Memangnya di Galunggung ada kopi?
Geliat petani kopi dalam beberapa tahun belakangan ini di kawasan Gunung Galunggung mulai nampak, satu persatu para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Kubang Koak, Linggajati, Galunggung Putra dan Tani Mukti Ciakar, Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya melirik tanaman kopi sebagai salah satu komoditas tanaman yang dikembangkan di lahan milik perhutani.
Kini, bagi sebagian orang bertani kopi cukup menjanjikan meski butuh waktu yang cukup lama untuk berhasil, tetapi setelah tanaman kopi bisa berbuah, belasan hingga puluhan tahun petani dapat memetik hasil usahanya.
Selain karena menjamurnya kedai dan warung kopi atau kafe yang siap menampung biji kopi untuk dijadikan varian minuman ekstraksi buah ini, para penikmat kopi baru (bukan sachet) pun jumlahnya bertambah cukup signifikan dari semua kalangan, menambah keseruan budaya ngopi di Indonesia, para penjual alat-alat penyeduh kopi secara online pun terkena dampak naiknya omset , sebab meminum kopi kini lebih dari sekedar menyeruputnya saja dari cangkir atau gelas.
"Awalnya, agak sulit mengajak kawan-kawan petani untuk menanam kopi, sering kali saya kena ledekan dengan pertanyaan berkali-kali, kapan panen kopi teh, Jang?" Â jelas Tatang Haeruman (34), salah seorang petani Ciakar penggarap lahan di Kawasan hutan lindung mengungkap ihwal asal muasal pergerakan petani kopi, mengingat bertanam kopi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasil.
Lain halnya dengan cerita Nanang (43), petani kopi di Kubangkoak yang sudah bertahun-tahun menanam kopi di wilayah Gunung Galunggung,Â
"Kalau saya sudah hampir lima tahun aya di Gunung, Alhamdulillah kopi mah udah buahan meski hasilnya belum memuaskan, karena waktu itu pas nanam teh hanya berbekal pengalaman ketika saya masih di Lampung ikut mertua nanam kopi, untuk biaya hidup sehari-hari saya bikin gula kawung dan gula semut" kenang NanangÂ
"Jeung saya niatna ge hayang ngahejokeun gunung, bagaimana caranya gunung ini hijau kembali, da sayah mah senang ada di leuweung" Imbuhnya sambil menunjukan masih ada lahan yang tampak gundul betapa sudah terlalu luas lahan di kaki Gunung Galunggung  yang kini berubah menjadi tambang pasir terutama di Desa Sinagar dan sekitarnya semenjak dampak letusan dahsyat Gunung Galunggung tahun 1982 dianggap aman.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/10/img20190127101502-5c5fae6aab12ae69e863c1a7.jpg?t=o&v=770)
Dan sekarang, bila ada yang bertanya "Memangnya di Galunggung ada kopi?" jawabannya jelas ada.
Tersesat di ladang kopi
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/10/img20181125113011-5c5fb20aab12ae69ba1069a9.jpg?t=o&v=770)
Ketika saya melihat tanaman kopi tumbuh dan berbunga, saya termasuk orang yang berkata; Oh! Ternyata di Galunggung ada kopi, saya sangat senang! Dalam batin berkata inilah komoditas yang bisa diandalakan jadi salah satu unggulan ketika berbicara Galunggung apa yang bisa dibawa oleh para wisatawan sepulang dari sana? Sebab nyaris tak ada sesuatu yang berkarakter lokal yang bisa diandalkan sebagai oleh-oleh kecuali jenis lalaban dan sayuran khas gunung dan pisang ranggap.
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/10/img20190209122126-5c5fb35843322f33e245ce42.jpg?t=o&v=770)
Minim fasilitas pengolahan dan tehnik pasca panen.
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/10/img20190201103355-5c5fb48ac112fe0beb1e8f25.jpg?t=o&v=770)
Sayangnya, keterbatasan pengetahuan, tehnik pengolahan pasca panen, alat-alat pendukung pengolahan kopi pasca panen masih sangat minim dimiliki para petani. Bahkan, penulis mendapati kuintalan buah kopi yang sudah kering menumpuk begitu saja dalam tersimpan karung, ketika dichek sudah mulai korosif dan menurun kualitasnya.
"Maklum kang, Selama ini belum punya pendamping, perhatian dari pihak lain minim, saya juga ngga tamat SD, yang saya tahu kopi yang disimpan lebih lama katanya akan semakin bagus," Nanang beralibi ketika sangat disayangkanya kesalahan fatal dalam mengolah hasil panen. "Itu buah yang kami panen tahun lalu, kalo ngga salah" lanjutnya, padahal ia menanam harapan akan masa depannya bisa terbantu dari tanamn kopi yang sudah mulai berbuah.
Profile Nanang, mungkin hanya salah satu dari sekian banyak para petani kopi pemula yang menemukan informasi secara otodidak, berbekal pengetahuan dan teknologi seadanya dalam mengolah kopi, sehingga nilai jual yang mereka dapat hanya berakhir di level pengepul dengan harga pasar kopi asalan.
Gayung bersambut
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/10/img20190209124516-5c5fb3926ddcae2f9e01d4c3.jpg?t=o&v=770)
Pecinta kopi (tidak hanya penikmat) selalu mencari varian atau jenis yang baru untuk disesap, baik itu robusta atau arabika, perburuan kopi pun dilakukan hingga ke Gunung Galunggung dan akhirnya bertemulah para pecinta kopi yang merupakan akademisi, pelaku usaha cafe, penikmat kopi, aktivis lingkungan dengan masyarakat desa hutan yang menggarap lahan Perhutani.
Perjumpaan tak disengaja tersebut membuahkan komunikasi, interaksi dan dialog tentang bagaimana menjadikan kopi sebagai produk unggulan yang digarap dari hulu ke hilir dengan serius dan menguntungkan semua pihak terutama lingkungan, perbaikan ekonomi para petani dan pelaku usaha.
Semua yang berawal dari informasi yang baik, disampaikan dengan baik, ditanggapi dengan baik akan mewujudkan sesuatu yang baik.
Sabilulungan Metik Kopi
![Dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/10/img20190127101502-5c5faf15bde57544b46c0b38.jpg?t=o&v=770)
Para pria tersebut adalah anggota kelompok tani Kubangkoak Linggajati, Galunggung Putra dan Tani Mukti Ciakar Sukaratu bersama-sama dengan Kepala Desa Sukaratu, Kepala Desa Linggajati, Ketua OPM Linggajati, Para pengurus LMDH Sinagar-Sukaratu dan Linggajati, petugas BPP Kecamatan Sukaratu serta IPPC Ciakar.
Dalam kesempatan dialog, Safari Agustin memaparkan pandangannya mengenai potensi Galunggung yang harus didentifikasi, dirawat, dikelola dan dikembangkan sebaik-baiknya demi kemaslahatan dan bermanfaat bagi masayarakat terutama dalam perbaikan dari sisi ekonomi.
"Dengan adanya kopi, mulai dari penanaman hingga pengolahan di Galunggung ini mudah-mudahan bisa menambah daya tarik wisata, karena beda rasanya ngopi di cafe dalam kota dengan ngopi di tempat asalnya kopi, maka kami antusias untuk silaturahmi dan berharap ada progress yang cepat, realisasinya tahun ini bisa terlaksana" ungkap Safari Agustin.
Lebih lanjut ia mengatakan, bisa saja di kawasan Galunggung dikembangkan wisata Jeep seperti yang ada di Sleman, Yogyakarta. "Bapak-bapak tahu tidak yang turut mengembangkan wisata jeep di Sleman? Itu pan urang Sukaratu,"Â terangnya. Kontur tanah Galunggung yang berpasir akibat letusan berkali-kali di tahun 1982 memiliki kemiripan dengan daerah sekitar Gunung Merapi,Yogyakarta.
Pemerintah tengah gencar membangun infrastruktur jalan dan lain-lain termasuk jalan tol Cigatas, Â jalan yang disebut-sebut akan menghubungkan gerbang tol Cileunyi, Garut, Tasikmalaya, Ciamis hingga Banjar. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menurut Safari Agustin kini tengah mempersiapkan Pangandaran sebagai "Hawai"-nya Indonesia.
Jujun, sebagai penggagas Sabilulungan Metik Kopi punya mimpi indah, ketika pergerakan petani bersama para pecinta kopi, masyarakat dan stakeholder bahu membahu menjadikan Kabupaten Tasikmalaya terutama daerah Gunung Galunggung membuahkan hasil kopi yang unggul dan bisa mensejahterakan petaninya.
"Jangan dulu bicara ekspor, kita garap aja dulu pangsa pasar lokal, regional dan nasional! Saya yakin ketika kopi Galunggung ini sudah booming, stok kita pasti kurang! Karena kopi Galunggung ini bagus, sangat bagus! Tadi Arabik yang dari Pak Soni itu mantap banget." Kata dia.
Miskin Platform
![Dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/10/img20190107144846-5c5fb37112ae946b314dd4f2.jpg?t=o&v=770)
Pembangunan Bandara Kertajati Majalengka dan dibukanya Lanud Cibeureum Tasikmalaya menjadi Bandara Komersil, membuat Pemda dan masyarakat di Priangan harus berpikir bagaimana menyediakan daerah tujuan yang menarik, berkarakter, khas dan unik yang memiliki daya jual, Â mampu bersaing dengan daerah lain yang sudah lebih dulu menyediakan platform, entah sebagai smart city, daerah tujuan wisata, pusat kebudayaan dan lain-lain.
"Terus terang, Kabupaten tasikmalaya ini adalah yang paling tertinggal di Priangan Timur," tutur Safari, untuk itu Safari rajin menyambangi berbagai komunitas untuk mendengarkan aspirasi, terjun ke lapangan mengenali potensi dan berkomunikasi dengan berbagai elemen masyarakat agar mampu mengembangkan potensi daerah sehingga mampu mengejar ketertinggalan dari daerah lain.
Meski demikian, dari dialog yang disampaikan Kang Ucu sesepuh pemuda Desa Linggajati berharap masing-masing sektor berjalan di jalurnya dan fokus pada garapan utamanya, apapun yang akan dilakukan oleh para pemegang keputusan, masyarakat siap men-support dengan sebaiknya, asalkan tidak hanya sekedar wacana namun ada kelanjutannya dan berakhir pada tahap realisasi."Tapi saya setuju, nanti tentu ada integrasi dari masing-masing sektor dan bekerjasama" kata dia.
Persoalannya, sudahkah masing-masing daerah menyediakan platform ketika infrastruktur dibangun  besar-besaran dan sudah siapkah kita melayani kunjungan? "Gini pak, saya akhirnya batal membawa tamu dari luar negeri ketika disurvey ternyata di kanan-kiri tangga gunung Galunggung banyak sampahnya" cerita salah seorang yang hadir dalam dialog Sabililungan Metik Kopi