Sampah elektronik, atau e-waste, merupakan salah satu masalah lingkungan yang semakin mendesak di era digital saat ini. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, produk elektronik seperti smartphone, komputer, dan peralatan rumah tangga lainnya cepat usang dan dibuang. Menurut laporan Global E-Waste Monitor 2020, timbulan sampah elektronik di seluruh dunia mencapai 53,6 juta ton pada tahun 2019 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 74 juta ton pada tahun 2030. Di Indonesia, jumlah sampah elektronik yang dihasilkan juga terus meningkat, dengan estimasi mencapai sekitar 2 juta ton pada tahun 2021.
Sampah elektronik termasuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) karena mengandung logam berat dan bahan berbahaya seperti timbal, merkuri, dan kadmium. Bahan-bahan ini dapat mencemari tanah dan air jika tidak dikelola dengan baik. Pembuangan sampah elektronik yang sembarangan dapat menyebabkan asidifikasi tanah, pencemaran air tanah, serta dampak negatif terhadap kesehatan manusia, termasuk risiko kanker dan gangguan perkembangan.
Meskipun perhatian publik sering kali terfokus pada masalah sampah plastik, dampak dari sampah elektronik tidak kalah serius. Penanganan yang tepat terhadap e-waste sangat penting untuk melindungi lingkungan dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, kolaborasi antara produsen, distributor, dan pemerintah diperlukan untuk menciptakan sistem pengelolaan limbah elektronik yang efektif. Kesadaran akan bahaya sampah elektronik harus ditingkatkan agar masyarakat dapat berkontribusi dalam pengelolaan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Apa itu Sampah Elektronik?
Sampah elektronik mencakup semua perangkat elektronik yang sudah tidak terpakai atau rusak, seperti smartphone, komputer, televisi, dan peralatan rumah tangga lainnya. Sampah elektronik atau dikenal dengan Electronic waste (e-waste atau e-scrap atau Waste Electrical and Electronic Equipment (WEEE) merupakan bekas elektronik dan peralatan elektronik yang sudah tidak digunakan atau dibuang oleh pengguna atau produsennya (Priyono, F. X., & Dwiwarno, N. 2017). Menurut laporan Global E-Waste Monitor 2020, produksi sampah elektronik di seluruh dunia mencapai 53,6 juta ton pada tahun 2019 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 74 juta ton pada tahun 2030. Di Indonesia, jumlah e-waste diperkirakan mencapai sekitar 2 juta ton pada tahun 2021. Contoh beberapa alat elektronik tersebut yang penggunaannya saat ini sedang meningkat antara lain adalah : Handphone, Laptop, Komputer, Printer dan berbagai macam alat elektronik canggih lainnya (Pasha, R. F. 2015).
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Sampah elektronik mengandung berbagai bahan berbahaya seperti logam berat (timbal, merkuri, kadmium) dan bahan kimia beracun lainnya. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah ini dapat mencemari tanah dan air, menyebabkan masalah lingkungan yang serius. Pencemaran ini dapat mengakibatkan:
Asidifikasi Tanah: Bahan kimia berbahaya dari e-waste dapat merusak kualitas tanah dan mengganggu pertumbuhan tanaman.
Pencemaran Air: Limbah beracun dapat mencemari sumber air bersih, mengancam kesehatan masyarakat.
Risiko Kesehatan: Paparan terhadap bahan berbahaya dari sampah elektronik dapat meningkatkan risiko penyakit serius seperti kanker dan gangguan perkembangan pada anak.
Tantangan dalam Pengelolaan Sampah Elektronik