para pemangku kepentingan. Tiga poin utama yang akan dibahas dalam esai ini mencakup visi ideal pendidikan tinggi di Indonesia, analisis komparatif mengenai pendidikan tinggi di Indonesia dan negara-negara lain, serta rekomendasi kebijakan yang ditujukan untuk perbaikan sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Ketiga pesan ini akan dianalisis secara sederhana, dengan merujuk pada data dan argumen yang disajikan dalam makalah tersebut, serta menghubungkannya dengan konteks dan tantangan pendidikan tinggi di Indonesia saat ini. Dengan memahami dan menginternalisasi ketiga pesan ini, diharapkan kita dapat berkontribusi pada upaya kolektif untuk mewujudkan sistem pendidikan tinggi yang lebih berkualitas dan relevan bagi kemajuan bangsa.
Konteks
[1]
"Globalization's risks of inequality are likely to be greatest in the next decade, as developing countries undergo to the difficult transition to more competitive, transparent, and rule based market systems. <...> Higher education could not be exclueded from the above mentioned concern and therefore it is necessary for the higher educaton institutions to develop institutional credibility through restructuring the nation wide system as well as the university system"
Globalisasi, dengan segala kompleksitasnya, menghadirkan tantangan dan peluang unik bagi negara-negara berkembang, terutama dalam dekade mendatang. Â Masa transisi menuju sistem pasar yang lebih kompetitif, transparan, dan berbasis aturan, berpotensi memperlebar jurang ketidaksetaraan. Â Kutipan di atas secara jelas menyoroti risiko ini, menekankan bahwa ketidaksetaraan sebagai dampak globalisasi kemungkinan akan mencapai puncaknya dalam periode ini. Â Proses transformasi ekonomi dan sosial yang sedang berlangsung menuntut adaptasi yang cepat dan tepat, dan kegagalan untuk mengelola transisi ini dengan baik dapat berujung pada polarisasi yang lebih besar. Â Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai dinamika globalisasi dan dampaknya terhadap berbagai sektor, termasuk pendidikan tinggi, menjadi krusial. Â Pendidikan tinggi, sebagai pilar penting pembangunan sumber daya manusia, tidak dapat mengabaikan realitas ini. Â Justru sebaliknya, institusi pendidikan tinggi memiliki peran sentral dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan global dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Implikasi dari risiko ketidaksetaraan globalisasi terhadap pendidikan tinggi sangat signifikan. Â Institusi pendidikan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai penyedia pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Â Dalam konteks globalisasi, pendidikan tinggi harus mampu membekali mahasiswa dengan kompetensi yang relevan dengan tuntutan pasar kerja global, sekaligus menanamkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab sosial. Â Kesenjangan dalam akses terhadap pendidikan tinggi berkualitas dapat memperburuk ketidaksetaraan yang ada, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Â Oleh karena itu, upaya untuk memperluas akses pendidikan tinggi bagi kelompok-kelompok yang kurang beruntung, serta meningkatkan kualitas pendidikan secara merata, menjadi sangat penting. Â Selain itu, kurikulum pendidikan tinggi perlu dirancang agar relevan dengan kebutuhan dunia kerja yang terus berubah, serta membekali mahasiswa dengan keterampilan abad ke-21, seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan bekerja sama. Â Dengan demikian, pendidikan tinggi dapat berperan sebagai motor penggerak mobilitas sosial dan mengurangi ketidaksetaraan.
Kutipan di atas dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan tinggi tidak dapat dikecualikan dari kekhawatiran terkait dampak globalisasi. Â Oleh karena itu, pengembangan kredibilitas institusional menjadi suatu keniscayaan. Â Kredibilitas ini dapat dicapai melalui restrukturisasi sistem pendidikan tinggi, baik di tingkat nasional maupun universitas. Â Restrukturisasi ini harus mencakup berbagai aspek, mulai dari tata kelola dan manajemen, hingga kurikulum dan proses pembelajaran. Â Reformasi sistem pendidikan tinggi harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat. Â Tujuannya adalah untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi yang berkualitas, relevan, dan akuntabel, yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dan berdaya saing global. Â Selain itu, reformasi juga harus memperhatikan aspek inklusi dan kesetaraan, memastikan bahwa semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan tinggi berkualitas. Â Dengan demikian, pendidikan tinggi dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan nasional dan mengurangi dampak negatif globalisasi.
Menyoal Sistem
[2]
"In many developing countries, education is still a vehicle that reinforces rather than compensates for initial differences across households in income and wealth."
Kutipan di atas dengan jelas menggambarkan permasalahan krusial dalam sistem pendidikan di banyak negara berkembang, di mana alih-alih menjadi penyeimbang, pendidikan justru memperkuat ketidaksetaraan yang telah ada sebelumnya. Alih-alih memberikan peluang yang sama bagi semua anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi keluarga, pendidikan seringkali menjadi kendaraan yang melanggengkan perbedaan pendapatan dan kekayaan antar rumah tangga. Hal ini terjadi karena berbagai faktor yang saling berkaitan. Akses terhadap pendidikan berkualitas, misalnya, seringkali sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi keluarga. Anak-anak dari keluarga sejahtera memiliki akses lebih besar terhadap sekolah-sekolah yang baik, fasilitas yang memadai, dan materi pembelajaran yang berkualitas. Sebaliknya, anak-anak dari keluarga pra-sejahtera seringkali harus bersekolah di sekolah-sekolah yang kekurangan fasilitas, dengan kualitas guru yang kurang memadai, dan tanpa dukungan materi yang cukup. Akibatnya, kesenjangan dalam kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak dari berbagai latar belakang ekonomi semakin melebar.
