Mohon tunggu...
Danang Satria Nugraha
Danang Satria Nugraha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Universitas Sanata Dharma

Selain mengajarkan ilmu bahasa dan meneliti fenomenanya di ruang publik, penulis gemar mengamati pendidikan dan dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Aku Harus Bertanya?

1 Juli 2024   01:48 Diperbarui: 1 Juli 2024   02:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"The unexamined life is not worth living" 

_____ Socrates

Pikiran manusia adalah hal yang aneh, terus-menerus dibombardir dengan informasi dan pengalaman. Namun, di balik banjir ini terdapat kekuatan fundamental: kemampuan untuk bertanya "mengapa aku harus bertanya". Pertanyaan yang tampaknya sederhana ini menjadi landasan refleksi penulis pada esai ini, mendorong kesadaran untuk melampaui observasi pasif ke dalam ranah pemahaman aktif.  Sepanjang sejarah, para pemikir besar telah bergulat dengan misteri eksistensi yang paling mendalam, mulai dari hakikat realitas hingga asal usul pengetahuan itu sendiri. Namun perjalanan mereka semua dimulai dengan semangat yang sama -- interogasi kritis yang dipicu oleh "kata tanya" yang dimiliki oleh pelbagai bahasa di berbagai belahan dunia.  Dalam esai ini, saya mengajak para pembaca budiman untuk menyelami makna dari pertanyaan itu, mengeksplorasi bagaimana tindakan 'menanyakan' bukan sekadar jalan menuju pengetahuan, namun merupakan tindakan mendasar penemuan diri dan bukti semangat ingin tahu yang mendefinisikan kita.

Pertama: Apa?
Socrates dengan rendah hati pernah berkata, "All I know is that I know nothing."

Filsuf Yunani kuno, Socrates, dengan terkenal menyatakan, "Yang saya tahu hanyalah saya tidak tahu apa-apa." Pernyataan yang tampaknya paradoks ini merangkum keterbatasan pengetahuan manusia. Kita mungkin mengumpulkan fakta dan membangun struktur intelektual yang mengesankan, namun dibandingkan dengan luasnya realitas, pemahaman kita pada dasarnya masih belum lengkap. Namun, pengakuan ini tidak membuat kita putus asa. Ini adalah percikan yang memicu pencarian kebenaran tanpa akhir. Dengan menyadari keterbatasan pengetahuan kita, kita membuka diri terhadap keajaiban dan kompleksitas dunia.  Paradoks Socrates ini menjadi kekuatan pendorong filsafat, mendesak kita untuk terus mempertanyakan, mengeksplorasi, dan menyempurnakan pemahaman kita.  Ini adalah realisasi yang merendahkan hati, namun menjadi bahan bakar perjalanan intelektual kita dan memaksa kita untuk terus mencari jawaban yang sulit dipahami terhadap pertanyaan mendasar tentang "apa" sebenarnya.

Bayangkan kekayaan budaya Indonesia, yang mencakup lebih dari 700 bahasa dan tradisi yang tak terhitung jumlahnya. Orang luar mungkin menghadapi kompleksitas ini dengan rasa ketidakpastian yang luar biasa. Namun ketidakpastian ini dapat menjadi batu loncatan untuk melakukan eksplorasi. Dengan menyadari keterbatasan pemahaman awal mereka, orang luar terdorong untuk menggali lebih dalam, mempelajari bahasa, berpartisipasi dalam upacara, dan terlibat dengan perspektif lokal. Paradoks Socrates ini menjadi kekuatan pendorong pertukaran budaya, mendesak kita untuk melampaui pemahaman dangkal dan merangkul kekayaan hal-hal yang tidak diketahui.

Demikian pula dalam eksplorasi ilmiah, keanekaragaman hayati Indonesia memberikan contoh yang sederhana. Banyaknya spesies yang belum ditemukan di hutan hujan nusantara menunjukkan betapa luasnya hal yang belum kita ketahui.  Namun kesadaran ini mendorong upaya ilmiah. Para peneliti terus berupaya untuk mengidentifikasi spesies baru, memahami peran ekologisnya, dan mengungkap rahasia evolusinya.  Paradoks Socrates menjadi mesin penemuan, mengingatkan kita bahwa semakin banyak kita belajar, semakin kita menyadari betapa masih banyak yang harus dipahami.  Ini adalah realisasi yang merendahkan hati, namun menjadi bahan bakar perjalanan intelektual kita dan memaksa kita untuk terus mencari jawaban yang sulit dipahami terhadap pertanyaan mendasar tentang "apa" sebenarnya.

Kedua: Mengapa?
David Hume secara metaforis pernah berpesan, "Cause and effect are not chained together as prisoner and jailer."

Filsuf Skotlandia, David Hume, melontarkan gagasan tentang hubungan sebab-akibat yang sederhana dengan kutipannya yang menggugah pikiran: "Sebab dan akibat tidak dirantai bersama-sama seperti tahanan dan sipir penjara."  Kita sering mencari satu penyebab pasti untuk menjelaskan suatu peristiwa. Kita boleh saja melihat awan hitam mengepul dan dengan yakin memperkirakan akan turun hujan. Namun Hume berpendapat bahwa pemikiran linier ini mungkin menyesatkan. Pembentukan awan kemungkinan besar melibatkan interaksi kompleks antara suhu, kelembapan, dan arus angin, bukan hanya "penyebab" tunggal.  Demikian pula, kaca yang jatuh akan pecah karena sifat materialnya, sudut jatuhnya, dan permukaan di bawahnya.  Pengamatan Hume mendorong kita untuk mempertimbangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang "mengapa" sesuatu terjadi.  Peristiwa-peristiwa sering kali muncul dari gabungan berbagai faktor, suatu jaringan pengaruh, dan bukan dari satu sebab tunggal yang terisolasi.  Kesadaran ini memperluas perspektif kita, mendorong kita untuk melihat melampaui asumsi awal dan menghargai rumitnya hubungan sebab-akibat yang membentuk dunia kita.

Kita sering mencari satu penyebab pasti untuk menjelaskan suatu peristiwa. Misalnya, seorang petani di Indonesia mungkin melihat penurunan hasil panen padi dan langsung menyalahkan kurangnya curah hujan. Namun Hume berpendapat bahwa pemikiran linier ini mungkin menyesatkan. Penurunan ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi: penyakit tanaman baru yang tidak terdeteksi, perubahan suhu musiman yang berdampak pada penyerbukan, atau bahkan perubahan kualitas air dari pertanian hulu.  Pengamatan Hume mendorong kita untuk mempertimbangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang "mengapa" sesuatu terjadi. Peristiwa-peristiwa sering kali muncul dari gabungan berbagai faktor, suatu jaringan pengaruh, dan bukan dari satu sebab tunggal yang terisolasi.  Kesadaran ini memperluas perspektif kita, mendorong kita untuk melihat melampaui asumsi awal dan menghargai rumitnya hubungan sebab-akibat yang membentuk dunia kita. Petani Indonesia, sekali lagi sebagai contoh, dengan menyelidiki berbagai kemungkinan, dapat mengembangkan strategi yang lebih komprehensif untuk mengatasi masalah ini, sehingga menjamin panen yang melimpah di masa depan.

Lebih lanjut, pengamatan Hume mendorong kita untuk mempertimbangkan pemahaman yang lebih berbeda tentang "mengapa" hasil pendidikan berkembang seperti itu atau serupa itu berdasarkan parameter tertentu.  Nilai ujian yang buruk mungkin disebabkan oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Apakah kurikulum secara efektif selaras dengan penilaian?  Apakah guru mempunyai sumber daya dan pelatihan untuk menyampaikannya dengan sukses?  Apakah ada tantangan sosial atau ekonomi yang mempengaruhi pembelajaran siswa di rumah?  Pemahaman Hume menyoroti perlunya pendekatan yang lebih holistik terhadap kebijakan pendidikan.  Menerapkan program baru atau memperpanjang jam sekolah saja mungkin tidak cukup.  Sebaliknya, para pembuat kebijakan harus mempertimbangkan jaringan pengaruh yang membentuk hasil pendidikan di masyarakat Indonesia yang beragam. Hal ini dapat mencakup investasi dalam pelatihan guru, pengembangan materi kurikulum yang relevan dengan budaya, atau mengatasi faktor-faktor seperti kesehatan dan gizi siswa. Dengan mengakui rumitnya hubungan sebab-akibat, para pembuat kebijakan dapat bergerak lebih dari sekadar solusi sederhana dan mengembangkan intervensi efektif yang meningkatkan pengalaman pendidikan bagi seluruh siswa di Indonesia.

Ketiga: Kapan?
Tentang pertanyaan ketiga, Soren Kierkegaard pernah berkata, "The past is always present."

