Mohon tunggu...
Agustinus Danang Setyawan
Agustinus Danang Setyawan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Vortiter In Re, Sauviter In Modo || Teguh dalam Prinsip, Lentur dalam Cara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Berbudaya ala Medsos: Mendekatkan yang Jauh, Menjauhkan yang Dekat

15 April 2021   01:23 Diperbarui: 15 April 2021   01:39 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar

Tak dapat dipungkiri bahwa teknologi telah mengalami lonjakan kemajuan yang sangat pesat. Teknologi dapat dipahami sebagai sistem yang dibuat oleh manusia dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang terorganisasi, untuk menciptakan objek dan teknik dengan suatu tujuan tertentu. Teknologi yang diterapkan pada suatu benda akan meningkatkan kualitas dan mempermudah penggunaan dari benda tersebut. Dengan kata lain, teknologi terus berkembang dalam rangka menanggapi tantangan dan kebutuhan zaman.

Perkembangan teknologi tidak hanya berimplikasi pada diirnya sendiri (produk), tetapi juga menciptakan berbagai pola-pola kehidupan baru. Pola-pola kehidupan inilah yang nantinya dapat disebut sebagai "Kebudayaan" yang dihasilkan dan dikembangkan  dalam masyarakat tertentu yang sesuai dengan konteks dimana perkembangan teknologi itu muncul. 

Sebagai sebuah asumsi awal, teknologi dan kebudayaan saling memberikan pengaruh satu dengan yang lainnya. Teknologi dalam perjalanannya dapat menciptakan kebudayaan yang baru, juga sekaligus kebudayaan tertentu akhirnya juga memicu tumbuh berkembangnya teknologi.

Paper atau makalah singkat ini, kemudian hendak mengerucutkan kembali keadaan saling mempengaruhi (kebudayaan-teknologi) tersebut ke dalam sebuah tema khusus yang mengulas tentang Media Sosial.[1] Mengapa penulis tergelitik untuk membahas keterkaitan antara media sosial dengan tumbuhnya kebudayaan dalam suatu masyaarakat atau komunitas tertentu? Pemicunya adalah karena muncul sebuah kritikan dalam masyarakat: "media sosial: mendekatkan yang jauh; dan sekaligus menjauhkan yang dekat".

 

Budaya Negatif: Pribadi Anonim

Media masa memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada netizen (warga internet) untuk mengeksplorasi segala susuatu. Dapat dikatakan, batas moralitas di dalam dunia internet sudah tidak lagi diperhitungkan. 

Setiap orang dapat surfing (berselancar) ke berbagai tempat tanpa batas. Ia dapat mengakses data apapun itu, entah baik ataupun buruk. Ia dapat menikmati segala kesenangan di dalamnya, sendirian, tanpa perlu memegang teguh sebuah komitmen tertentu. Ia menikmati kesendiriannya itu, mengasingkan diri, dan akhirnya menjadi anonim. Beberapa filsuf terkenal menamainya sebagai 'keterasingan dengan dirinya sendiri'.

Anonimitas (Yunani: ano-nymia), yang berarti "tanpa nama" atau dalam Inggris unnamed atau namelessness biasanya mengacu kepada seseorang. Sering juga berarti bahwa identitas pribadi atau informasi identitas pribadi orang tersebut tidak diketahui. Anonimitas dalam konteks paper ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu anonimitas sebagai sebab dan anonimitas sebagai akibat. Anonimitas inilah yang akhirnya disinyalir menjadi budaya baru dan berekspansi dari dunia internet menuju dunia nyata.

Sebagai netizen, seseorang dapat mengambil peran positif atau pun negatif. Ia dapat menampakkan siapa dirinya yang sebenarnya, tetapi juga dapat memakai topeng tertentu sehingga netizen yang lain tidak dapat mengenalinya secara personal. Hal ini memunculkan tantangan sekaligus permasalahan yang baru dalam kehidupan berbudayanya seorang manusia terhadap manusia yang lain.

Yang dapat dicermati adalah kesengajaan diri (manusia) untuk menganonimkan dirinya ketika menjadi sorang netizen. Ini berarti bahwa ia sengaja menyembunyikan identitas real dirinya. Akar permasalalahnya dapat diurai dari berbagai sudut pandang. Ia bisa jadi tidak nyaman dengan diri real nya lalu membuat sebuah account yang wow / heboh. Atau kemungkinan berikutnya, ia menyembunyikan identitasnya supaya privasinya tidak diganggu netizen yang lain.

Media sosial memungkinkan manusia mengamini budaya kepura-puraan secara langsung ataupun tidak langsung. Seseorang hadir sebagai netizen bukan sebagai dirinya sendiri. Inilah kepura-puraan. Dalam dunia nyata, kepura-puraan adalah sebuah pantangan. Tetapi dalam dunia internet, kepura-puraan adalah sebuah 'kelaziman'. Netizen negatif ini sangat menikmati perannya karena adanya berbagai kepentingan yang terselubung di balik kepura-puraannya itu.

Budaya anonimitas ini seakan-akan melegalkan bahwa hedonitas adalah hak yang harus diraih setiap orang. Manusia tidak lagi (harus) bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Manusia cukup dengan dirinya sendiri. Ia tak butuh orang lain. Aku adalah aku. Aku adalah asosial.[2] 

Efek negatif pengaruh perkembangan media masa yang disikapi secara negatif ini adalah ketika ia (setiap orang) harus hadir secara nyata di kehidupan real sesuai dengan kepribadian aslinya. 