Selain akses terhadap fasilitas dan materi, faktor lain yang juga berperan adalah lingkungan keluarga dan sosial. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang sejahtera dan berpendidikan umumnya memiliki keunggulan dalam hal perkembangan kognitif dan sosial. Mereka cenderung lebih termotivasi untuk belajar, memiliki akses lebih besar terhadap sumber informasi dan pengetahuan, serta mendapatkan dukungan yang lebih baik dari orang tua mereka. Sebaliknya, anak-anak dari keluarga pra-sejahtera seringkali menghadapi tantangan yang lebih besar dalam belajar. Mereka mungkin tidak memiliki akses terhadap buku dan materi pembelajaran yang cukup, kurang mendapatkan dukungan dari orang tua mereka yang mungkin sibuk bekerja, dan hidup dalam lingkungan yang kurang kondusif untuk belajar. Akibatnya, kesenjangan dalam prestasi akademik antara anak-anak dari berbagai latar belakang ekonomi semakin besar.
Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam pendidikan menjadi sangat penting. Pemerintah dan semua pihak terkait perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa semua anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi mereka, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Hal ini mencakup penyediaan fasilitas dan materi pembelajaran yang memadai, peningkatan kualitas guru, serta pemberian dukungan kepada siswa dari keluarga pra-sejahtera. Selain itu, penting juga untuk mengatasi faktor-faktor di luar sekolah yang juga berkontribusi terhadap ketidaksetaraan, seperti kemiskinan, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan dan gizi, serta lingkungan keluarga dan sosial yang tidak mendukung. Dengan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan pendidikan dapat menjadi alat yang efektif untuk mengurangi ketidaksetaraan dan memberikan peluang yang sama bagi semua anak untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Langkah ke Depan
[3]
"The new paradigm: quality, autonomy, accountability, accreditation, and evaluation, represent the five pillars of the new paradigm in higher education management."
Kutipan di atas memperkenalkan paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi, yang menekankan pada lima pilar utama: kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Paradigma ini menandai pergeseran signifikan dalam cara pendidikan tinggi dipandang dan dikelola. Kualitas menjadi fokus utama, bukan hanya dalam hal input, tetapi juga output dan outcome pendidikan. Otonomi memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan diri dan berinovasi, namun harus diimbangi dengan akuntabilitas yang tinggi. Akreditasi dan evaluasi menjadi mekanisme untuk memastikan bahwa standar kualitas pendidikan tetap terjaga dan ditingkatkan secara berkelanjutan. Kelima pilar ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain, membentuk suatu sistem yang holistik dan dinamis. Penerapan paradigma baru ini menuntut perubahan mendasar dalam berbagai aspek pengelolaan pendidikan tinggi, mulai dari perencanaan strategis, pengembangan kurikulum, manajemen sumber daya, hingga penjaminan mutu.
Kualitas pendidikan tinggi tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor internal, seperti kualitas dosen dan fasilitas, tetapi juga faktor eksternal, seperti relevansi dengan kebutuhan pasar kerja dan tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu menjalin kemitraan yang erat dengan dunia industri dan stakeholders lainnya untuk memastikan bahwa lulusan yang dihasilkan memiliki kompetensi yang relevan dan berdaya saing. Otonomi memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk berkreasi dan berinovasi, namun harus disertai dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas dan transparan. Akuntabilitas ini penting untuk memastikan bahwa otonomi tidak disalahgunakan dan perguruan tinggi tetap bertanggung jawab atas kualitas pendidikan yang mereka berikan. Akreditasi dan evaluasi merupakan instrumen penting untuk mengukur dan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Proses akreditasi dan evaluasi yang baik akan memberikan informasi yang akurat dan komprehensif mengenai kinerja perguruan tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.
Paradigma baru pengelolaan pendidikan tinggi ini menuntut komitmen dan kerjasama dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, perguruan tinggi, dosen, mahasiswa, dan masyarakat. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan pendidikan tinggi, serta menyediakan dukungan kebijakan dan sumber daya yang diperlukan. Perguruan tinggi harus mampu mengelola otonomi yang diberikan dengan baik, serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya lainnya. Dosen memiliki peran sentral dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan penelitian, serta mengembangkan inovasi-inovasi baru. Mahasiswa sebagai penerima manfaat pendidikan tinggi, juga memiliki tanggung jawab untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Dengan kerjasama dan sinergi dari semua pihak, paradigma baru pengelolaan pendidikan tinggi ini diharapkan dapat mewujudkan sistem pendidikan tinggi yang berkualitas, relevan, dan berdaya saing global.
Penutup
Sebagai penutup, esai ini telah membahas tiga pesan penting yang disarikan dari makalah Prof. Satyro Soemantri Brodjonegoro. Ketiga pesan ini menyoroti tantangan dan peluang pendidikan tinggi di era globalisasi, serta pentingnya reformasi yang komprehensif dan berkelanjutan. Pendidikan tinggi tidak hanya berperan sebagai penyedia pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial dan motor penggerak pembangunan. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan tinggi merupakan investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa. Dengan menerapkan paradigma baru pengelolaan pendidikan tinggi yang menekankan pada kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi, diharapkan sistem pendidikan tinggi di Indonesia dapat menghasilkan lulusan yang kompeten, berdaya saing global, dan berkarakter kuat. Selain itu, upaya untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan tinggi juga perlu menjadi perhatian utama, sehingga semua anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan yang berkualitas dan menggapai masa depan yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI