"Hadirin, Kuu Anfusakum Wa ahlikum Naaro. Waktos parantos jam opat lima belas menit, ku kituna mangga geura garugah kanu acan gugah. Kanu atos gugah mangga geura karumbah, elapan, beberesih. Kanu atos qiyamulail geura angkat ka masjidna masing-masing,....."
Hadirin, Jagalah diri dan Keluargamu dari Api Neraka, waktu telah menunjukan jam empat lewat lima belas menit. Bagi yang belum bangun, silahkan bangun. Bagi yang sudah bangun, segera cuci, lap, bersih-bersih. Bagi yang sudah qiyamulalil segera datang ke mesjidnya masing-masing.
Begitu Kodir, mengingat seruan dari pengeras suara yang telah terekam dalam benaknya. Hal itu bahkan terjadi berulang berbulan-bulan dengan kata-kata yang lebih kurang dan persis sama. Padahal tak lebih dari dua puluh meter juga berdiri sebuah masjid jami yang diasuh seorang ulama yang mengelola sebuah pesantren dan lembaga pendidikan.
Di waktu lainnya terdengar;
 "Hasibu Qobla Antuhasabu, Arek hiji atawa duapuluh tujuh Mang Marno,?"
Hisablah dirimu sebelum Hisab orang lain. Mau dapat pahala satu atau dua puluh derajat Mang Marno? Tanya penguasa mic dengan nada fals dan jengkel.
"Nu hese mah, angger we hese! Nu cageur mah gampang (berjamaah),"
Yang susah mah tetap aja susah, yang waras mah mudah.
"Tah nu kitu meureun nu disebut Summun bukmun umyun fahum laa yarjiun, teh!"
Mungkin itulah yang disebut Sumun bukmun umyun fahum laa yarjiun, itu (Mengutip QS: Al Baqarah ayat 18 yang artinya "Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).")
Setelah iqomah selesai masih dengan pengeras suara, "Berangkat!! Tah kosong keneh sakorsi deui mang toto! cik wantun berjamaah?"