Ngebolang ke Bolang
Ketika mendengar kata Bolang, yang terpikir oleh kebanyakan orang mungkin sebuah tayangan film dokumenter anak dengan rating tinggi di salah satu stasiun TV swasta, Bolang yang merupakan akronim dari Bocah Petualang ini berhasil memikat jutaan mata para pecinta film dokumenter, ringan, menghibur namun edukatif dengan memberikan wawasan pengetahuan bagi pemirsa.
Bicara Bolang, pernahkah Anda mendengar nama Desa Bolang? Jika belum, yuk! kita cari tahu, Â kita nga-bolang ke Desa Bolang, sekarang.
Pada tanggal 3,4 dan 5 Agustus 2019, Akademisi Universitas Siliwangi Tasikmalaya, pegiat dan pengabdi desa, siswa unggulan SLTA di Cipasung dan pegiat kopi Tasikmalaya bersama stake holders dan perangkat desa berkumpul di interseksi antara wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah guna berbagi wawasan dan ilmu pengetahuan, berdiskusi dan bergotong royong di sebuah acara non-formal di Desa Bolang secara swadaya.
Bolang diambil dari nama pohon yang dulu banyak tumbuh di daerah ini, terletak di Kecamatan Dayeuhluhur yang memiliki luas wilayah lebih dari 18.000 Ha dan berada di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
Dengan sistem penataan lahan terasering seperti di Bali menjadikan Bolang memiliki pemandangan menakjubkan. Di antara hutan dan kebun warga nampak terlihat bagai puluhan tangga yang berhampar permadani hijau dan kuning di atasnya oleh tanaman padi. Sungai besar yang berbatu membelah lahan garapan atau perkampungan yang bisa jadi pertanda batas kepemilikan tanah adalah lukisan alam yang menyempurnakan panorama indah Bolang yang diapit oleh Gunung Slamet di Jawa Tengah dan Gunung Ciremai di Jawa Barat.
Letak Desa Bolang relatif lebih dekat dengan Kota Banjar, Kabupaten Ciamis dan Majalengka, Jawa Barat, bisa ditempuh dengan waktu sekira tiga jam saja dari Kota Tasikmalaya. Meski tak pernah ditemukan bangunan khusus seperti rumah panggung khas Jawa Barat letak geografis Bolang dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Dayeuhluhur memiliki kesamaan dengan masyarakat Jawa Barat pada umumnya terutama dari segi bahasa.
Mayoritas penduduknya menggunakan Bahasa Sunda dalam kesehariannya untuk berkomunikasi antar warga, seperti ketika Kepala Desa Bolang, Rukman menyambut baik kedatangan pegiat desa berbicara dalam bahasa Sunda, tetapi tak sedikit masyarakat yang fasih menggunakan bahasa Jawa.
"Secara administrarif kita berada di wilayah Jawa (tengah), tapi sehari-hari situasinya seperti berada di wilayah Priangan, karena bahasa yang kita pakai sehari-hari itu Sunda" ungkap Karsoyo (48), warga Kampung Sukahurip (5/8/19).
Mayoritas warga Desa Bolang merupakan petani  yang menggarap sawah hak milik untuk bercocok tanam padi dan holtikultura, berkebun, memanfaatkan nira untuk membuat gula aren, bahkan ada juga yang telah berhasil membudidayakan kopi jenis robusta sebagai mata pencaharian utama.
"Buat saya mah, nanam kopi sudah sangat kaharti (baca: menjanjikan/menguntungkan) ketimbang nanam yang lainnya di sini, apa lagi (dibandingkan) karet, saya ingin kopi jadi komoditas utama di Kompos" ungkap Nanda Pendul (35) petani kopi yang menggarap lahan di Bukit Kampos, Desa Bolang.
 "Saya ingin lahan ini sebagian besar ditanami kopi untuk menopang tanah, terutama di bagian miring yang sangat curam agar tidak longsor dan menjadi daerah resapan air, nantinya kalau hijau kan bisa jadi destinasi wisata juga" tambah Mang Oyo yang berencana menjadikan Kampos sebagai sentra perkebunan kopi di Desa Bolang sekaligus mengolah lahan tersebut sebagai daerah tujuan wisata alam.
