Euthanasia aktif: Mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Dengan kata lain, euthanasia ini menggunakan cara langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri. Ada juga menggunakan cara sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya. Ada juga dengan cara langsung tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
Euthanasia pasif: Pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena pengobatan apa pun tidak berguna lagi. Cara ini termasuk tidak langsung dan tidak sukarela: merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.
3. Bagaimana Pandangan Negara Indonesia tentang Euthanasia?
Euthanasia tidak diperbolehkan mempercepet kematian secara aktif dan terencana, juga jika secara medis ia tidak lagi dapat disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien sendiri (bdk. KUHP pasal 344). Seperti halnya dengan pengguguran, di sini ada pertimbangan moral yang jelas, juga dalam proses kematian, manusia pun harus dihormati martabatnya. Semua sependapat, bahwa tidak seorang pun berhak mengakhiri hidup orang lain, walaupun dengan rasa iba.
Dalam Kitab Suci:
Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan Ilahi, hidup itu suci.
Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia (yakni hidup biologisnya) tidak boleh diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang istimewa karena sifatnya yang pribadi.
Bagi manusia, hidup (biologis) adalah ‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’ (lih. Mrk 8: 37). Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih, orang mengisi masa hidupnya, dan bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan’ (lih. Mzm. 56: 14). Memang, ‘masa hidup kita hanya tujuh puluh tahun’ (lih. Mzm. 90: 10) dan ‘di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap’ (lih. Ibr. 14: 14). Namun, hidup fana merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa mendatang.
Hidup fana menunjuk pada hidup dalam perjumpaan dengan Tuhan, sesudah hidup yang fana ini dilewati. Kesatuan dengan Allah dalam perjumpaan pribadi memberikan kepada manusia suatu martabat yang membuat masa hidup sekarang ini sangat berharga dan suci. Hidup manusia di dunia ini sangat berharga. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri. Hanya Tuhan yang boleh mengambil kembali hidup manusia.
Katekismus Gereja Katolik.
Tentang “bunuh diri” secara khusus dibahas dalam bahasan Kehidupan dalam Kristus, seksi dua tentang Sepuluh Perintah Allah yang kelima. - 2280“Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih karena itu dan mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan, dan Allah mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apa pun atasnya”.