Kutipan mendalam dari filsuf Denmark Soren Kierkegaard, "Masa lalu selalu hadir," menantang pemahaman linier kita tentang waktu. Hal ini menunjukkan bahwa masa lalu bukanlah sebuah kotak yang terkotak-kotak rapi, melainkan sebuah kekuatan hidup yang terus membentuk siapa kita saat ini. Pengalaman kita, baik yang menyenangkan maupun yang sulit, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan dalam pikiran, emosi, dan perilaku kita.  Bayangkan pasar malam yang ramai di Indonesia. Pemandangan, suara, dan baunya mungkin membangkitkan kenangan akan kunjungan masa kecil bersama keluarga, membentuk cara Anda menikmati pemandangan saat ini. Rasa nostalgia menyelimuti Anda, mungkin diwarnai dengan kepedihan pahit seiring berjalannya waktu.  Inilah inti pengamatan Kierkegaard. Masa lalu bukanlah kenangan lama; itu terjalin dalam diri kita saat ini, memengaruhi cara kita memandang dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.  Keterkaitan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan menggarisbawahi pentingnya refleksi penuh kesadaran. Dengan memahami bagaimana pengalaman telah membentuk kita, kita mendapatkan hak pilihan yang lebih besar dalam membentuk diri kita saat ini dan masa depan.

Pengalaman kita, baik yang menyenangkan maupun yang sulit, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan dalam pikiran, emosi, dan perilaku kita. Pertimbangkan lanskap pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan kolonial Belanda, misalnya, menekankan hafalan dan pengajaran yang berpusat pada guru.  Generasi masyarakat Indonesia yang menjalani sistem ini mungkin secara tidak sadar mereplikasi metode-metode tersebut bahkan ketika dihadapkan pada pedagogi modern yang berpusat pada siswa.  Inilah inti pengamatan Kierkegaard. Pendekatan pendidikan di masa lalu bukanlah sebuah kenangan; hal ini terjalin dalam cara sebagian pendidik memandang peran mereka di kelas, yang memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan siswa.  Keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa depan menggarisbawahi pentingnya refleksi pedagogi dalam pendidikan Indonesia. Dengan memahami bagaimana pengalaman pendidikan mereka telah membentuk gaya mengajar mereka, para pendidik dapat melakukan upaya sadar untuk mengadopsi metode yang lebih progresif yang memupuk pemikiran kritis dan kreativitas siswanya. Kesadaran ini memberdayakan mereka untuk melepaskan diri dari rantai masa lalu dan menerapkan pendekatan inovatif terhadap pendidikan di masa kini.

Keempat: Di mana?
Marcel Proust dengan satir pernah berkata, "The only true voyage of discovery is not to visit new lands but to have a new eye."

Novelis Perancis, Marcel Proust, menawarkan refleksi mendalam mengenai persepsi dalam kutipannya, "Satu-satunya perjalanan penelusuran yang sebenarnya bukanlah mengunjungi negeri-negeri baru, melainkan memiliki pandangan baru."  Meskipun tidak sepenuhnya bersifat filosofis, hal ini mempunyai implikasi filosofis yang mendalam.  Proust menantang pemahaman kita tentang "di mana" kita sebenarnya berada.  Ia berpendapat bahwa lokasi fisik hanyalah salah satu bagian dari teka-teki. Pengalaman kita terhadap suatu tempat pada dasarnya dibentuk oleh perspektif kita, "mata" kita.  Bayangkan dua orang berjalan melalui pasar Indonesia yang ramai. Seseorang mungkin kewalahan dengan pemandangan, suara, dan bau, merasa bingung dan frustrasi.  Yang lainnya, mungkin seorang seniman, mungkin terpikat oleh warna-warna cerah, pola rumit pada kain, dan simfoni suara tawar-menawar. Lokasi fisik mereka sama, namun pengalaman mereka sangat berbeda.  Konsep Proustian ini menyoroti sifat subjektif dari realitas.  Persepsi kita bukanlah refleksi pasif terhadap dunia, namun proses interpretasi aktif yang dibentuk oleh latar belakang, minat, dan emosi kita.  Dengan mengembangkan "mata baru", sebuah perspektif baru, kita dapat membuka dimensi pengalaman baru, bahkan di tempat yang paling kita kenal sekalipun.  Ini adalah perjalanan penemuan yang sebenarnya, sebuah perjalanan penemuan diri yang dipicu oleh keterbukaan terhadap cara-cara baru dalam memandang dunia di sekitar kita.

