dia kembali mungkin bukan karena cinta, hanya sebab Tuhan yang menginginkan
Adam berdiri didepan pintu gereja yang terbuka, beberapa anak berseragam putih dengan celana pendek biru, lalu lalang, seolah mencoba menghalangi jalannya. Anak - anak lain, dengan seragam putih abu - abu menatap Adam, lalu saling bersahut sahutan dalam pergunjingan.
"Saya... alumni sini..." kata Adam mengumumkan, sebelum pergunjingan anak - anak itu justru menjadi sebuah curiga.
Gereja itu terletak tepat berada dihalaman depan sebuah yayasan pendidikan yang memfasilitasi dua tingkatan sekolah sekaligus. Adam, lima belas tahun lalu, menuntaskan pendidikan Sekolah Menengah Pertama disini. Meski ayah Adam sempat meminta untuk melanjutkan pendidikannya di yayasan yang sama, namun hasrat untuk segera bebas dan tinggal di Jakarta, membuat Adam tidak menuruti keinginan tersebut.
Lima belas tahun lalu, sama seperti anak - anak tadi. Adam, setiap pagi akan hadir di gereja tua ini, berlutut dan memanjatkan separuh doa. Entah mengadu tentang kesulitan yang dialaminya, atau sekedar meminta untuk dilancarkan dalam ujian. Alasan lain Adam berada disini setiap pagi adalah untuk seorang gadis yang begitu dipujanya. Gadis yang sama yang membuatnya berjanji, untuk berada disini hari ini dan bertemu sebagai dua sahabat lama.
Langkah kaki Adam bergerak mendekati altar, semburat kenangan lama hadir dalam benaknya. Ketika sebuah perdebatan mengenai drama musikal yang akan dilaksanakan, perdebatan berujung permusuhan dua siswa paling dikenal di sekolah waktu itu. Perdebatan antara Adam dengan seorang gadis yang kini pasti telah menjelma sebagai seorang wanita. Wanita yang kini bersimpuh di bangku paling depan dan memanjatkan doa.
"Aku pikir, kau sudah lupa..." kata Adam menyapa saat menyadari wanita didekatnya sudah selesai berdoa.
"Adam..." kata wanita itu seolah benar - benar terkejut dengan kehadiran pria disebelahnya.
Dimata Adam, Monic masih sama seperti dulu. Gadis dengan tubuh berisi, dengan rambut panjang terurai. Kulit sawo matang yang mengesankan, serta tatapan sendu dari matanya yang ingin sekali dilindungi setiap pria yang melihat. Bagaimanapun, Monic adalah gadis pujaan setiap siswa laki - laki di sekolah dulu. Kecerdasaan dan kecantikannya membuat hati siapapun akan luluh akhirnya.
Namun, bagi Adam pintu itu tertutup sangat rapat. Berulang kali mendapatkan penolakan, sebab Monic tidak mau ketika nanti keduanya terpisah, dia akan kehilangan kekasih sekaligus sahabat. Alasan yang seharusnya bisa dimengerti oleh siapapun dalam percakapan itu.
"Monic..." jawab Adam dengan intonasi suara yang sama.
"Apa kabar?" Monic tidak mengizinkan waktu untuk membeku terlalu lama.
"Gagal jadi pengacara..." Adam terkekeh.
Adam dan Monic memiliki cita - cita yang sama ketika masih remaja dulu. Kedunya ingin sekali melanjutkan kuliah dibidang hukum dan menjadi pengacara. Atau untuk Monic, dia sangat menginginkan untuk menjadi seorang jaksa.
"kau?" Adam balik bertanya.
"Gagal dalam pernikahan..." Jawab Monic seolah Adam tidak mendengar kabar perceraiannya setahun sebelum hari ini.
Duplikat lukisan La Creazione di Adamo karya Michelangelo menyaksikan kedua insan itu terjebak dalam dingin saat Monic mengucapkan jawaban terakhirnya. Adam mencoba mencari kata lain untuk terbebas dari percakapan buntu yang akan membuat pertemuan ini menjadi konyol baginya.
"Ernest apa kabar?" kata Adam akhirnya mengalahkan dentang jam yang tersipu dua manusia terjebak bisu.
"Baik... sudah kelas enam SD sekarang" kata Monic menjelaskan "Kau? Masih belum menikah?"
Adam tertawa mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuat Adam merasa Monic hanya sekedar berbasa basi saja. Bagaimanapun seluruh penduduk desa sudah mengetahui siapa Adam, dan pria itu tidak akan pernah menikah dengan wanita manapun di dunia ini.
"Kau benar - benar..." Monic ragu untuk melanjutkan ucapannya.
Adam mengangguk sambil tersenyum memberikan isyarat agar Monic tidak merasa bersalah atas pertanyannya.
"Dia ada di mobil..." kata Adam "mau bertemu? Aku rasa kita bisa mengobrol bertiga sambil makan di warung sebelah" tawaran yang tidak mungkin ditolak Monic.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H