Cara pandang manusia terhadap perkembangan media masa tentunya sangat berpengaruh pada cara sikap dan cara hidup seseorang dalam kehidupan nyatanya. Kepura-puraan yang dibangun sebagai netizen pasti berimplikasi pada kenyataan kehidupannya. Kepura-puraan itu pasti ada muatan motivasinya. Jika kepura-puraan itu dibangun atas dasar karena ingin lari dari kenyataan real hidupnya, maka ia akan menghadapi beratnya kenyataan kehidupan.

Keadaan inilah yang saat ini menjadikan media masa sebagai sara pelarian atas kenyataan pahit kehiduapan seseorang. Segala persoalan kehidupan sengaja 'dihilangkan/dilupakan' dengan mencari kesenangan semu melalui media masa. Bahkan tidak jarang, kejahatan dapat tumbuh melalui media masa ini.

  

Keterasingan dengan Dirinya

Suatu ketika di sebuah cave, ada sekelompok pemuda yang sedang nongkrong barang. Mereka tampak seperti kelompok yang solid, dan friendly. Dengan gaya bahasa dan bahasa tubung mereka, terlihat bahwa mereka adalah 'produk' zaman ini. Gadget ditangan, dan tidak perduli dengan sekitarnya. Yang aneh adalah, kelompok ini begitu asik dengan dirinya sendiri. Badan mereka bersama-sama ada di tempat yang sama, tetapi pikiran dan perhatian mereka pergi jauh, entah kemana.

Mereka tampak tersenyum sendirian, kadang muncul raut muka yang berubah-ubah. Kadang diam, tiba-tiba tertawa sendirian. Mereka asyik dengan HP dan medsosnya, tetapi lupa dengan sesamanya. Mereka nyaman dengan dirinya sendiri, tetapi asing terhap orang yang ada di depannya. Sesekali, beberapa orang melepaskan perhatiannya dari HP atau gadgetnya. Dan yang terjadi adalah ketidaktahuan mau berbuat apa. Segalanya menjadi asing dan aneh.

Sikap seperti inilah yang salah ketika kita berhadapan dengan perkembangan teknologi (medsos). Seakan-akan manusia tidak lagi memilki kendali atas apa yang ia pikirkan dan apa  yang ia lakukan. Dunia nyata menjadi hambar dan seakan tidak berarti. Berelasi dalam dunia nyata seakan menjadi tanpa makna. Semua tertutupi oleh hedonitas dirinya dalam menikmati tawaran semu media masa. Apakah dalam hal ini media masanya yang salah? Tidak! Persoalan ada pada kedewasaan seseorang dalam mensikapi perkembangan teknologi.

Coba banyangkan, bagaimana bisa ia mampu nyaman dengan orang yang nun jauh di sana, tetapi dengan orang di dekatnya seakan tak berarti apa-apa. Budaya baru ini lambat laun pasti meracuni sebuah tatanan sosial yang selama ini sudah terakomodasi dengan baik. 

Budaya sosial menjadi budaya asosial. Kebiasaan salah ini lambat laun akan menjdi 'kebenaran' jika tidak segera dikoreksi oleh siempunya zaman. Keterlenaan ini memunculkan konflik di antara tatanan sosial yang sudah terbentuk. Konflik yang muncul sebagai anonim di ranah netizen, akhirnya juga mampu berekspansi ke ranah dunia nyata. 

Orang menjadi rancu, antara membawakan dirinya sebagai seorang anonim atau pribadi yang nyata. Kegamangan inilah yang memunculkan problematika sosial yang lainnya. Di awal penulis mengatakan, anonimitas sebagai sebab sekaligus akibat dari munculnya tata pola kehidupan dalam masayarakat.

Keterasingan dengan dirinya itu tampak ketika ia tidak mampu mengontrol dirinya ketika menggunakan media sosial. Media sosial yang sejatinya menjadi sekedar sarana, tetapi pada saat yang sama menjebak sesorang pada taraf kecanduan (adicted).

Generasi muda saat ini berada pada taraf kecanduan media sosial. Dan ini adalah sebuah tanda bahaya bagi tatanan kehidupan bermasyarakat. Tatanan kebudayaan yang baik akhirnya terdobrak rusak oleh pola-pola kehidupan baru yang instan, suka mencari jalan pintas, dan sekedar mencari kepraktisan belaka.

  

Kesimpulan: Tuan bukan Hamba Media Masa

Media sosial telah memberikan ruang gerak untuk berkembang dan berinovasi. Cara pandang dan sikap yang tepat akan menjadikan diri manusia 'Tuan' dan bukan 'Hamba' media masa. Menjadi tuan berarti saya mampu membudayakan diri saya untuk memiliki kekritisan dan kemampuan bersosial yang baik.

Media masa bukan sarana yang membelenggu atau penggganti relasi nyata antar individu. Berelasi berari menghadirkan seluruh dirinya (: karakter, perhatian, emosi, dll) untuk orang yang ada di sekitarnya. Media masa adalah salah satu sarana yang memungkinkan manusia tetap mampu berkomunikasi dengan yang lain, tanpa menafikkan mereka yang ada di dekatnya.

Media masa adalah momentum untuk mejadikan seseorang lebih bermartabat di hadapanan sesamanya. Inilah kebudayaan yang bebasis IT. Manusia semakin mampu membudaya dan membawakan diri lebih baik.

Perkembangan teknologi adalah suatu kepastian sedangakan berbudaya adalah sebuah pilihan hidup pribadi. Apakah kita menjadi tuan atau hamba teknologi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun