Mohon tunggu...
Danang Satria Nugraha
Danang Satria Nugraha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Universitas Sanata Dharma

Selain mengajarkan ilmu bahasa dan meneliti fenomenanya di ruang publik, penulis gemar mengamati pendidikan dan dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Aku Harus Bertanya?

1 Juli 2024   01:48 Diperbarui: 1 Juli 2024   02:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutipan Descartes juga menimbulkan pertanyaan menarik bagi para pendidik.  Jika "berpikir" adalah inti dari keberadaan, lalu bagaimana mereka dapat menumbuhkan pemikiran kritis ini dalam lingkungan pembelajaran online?  Hal ini mungkin melibatkan pengembangan diskusi online yang mendorong siswa untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi, mengajukan pertanyaan mereka sendiri, dan berpartisipasi aktif dalam konstruksi pengetahuan.  Dengan mengembangkan "ruang kelas berpikir" yang melampaui lokasi fisik, pendidik dapat memberdayakan siswa untuk menjadi pembelajar mandiri dan memperkuat eksistensi mereka dalam lanskap pembelajaran digital yang luas.

Keenam: Bagaimana?
Pertanyaan terakhir erat kaitannya dengan Archimedes yang pernah berpesan secara optimis, "Give me a lever long enough and a fulcrum on which to place it, and I single-handedly move the Earth."

Ahli matematika dan insinyur Yunani kuno, Archimedes, menangkap inti dari "bagaimana" dalam kutipannya yang terkenal, "Beri saya tuas yang cukup panjang dan titik tumpu untuk meletakkannya, dan saya seorang diri yang akan menggerakkan Bumi."  Pernyataan ini lebih dari sekedar bualan sederhana tentang kekuatan. Hal ini menyoroti kekuatan transformatif dalam memahami mekanisme di balik pencapaian yang tampaknya mustahil.  Bayangkan seorang petani di Indonesia berjuang untuk membuka lahan tanam di sebidang tanah yang tandus. Melalui kerja keras yang melelahkan, kemajuan berjalan lambat. Namun kemudian, petani belajar tentang prinsip daya ungkit, mungkin dengan mengamati jungkat-jungkit sederhana.  Tiba-tiba, "bagaimana" menjadi jelas. Dengan membuat tuas dari dahan yang kokoh dan menggunakan batu besar sebagai titik tumpu, petani dapat dengan mudah memecah tanah yang keras, sehingga merevolusi praktik pertanian mereka.  Kutipan Archimedes mewujudkan potensi transformatif dari "bagaimana".  Memahami prinsip-prinsip yang mendasarinya memberdayakan kita untuk mengatasi hambatan yang tampaknya tidak dapat diatasi. Hal ini berlaku tidak hanya pada tugas fisik tetapi juga pada aktivitas intelektual.  Dengan mengungkap proses yang kompleks dan menguasai "cara" penyelesaian masalah, kami membuka jalan baru bagi inovasi dan kemajuan di seluruh aspek masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, bayangkan saja kerajinan batik yang rumit, yang merupakan landasan warisan budaya Indonesia. Pembuatan kain nan indah ini melibatkan proses kompleks berupa pengaplikasian, pewarnaan, dan penghilangan lilin. Secara tradisional, pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi melalui magang, mengandalkan hafalan dan praktik.  Namun, dengan memasukkan prinsip-prinsip ilmiah seperti reaksi kimia dan sifat-sifat kain ke dalam kurikulum, para pendidik dapat memberdayakan para perajin batik dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang "bagaimana" di balik kerajinan mereka.  Pengetahuan ini memungkinkan mereka bereksperimen dengan teknik-teknik baru, memecahkan masalah yang muncul, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas dan inovasi kreasi batik mereka.  Kutipan Archimedes mewujudkan potensi transformatif dari "bagaimana".  Memahami prinsip-prinsip ilmiah yang mendasarinya akan memberdayakan para perajin batik, tidak hanya untuk meniru metode tradisional, namun juga menjadi inovator aktif dalam praktik seni mereka.  Pendekatan ini dapat diperluas ke seluruh pendidikan di Indonesia. Dengan mengintegrasikan literasi sains dan teknologi ke dalam kurikulum, pendidik dapat membekali peserta didik dengan "bagaimana" memecahkan masalah, berpikir kritis, dan mendorong kemajuan di seluruh bidang masyarakat Indonesia.

Penutup
Kesimpulannya, eksplorasi kita terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis melalui kacamata "apa", "mengapa", "kapan", "di mana", "siapa", dan "bagaimana" telah mengungkapkan dampak mendalam dari mengajukan pertanyaan terhadap pencarian pengetahuan dan pemahaman. Mulai dari pengakuan Socrates akan keterbatasan pengetahuan manusia hingga pengingat Kierkegaard akan keberadaan masa lalu yang abadi, para filsuf kenamaan ini telah mengajak kita untuk melihat dan melampaui permukaan serta menggali lebih dalam. Tindakan 'bertanya', seperti yang dicontohkan oleh tradisi dan praktik pendidikan Indonesia yang kita diskusikan, bukan sekedar jalan untuk memperoleh informasi, namun sebuah perjalanan penemuan diri dan inovasi. Dengan menerima "bagaimana" mekanika Archimedes atau "mata baru" perspektif Proust, kita membuka potensi untuk mengubah tidak hanya pengalaman kita sendiri tetapi juga dunia di sekitar kita.  Saat kita terus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, yang didorong oleh semangat keingintahuan seperti yang dipicu oleh pertanyaan "mengapa" di balik keragaman bahasa Indonesia yang tiada habisnya, kita memulai perjalanan penemuan seumur hidup, membentuk masa depan yang kaya akan pemahaman dan kemajuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun