Ketika saya melihat tanaman kopi tumbuh dan berbunga, saya termasuk orang yang berkata; Oh! Ternyata di Galunggung ada kopi, saya sangat senang! Dalam batin berkata inilah komoditas yang bisa diandalakan jadi salah satu unggulan ketika berbicara Galunggung apa yang bisa dibawa oleh para wisatawan sepulang dari sana? Sebab nyaris tak ada sesuatu yang berkarakter lokal yang bisa diandalkan sebagai oleh-oleh kecuali jenis lalaban dan sayuran khas gunung dan pisang ranggap.
Minim fasilitas pengolahan dan tehnik pasca panen.
Sayangnya, keterbatasan pengetahuan, tehnik pengolahan pasca panen, alat-alat pendukung pengolahan kopi pasca panen masih sangat minim dimiliki para petani. Bahkan, penulis mendapati kuintalan buah kopi yang sudah kering menumpuk begitu saja dalam tersimpan karung, ketika dichek sudah mulai korosif dan menurun kualitasnya.
"Maklum kang, Selama ini belum punya pendamping, perhatian dari pihak lain minim, saya juga ngga tamat SD, yang saya tahu kopi yang disimpan lebih lama katanya akan semakin bagus," Nanang beralibi ketika sangat disayangkanya kesalahan fatal dalam mengolah hasil panen. "Itu buah yang kami panen tahun lalu, kalo ngga salah" lanjutnya, padahal ia menanam harapan akan masa depannya bisa terbantu dari tanamn kopi yang sudah mulai berbuah.
Profile Nanang, mungkin hanya salah satu dari sekian banyak para petani kopi pemula yang menemukan informasi secara otodidak, berbekal pengetahuan dan teknologi seadanya dalam mengolah kopi, sehingga nilai jual yang mereka dapat hanya berakhir di level pengepul dengan harga pasar kopi asalan.
Gayung bersambut
Pecinta kopi (tidak hanya penikmat) selalu mencari varian atau jenis yang baru untuk disesap, baik itu robusta atau arabika, perburuan kopi pun dilakukan hingga ke Gunung Galunggung dan akhirnya bertemulah para pecinta kopi yang merupakan akademisi, pelaku usaha cafe, penikmat kopi, aktivis lingkungan dengan masyarakat desa hutan yang menggarap lahan Perhutani.