Norman Fairclough, pakar Analisis Wacana Kritis, pernah menekankan pentingnya menganalisis bahasa dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas. Seturut prinsip-prinsip dalam pandangan keilmuannya, penggunaan kata "nebeng" dalam politik dapat dilihat sebagai bagian dari "wacana dominan" yang melegitimasi ketimpangan kekuasaan. Pihak yang lebih kuat menggunakan bahasa untuk mempertahankan posisi mereka, sementara pihak yang lebih lemah terpaksa menggunakan strategi "nebeng" untuk mendapatkan akses dan pengakuan.
Pakar lainnya, seperti Teun A. van Dijk yang berfokus pada 'bagaimana bahasa digunakan untuk membangun dan mempertahankan ideologi,' pun memiliki penekanan yang boleh jadi mirip. Dalam hal ini, penggunaan kata "nebeng" dapat dilihat sebagai cara untuk merepresentasikan hubungan kekuasaan yang tidak setara sebagai sesuatu yang alami atau bahkan menguntungkan bagi pihak yang lebih lemah. Dengan demikian, bahasa digunakan untuk menutupi ketidakadilan dan mempertahankan status quo.
Sementara itu, bagi Ruth Wodak, menganalisis 'bagaimana bahasa digunakan untuk menciptakan dan memelihara identitas sosial dan politik' adalah kerja yang sangat penting. Penggunaan kata "nebeng" dapat dilihat sebagai cara untuk mengkategorikan aktor politik ke dalam kelompok "kuat" dan "lemah", yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana mereka diperlakukan dan bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Hal ini dapat memperkuat stereotip dan prasangka, serta membatasi ruang gerak bagi pihak yang dianggap "lemah".
Dengan demikian, penggunaan kata "nebeng" dalam politik mengungkapkan adanya hubungan patron-klien yang kompleks, di mana pihak yang lebih kuat bertindak sebagai patron yang memberikan perlindungan dan manfaat, sementara pihak yang lebih lemah bertindak sebagai klien yang memberikan loyalitas dan dukungan. Dinamika ini dapat menciptakan situasi saling ketergantungan, tetapi juga dapat menimbulkan konflik dan eksploitasi jika salah satu pihak merasa dirugikan atau tidak puas dengan kesepakatan yang ada.
Oleh karena itu, penggunaan kata "nebeng" dalam politik tidak hanya mencerminkan realitas ketimpangan kekuasaan, tetapi juga menyoroti kompleksitas hubungan antara berbagai aktor politik dan bagaimana mereka bernegosiasi untuk mencapai tujuan masing-masing.
Dualisme Konteks
Apabila mengacu pada George Lakoff, linguis yang sangat dikenal luas melalui teori metafora konseptualnya, akan diperoleh penekanan bahwa makna "nebeng" dalam politik tidak hanya bersifat literal, tetapi juga metaforis. Metafora "nebeng" mengaktifkan skema konseptual perjalanan, di mana satu pihak "menumpang" pada pihak lain. Konotasi positif atau negatif dari metafora ini tergantung pada bagaimana kita memahami peran masing-masing pihak dalam perjalanan tersebut. Jika "nebeng" dilihat sebagai kerjasama yang saling menguntungkan, maka konotasinya positif. Namun, jika "nebeng" dilihat sebagai tindakan memanfaatkan atau mengeksploitasi, maka konotasinya negatif.
Berkaitan dengan konteks positif "Nebeng", setidaknya terdapat tiga kata kunci. Pertama, Kolaborasi dan Sinergi. "Nebeng" dapat dilihat positif ketika menggambarkan kerjasama yang saling menguntungkan antara dua atau lebih entitas politik. Misalnya, partai politik kecil yang "nebeng" pada partai yang lebih besar untuk bersama-sama memperjuangkan isu tertentu atau mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, "nebeng" mencerminkan strategi yang efektif untuk menggabungkan sumber daya dan pengaruh, sehingga menghasilkan dampak yang lebih besar daripada jika masing-masing pihak bertindak sendiri-sendiri.
Kedua, Pemberdayaan. Dalam beberapa kasus, "nebeng" dapat menjadi sarana bagi kelompok atau individu yang terpinggirkan untuk mendapatkan akses ke arena politik dan menyuarakan aspirasi mereka. Misalnya, seorang aktivis yang "nebeng" pada partai politik untuk memperjuangkan isu-isu sosial tertentu. Dalam situasi ini, "nebeng" dapat dilihat sebagai langkah strategis untuk mendapatkan platform dan dukungan yang diperlukan untuk mencapai perubahan sosial.
Ketiiga, Mentoring dan Pembelajaran. "Nebeng" juga dapat bermakna positif ketika menggambarkan proses belajar dan pengembangan kapasitas. Misalnya, seorang politisi muda yang "nebeng" pada politisi senior untuk mendapatkan bimbingan dan pengalaman. Dalam hal ini, "nebeng" menjadi sarana untuk transfer pengetahuan dan keterampilan, yang pada akhirnya akan memperkuat kualitas kepemimpinan politik.
Sementara itu, berkaitan dengan konteks negatif "Nebeng", setidaknya juga terdapat tiga kata kunci. Pertama, Oportunisme dan Eksploitasi. "Nebeng" dapat berkonotasi negatif ketika menggambarkan tindakan memanfaatkan pihak lain untuk keuntungan pribadi atau kelompok tanpa memberikan kontribusi yang seimbang. Misalnya, seorang politisi yang "nebeng" pada popularitas tokoh lain tanpa memiliki visi atau program yang jelas. Dalam situasi ini, "nebeng" dianggap sebagai tindakan oportunis yang merugikan kepentingan publik.
Kedua, Penyalahgunaan Kekuasaan. Dalam beberapa kasus, "nebeng" dapat menjadi alat bagi pihak yang berkuasa untuk mengendalikan atau memanipulasi pihak yang lebih lemah. Misalnya, seorang pejabat yang memberikan proyek kepada kroninya dengan imbalan dukungan politik. Dalam hal ini, "nebeng" menjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merusak prinsip-prinsip tata kelola yang baik.