Hal itu bukan tanpa alasan, karena pemandangan dari Bukit Kampos memberikan panorama mempesona, Anda bisa melihat dataran rendah dari atas ketinggian baik siang ataupun malam, dan dalam kondisi cuaca cerah akan nampak Gunung Ciremai dan Selamet yang mengapit kawasan ini serta kerlap-kerlip lampu di desa dan kota di waktu malam.
Secara historis, Kampos merupakan bukit yang pernah dijadikan pos pengungsian saat kejadian DI/TII di era 60-an,
"Masyarakat sering menyebutnya dengan Kompos, maklum lidah kita ingin gampang. Bukit Kampos, adalah tanah desa yang hak pengelolaannya diserahkan kepada Bumdes Bolang," terang Mang Oyo.
"Di sini juga ada batu wayang, batu yang tak pernah mau dibuang! Jika dibuang dia akan kembali ke tempat semula," terang Sudin (39) salah satu perangkat Desa Bolang.
Menurut penuturannya dan diperkuat oleh para sesepuh Desa Bolang, di suatu waktu ada batu yang dirasa mengganggu ketika mencangkul mengahalangi permukaan tanah yang akan ditanami lalu ia membuangnya, namun keesokan harinya batu tersebut ada lagi, bentuknya mirip aksesoris pakaian pada wayang golek di bagian punggung,
"Masyarakat juga nggak pernah ada yang nanggap wayang saat hajatan atau acara apa pun, ini pantangan, makanya disebut batu wayang," pungkas Sudin, alhasil hingga kini masyarakat sekitar Bukit Kampos tak pernah ada yang menggelar pertunjukan wayang, terutama wayang golek.
Bolang adalah desa yang damai, tentram dan ngangeni. Sopan santun warga, keramahan masyarakatnya yang tak akan pernah ditemukan di perkotaan adalah nilai lebih yang membuat Kompos bisa menjadi destinasi wisata andalan Dayeuhluhur, jangan heran jika kelak Anda mengunjungi Desa Bolang lalu  berjalan kaki di perkampungan, Anda akan selalu disapa dengan ramah dan disambut dengan senyum setiap kali berjumpa  warga desa.
Meskipun Desa itu Indah, tetapi potret kemiskinan warganya hingga kini masih terstigma di desa-desa, hal ini perlu dikikis.
"Ada putra daerah  yang berhasil masuk IPB dan kini hampir selesai kuliah,kang Wawan Setiawan,M.P, sebentar lagi mengantongi gelar Insinyur, saya rasa akan sangat bagus bila saat ia kembali ke sini ia tak perlu kemana-mana lagi untuk bekerja, kerahkan saja semua kemampuan dia dan kita untuk membangun Desa Bolang sehingga geliat ekonomi masyarakat lebih bergairah dan kita bisa sejajar dengan desa lain yang sudah terlebih  dulu maju," ungkap Eko Yulianto (27) , putra daerah  akademisi Unsil yang telah mengantongi gelar Doktor ini, salah satu motoris Desa Bolang ihwal perlunya kesadaran para pemuda untuk peduli pada desa, terutama di bidang pertanian.
Selain itu, gerakan tani muda  diharapkan bisa menstimulasi gerakan desa damai, kopi sebagai indikator  utama dengan beragam variable pendukung tren kopi generasi milenial, seperti menjamurnya kedai kopi,profesi barista, roastery, industri alat seduh kopi dan lain-lain  memanggil para pemuda untuk kembali ke desa hingga menjadi saudagar di  tanah kelahirannya sendiri yang juga perlu dibangun baik secara fisik atau non fisik.
Desa, kini merupakan sebuah isue besar ketika muncul ide membangun Indonesia dari pinggiran, karya adalah hal yang mutlak dilakukan demi terciptanya keadilan sosial dengan tidak menganak-tirikan pembangunan perdesaan dari perkotaan
Kopi dan Bukit Kampos menjadi dua hal yang mulai bersinergi demi kemajuan masyarakat desa dalam mencapai tujuan bersama, yaitu peningkatan ekonomi masyarakat dan terciptanya produk unggulan yang bisa dibanggakan dalam membangun Indonesia dari pinggiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H