Sebagai contoh lainnya, bayangkan sebuah ruang kelas tradisional Indonesia, di mana siswa secara pasif menerima informasi melalui ceramah dan hafalan. Pendekatan ini membatasi "tempat" pembelajaran hanya pada batas-batas dinding kelas.  Namun, seorang guru yang mengadopsi perspektif Proustian dapat mengubah ruang ini. Dengan menggabungkan kegiatan interaktif, diskusi, dan pembelajaran berbasis proyek, guru membekali siswa dengan "mata baru" untuk penyelidikan dan berpikir kritis. Tiba-tiba, ruang kelas menjadi batu loncatan untuk melakukan eksplorasi, bukan sekadar tempat menyerap fakta.

Hal ini juga melampaui dinding kelas fisik.  Seorang siswa yang mengembangkan minat terhadap sejarah melalui pelajaran yang menarik mungkin mulai melihat makna sejarah dalam kehidupan sehari-hari -- dalam arsitektur bangunan kolonial atau praktik tradisional komunitas mereka. "Mata baru" mereka memungkinkan mereka belajar dari dunia di sekitar mereka, bukan hanya dari buku teks.  Dengan menganut konsep Proustian, pendidik dapat melakukan lebih dari sekadar menyebarkan pengetahuan dan memberdayakan siswa untuk menjadi peserta aktif dalam perjalanan belajar mereka sendiri. Hal ini memperluas "tempat" pendidikan, mengubah pengalaman sehari-hari menjadi peluang untuk menemukan sesuatu.

Kelima: Siapa?
Tentang pertanyaan kelima, Ren Descartes dengan lantang pernah berkata, "Cogito, ergo sum" (I think, therefore I am).  

Kutipan terkenal Ren Descartes, "Cogito, ergo sum" (Saya berpikir, maka saya ada), melontarkan proposisi filosofis ke dalam pertanyaan "siapa" keberadaan kita.  Dengan mendasarkan eksistensi pada tindakan berpikir itu sendiri, Descartes menantang gagasan bahwa kita ada hanya melalui tubuh fisik di lokasi tertentu.  Jika tindakan berpikir itu sendiri merupakan bukti keberadaan, maka mungkin keberadaan dapat terjadi secara independen dari alam fisik.  Pertimbangkan konsep Wayang Kulit, teater wayang kulit yang rumit di Indonesia.  Wayang sendiri hanyalah potongan kulit mati, namun melalui manipulasi dalang, wayang menjadi hidup, bercerita dan mengekspresikan emosi.  Proposisi Descartes menunjukkan fenomena serupa -- "pemikiran" kita bisa saja menjadi dalang, yang menjiwai kesadaran kita bahkan jika bentuk fisik kita tidak ada atau berubah.  Pemikiran ini membuka pintu bagi pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang kesadaran, kecerdasan buatan, dan hakikat realitas itu sendiri.  Apakah esensi kita hanya berada di otak fisik, atau adakah aspek "keberadaan" yang lebih mendasar yang melampaui batasan lokasi?  "Cogito, ergo sum" karya Descartes menjadi batu loncatan untuk eksplorasi filosofis, mendesak kita untuk mempertanyakan "siapa" keberadaan kita dalam skema besar alam semesta.

Pertimbangkan semakin populernya platform pembelajaran online di Indonesia. Platform ini memungkinkan siswa mengakses konten pendidikan dan berpartisipasi dalam diskusi dari mana saja di nusantara, bahkan dari desa terpencil.  Proposisi Descartes selaras dengan konsep ini.  Lokasi fisik siswa menjadi nomor dua; kemampuan mereka untuk berpikir kritis, terlibat dengan materi, dan berkontribusi pada wacana online menjadi bukti keberadaan mereka dalam lingkungan pembelajaran.  Hal ini membuka jalan bagi sistem pendidikan yang lebih inklusif dan mudah diakses di Indonesia, dimana "tempat" pembelajaran tidak lagi terbatas pada ruang kelas tradisional namun dapat terjadi di ruang mana pun yang menumbuhkan pemikiran dan keterlibatan intelektual.

Kutipan Descartes juga menimbulkan pertanyaan menarik bagi para pendidik.  Jika "berpikir" adalah inti dari keberadaan, lalu bagaimana mereka dapat menumbuhkan pemikiran kritis ini dalam lingkungan pembelajaran online?  Hal ini mungkin melibatkan pengembangan diskusi online yang mendorong siswa untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi, mengajukan pertanyaan mereka sendiri, dan berpartisipasi aktif dalam konstruksi pengetahuan.  Dengan mengembangkan "ruang kelas berpikir" yang melampaui lokasi fisik, pendidik dapat memberdayakan siswa untuk menjadi pembelajar mandiri dan memperkuat eksistensi mereka dalam lanskap pembelajaran digital yang luas.

Keenam: Bagaimana?
Pertanyaan terakhir erat kaitannya dengan Archimedes yang pernah berpesan secara optimis, "Give me a lever long enough and a fulcrum on which to place it, and I single-handedly move the Earth."

Ahli matematika dan insinyur Yunani kuno, Archimedes, menangkap inti dari "bagaimana" dalam kutipannya yang terkenal, "Beri saya tuas yang cukup panjang dan titik tumpu untuk meletakkannya, dan saya seorang diri yang akan menggerakkan Bumi."  Pernyataan ini lebih dari sekedar bualan sederhana tentang kekuatan. Hal ini menyoroti kekuatan transformatif dalam memahami mekanisme di balik pencapaian yang tampaknya mustahil.  Bayangkan seorang petani di Indonesia berjuang untuk membuka lahan tanam di sebidang tanah yang tandus. Melalui kerja keras yang melelahkan, kemajuan berjalan lambat. Namun kemudian, petani belajar tentang prinsip daya ungkit, mungkin dengan mengamati jungkat-jungkit sederhana.  Tiba-tiba, "bagaimana" menjadi jelas. Dengan membuat tuas dari dahan yang kokoh dan menggunakan batu besar sebagai titik tumpu, petani dapat dengan mudah memecah tanah yang keras, sehingga merevolusi praktik pertanian mereka.  Kutipan Archimedes mewujudkan potensi transformatif dari "bagaimana".  Memahami prinsip-prinsip yang mendasarinya memberdayakan kita untuk mengatasi hambatan yang tampaknya tidak dapat diatasi. Hal ini berlaku tidak hanya pada tugas fisik tetapi juga pada aktivitas intelektual.  Dengan mengungkap proses yang kompleks dan menguasai "cara" penyelesaian masalah, kami membuka jalan baru bagi inovasi dan kemajuan di seluruh aspek masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, bayangkan saja kerajinan batik yang rumit, yang merupakan landasan warisan budaya Indonesia. Pembuatan kain nan indah ini melibatkan proses kompleks berupa pengaplikasian, pewarnaan, dan penghilangan lilin. Secara tradisional, pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi melalui magang, mengandalkan hafalan dan praktik.  Namun, dengan memasukkan prinsip-prinsip ilmiah seperti reaksi kimia dan sifat-sifat kain ke dalam kurikulum, para pendidik dapat memberdayakan para perajin batik dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang "bagaimana" di balik kerajinan mereka.  Pengetahuan ini memungkinkan mereka bereksperimen dengan teknik-teknik baru, memecahkan masalah yang muncul, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas dan inovasi kreasi batik mereka.  Kutipan Archimedes mewujudkan potensi transformatif dari "bagaimana".  Memahami prinsip-prinsip ilmiah yang mendasarinya akan memberdayakan para perajin batik, tidak hanya untuk meniru metode tradisional, namun juga menjadi inovator aktif dalam praktik seni mereka.  Pendekatan ini dapat diperluas ke seluruh pendidikan di Indonesia. Dengan mengintegrasikan literasi sains dan teknologi ke dalam kurikulum, pendidik dapat membekali peserta didik dengan "bagaimana" memecahkan masalah, berpikir kritis, dan mendorong kemajuan di seluruh bidang masyarakat Indonesia.

Penutup
Kesimpulannya, eksplorasi kita terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis melalui kacamata "apa", "mengapa", "kapan", "di mana", "siapa", dan "bagaimana" telah mengungkapkan dampak mendalam dari mengajukan pertanyaan terhadap pencarian pengetahuan dan pemahaman. Mulai dari pengakuan Socrates akan keterbatasan pengetahuan manusia hingga pengingat Kierkegaard akan keberadaan masa lalu yang abadi, para filsuf kenamaan ini telah mengajak kita untuk melihat dan melampaui permukaan serta menggali lebih dalam. Tindakan 'bertanya', seperti yang dicontohkan oleh tradisi dan praktik pendidikan Indonesia yang kita diskusikan, bukan sekedar jalan untuk memperoleh informasi, namun sebuah perjalanan penemuan diri dan inovasi. Dengan menerima "bagaimana" mekanika Archimedes atau "mata baru" perspektif Proust, kita membuka potensi untuk mengubah tidak hanya pengalaman kita sendiri tetapi juga dunia di sekitar kita.  Saat kita terus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, yang didorong oleh semangat keingintahuan seperti yang dipicu oleh pertanyaan "mengapa" di balik keragaman bahasa Indonesia yang tiada habisnya, kita memulai perjalanan penemuan seumur hidup, membentuk masa depan yang kaya akan pemahaman dan kemajuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun